Da'wah ini tidak mengenal sikap ganda ia hanya mengenal satu sikap TOTALITAS. Siapa yang bersedia untuk itu maka ia harus hidup bersama da'wah dan da'wah pun melebur dalam dirinya. Sebaliknya, barang siapa yang lemah dalam memikul beban ini ia terhalang dari pahala besar mujahid dan tinggal bersama orang-orang duduk. Lalu Allah SWT akan menggantikan mereka dengan generasi lain yang lebih baik dan sanggup memikul beban dakwah ini

Minggu, 25 Oktober 2009

0 komentar

Ukhuwah dalam Berjama'ah


Ikhwah fillah,
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika muhajirin tiba di Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’. Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separuh hartaku. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis, maka nikahilah ia.”

Abdurrahman berkata, “Semoga Allah memberkahi bagimu dalam keluarga dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian.”

Demikianlah sebagian potret ukhuwah dalam bangunan jama’ah dakwah yang ideal. Sa’ad benar-benar memahami keterbatasan Abdurrahman bin Auf. Meskipun di Makkah Abdurrahman bin Auf adalah sudagar yang kaya raya, toh ia datang ke Madinah tidak membawa apapun. Hijrah lebih ia cintai walaupun resikonya adalah meninggalkan seluruh harta kekayannya. Namun, Abdurrahman bin Auf juga seorang sahabat yang tahu betul bahwa ia sanggup melakukan hal yang lebih baik, tanpa bermaksud menolak kebaikan Sa’ad. Ia tetap memberi kesempatan Sa’ad untuk berbuat baik padanya sebagai konsekuensi sebuah ukhuwah; menunjukkan pasar Madinah.

Ukhuwah seperti itu tidak hanya terjadi antara Sa’ad bin Ar-Rabi’ dengan Abdurrahman bin Auf. Ukhuwah seperti itu terjadi pada semua sahabat muhajirin dan ansar. Gambaran mereka seperti firman Allah SWT:

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [الحشر/9]
Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr : 9)

Dan bangunan kemasyarakatan mereka seperti penjelasan Sayyid Qutb saat mengomentari QS. Al-Hujurat ayat 11: “Implikasi dari ukhuwah ini adalah hendaknya rasa cinta, perdamaian, kerja sama, dan persatuan menjadi landasan utama masyarakat muslim."

Begitulah. jamaah dakwah yang telah bermetamorfosis menjadi negara di atas tanah Madinah itu menjadi solid dan kuat. Kekuatan utamanya bertumpu pada keimanan. Lalu kekuatan ukhuwah. Ukhuwah yang senantiasa terjaga inilah yang menjamin berlangsungnya fase konsolidasi negara. Bersama-sama, mereka siap mempertahankan Madinah dari segala ancaman yang datang. Ukhuwah yang selalu terpelihara inilah yang menjamin kokohnya eksistensi Madinah. Bersama-sama, mereka siap melindungi dakwah dengan apapun yang mereka miliki.

Ikhwah fillah,
Ukhuwah merupakan hal yang sangat penting setelah akidah, bagi jamaah dakwah. Karenanya Hasan Al-Banna menempatkan ukhuwah sebagai salah satu dari rukun baiat. Beliau mengatakan :
وأريد بالأخوة أن ترتبط القلوب والأرواح برباط العقيدة ، والعقيدة أوثق الروابط وأغلاها ، والأخوة أخت الإيمان ، والتفرق أخو الكفر ، وأول القوة : قوة الوحدة ، ولا وحدة بغير حب , وأقل الحب: سلامة الصدر , وأعلاه : مرتبة الإيثار

Yang saya maksud dengan al-ukhuwah adalah hendaknya berbagai hati dan ruh berpadu dengan ikatan akidah. Akidah adalah ikatan yang paling kokoh dan mahal. Ukhuwah merupakan saudara keimanan, sedang perpecahan adalah saudara kekufuran. Kekuatan yang pertama adalah persatuan. Tidak ada persatuan tanpa cinta kasih, sedangkan cinta kasih yang paling lemah adalah lapang dada dan puncaknya adalah itsar (mengutamakan orang lain dari pada dirinya sendiri).

Ukhuwah yang tulus, yang mendekati itsar atau bahkan mencapainya, akan menjadi faktor penyebab keteguhan serta kekokohan jamaah dakwah dalam menghadapi segala medan amal dan mihwar apapun. Sebaliknya, saat ukhuwah itu mulai pudar, bahkan salaamatush shadri pun tidak, akan membuat jamaah segera hancur, betapapun hebat slogannya dan betapapun tinggi cita-citanya.

Saat berada di mihwar tandzimi dan mihwar sya’bi, di mana jumlah kader dakwah tidak sebanyak sekarang, ukhuwah itu begitu terasa. Saat ada satu ikhwah sakit, semua ikhwah dalam satu daerah menjenguknya. Saat ada ikhwah yang tidak hadir sekali saja dalam halaqah, semua ikhwah dalam grup yang sama segera silaturahim padanya. Khawatir ada apa-apa dengannya atau keluarganya. Saat seorang ikhwah mendapatkan kebahagiaan, semuanya pun memberi selamat. Alat komunikasi masih sangat terbatas, tapi seakan-akan setiap kabar bisa begitu cepat sampai ke ikhwah yang lain. Apalagi saat ada yang menikah, subhaanallah. Luar biasa rasa ukhuwah itu.

Kini mihwar kita berbeda. Kita melangkah lebih jauh dalam perjalanan dakwah kita. Kita mengembangkan pengaruh dakwah yang lebih luas. Jumlah kader dakwah semakin banyak. Setiap waktu bertambah. Mihwar muassasi ini ditandai juga dengan penetrasi dakwah ke parlemen dan pemerintahan. Sebagian kader dakwah tersedot ke sana, dengan berbagai konsekuensinya.

Ukhuwah justru menjadi lebih penting pada mihwar ini. Ia sekaligus akan menjadi barometer kesiapan jamaah untuk memasuki fase berikutnya; mihwar daulah. Banyaknya kader dakwah dengan berbagai kesibukannya, seharusnya tidak menggerus nilai-nilai ukhuwah.

Ukhuwah dibangun di atas cinta dan kasih sayang

Ikhwah fillah,
Ukhuwah dalam berjamaah ini harus dibangun di atas cinta, di atas kasih sayang. Dalam bahasa Al-Qur’an disebut “ruhamaa’u bainahum” saling berkasih sayang dengan sesama mereka. Dengan ukhuwah yang dilandasi cinta inilah, orang mukmin dicemburui oleh nabi dan syuhada’; meskipun mereka bukan nabi dan buka syuhada’.

إن من عباد الله عبادا ليسوا بأنبياء يغبطهم الأنبياء والشهداء قيل : من هم لعلنا نحبهم ؟ قال : هم قوم تحابوا بنور الله من غير أرحام ولا انتساب وجوههم نور على منابر من نور لا يخافون إذا خاف الناس ولا يحزنون إذا حزن الناس ثم قرأ : { ألا إن أولياء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون
“Sesungguhnya, di kalangan hamba-hamba Allah ada beberapa orang yang bukan para nabi dan bukan syuhada, tetapi para nabi dan syuhada menginginkan kedudukan yang diberikan oleh Allah kepada mereka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kabarkanlah kepada kami, siapakah mereka itu?” Rasulullah SAW bersabda, “Mereka adalah orang yang saling mencintai karena Allah, bukan karena hubungan kekerabatan diantara mereka. Juga bukan karena harta yang saling mereka berikan. Demi Allah, wajah-wajah mereka adalah (seperti) cahaya dan mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak merasa takut tatkala manusia ketakutan dan tidak bersedih hati tatkala manusia bersedih hati.” Kemudian Rasulullah SAW membaca (ayat), “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus : 62) (HR. Ahmad)

Ukhuwah yang dibangun di atas cinta kepada Allah ini juga mendatangkan cinta-Nya. Imam Malik dalam Al-Muwatha’ meriwayatkan sebuah hadits qudsi:

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَجَبَتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ وَالْمُتَجَالِسِينَ فِيَّ وَالْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ وَالْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ
Allah SWT berfirman, “Kecintaan-Ku akan didapat oleh orang-orang yang saling mencintai dan saling (menemani) duduk karena Aku, saling berkunjung karena Aku, serta saling memberi karena Aku.” (Al-Muwatha’)

Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

أَنَّ رَجُلاً زَارَ أَخًا لَهُ فِى قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِى فِى هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لاَ غَيْرَ أَنِّى أَحْبَبْتُهُ فِى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ فَإِنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
Ada seseorang berkunjung kepada saudaranya di kampung lain, lalu Allah mengutus malaikat untuk menghadang perjalanannya. Malaikat bertanya saat bertemu dengan orang tersebut, “Hendak ke manakah kamu?” Orang itu menjawab, “Aku mau ke (tempat) seorang saudaraku di kampung ini.” Malaikat bertanya, “Apakah ada kenikmatan yang ingin kamu dapatkan darinya?” Ia menjawab, “Tidak, (aku berkunjung kepadanya karena) aku mencintainya karena Allah SWT.” Malaikat berkata, “Sesungguhnya, aku ini utusan Allah kepadamu (untuk mengabarkan), bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu karena kamu mencintai saudaramu karena-Nya.” (HR. Muslim)

Dengan dilandasi cinta, ukhuwah akan mendorong kaki kita melangkah silaturahim ke saudara kita. Terlebih ketika ia ada masalah atau terlihat mulai kendor tarbiyahnya. Dengan dilandasi cinta, ukhuwah akan menggerakkan lisan kita untuk mengingatkannya saat ia melakukan kekeliruan. Dengan dilandasi cinta, ukhuwah akan membawa diri kita untuk selalu mendoakan saudara-saudara kita; agar ikatan dakwah ini kekal dan agar segala problemnya mendapatkan solusi dari Allah.

Salaamatus shadr; tingkatan ukhuwah paling rendah

Tingkatan ukhuwah yang paling rendah adalah Salaamatus shadr; selamatnya hati dari berbagai prasangka buruk dan perasaan tidak enak terhadap sesama ikhwah. Ini adalah batas minimal ukhuwah, jika diterjang, maka ukhuwah itu terkoyak dan timbullah pertentangan dan perpecahan. “Kedua hal ini” kata Syaikh Muhammad Abdul Halim Hamid, “dapat mengantarkan jamaah pada kekalahan dan kehancuran.”

Banyak faktor dalam mihwar muassasi ini yang bisa menjadi stimulus munculnya su’udzan. Saat ada beberapa kader yang mulai berkantor di parlemen, misalnya. Lalu kelihatan ia pakai mobil baru, kader yang belum matang tarbiyahnya bisa kena penyakit ini. Namun bagi mereka yang tertarbiyah dengan baik, dengan mengedepankan ukhuwah ia akan melakukan tabayyun kepada qiyadahnya. “Oo.. itu dibelikan sama ayahnya karena kasihan kalo menantunya kepanasan. Menantunya kan sedang hamil, akhi” ternyata saat tabayyun, jawaban yang didapat benar-benar menenteramkan hati. Jadi jangan su’udzan dulu: “Baru ngantor beberapa hari sudah dapat mobil”. Astaghfirullah.

Ukhuwah itu juga perlu diterapkan saat saudara kita tidak datang liqa’ tanpa keterangan. Kalau ini bukan kebiasaannya, atau pertama kalinya, ikhwah yang lain perlu mencari 1000 alasan agar su’udzan-nya tidak muncul. Jangan buru-buru memvonis “HP-nya dimatikan, mungkin ia sengaja mengistirahatkan diri.” Tidak tahunya kalau ikhwah tadi kecelakaan, dan HP-nya terlindas truk. Na’udzubillah. Kita berlindung kepada Allah dari su’uzhan itu sebagaimana kita berlindung dari kecelakaan yang menimpa ikhwah kita.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ [الحجرات/12]
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. (QS. Al-Hujurat : 12)

Berupaya mencapai itsar, tingkatan tertinggi ukhuwah

Sa’ad bin Ar-rabi’ telah mengajarkan kita tentang itsar. Demikian pula seluruh kaum Anshar telah mempraktikkan itsar ini kepada muhajirin. Maka semakin kokohlah ukhuwah mereka, semakin solid gerakan mereka, semakin gencar dakwah mereka.

Ada pula kisah mujahid yang menjadi contoh itsar. Dalam sebuah jihad, ada seorang mujahid yang terluka. Ia kesakitan, lapar, dan haus. Datanglah bantuan padanya, segelas air. Namun ia mendengar ada mujahid lain di sampingnya. Ia berpikir, ini lebih parah. “Berikan saja air itu padanya, ia kelihatan lebih parah dari pada saya.”

Saat air itu diberikan kepada orang kedua, orang itu melihat mujahid di sampingnya lagi tampak lebih membutuhkan air dari pada dirinya. “Berikan padanya.” Mujahid yang ketiga ini juga melihat sampingnya. Mengutamakan orang lain dari pada dirinya. Akhirnya, mereka semua syahid.

Dengan tercapainya itsar, tidak mungkin jamaah dakwah tergoyahkan hanya karena jabatan publik. Dengan itsar, tidak mungkin jamaah dakwah terganggu hanya karena persoalan siapa yang ditunjuk menjadi caleg, siapa yang ditunjuk menjadi calon kepala daerah, atau calon menteri seperti pada hari ini.

Sebagai penutup, marilah kita renungkan nasehat Hasan Al-Banna ini:
تحابوا فيما بينكم ، واحرصوا كل الحرص علي رابطتكم فهي سر قوتكم وعماد نجاحكم ، واثبتوا حتى يفتح الله بينكم وبين قومكم بالحق وهو خير الفاتحين
Hendaklah kalian saling mencintai dengan sesama. Hendaklah kalian sangat peduli pada ikatan kalian, karena itulah rahasia kekuatan dan keberhasilanmu. Dan tetaplah tegar sehingga Allah memberikan keputusan dengan hak antara kalian dan kaummu. Dia adalah sebaik-baik Pemberi keputusan. (Risalah Bainal Amsi wal Yaum).

Wallahu a’alam bis shawab. [sumber: E-Book Taujih Pekanan Menuju Mihwar Dauli]

Sabtu, 17 Oktober 2009

0 komentar

Menjaga Orisinalitas Da'wah


Saat da’wah mulai memasuki marhalah selanjutnya dari marhalah-marhalah sebelumnya, terkadang di tuntut untuk dapat beradaptasi dengan segala perubahan dan situasi serta kondisi yang bergerak cepat. Kita masih ingat benar ketika marhalah da’wah kita masih berada pada fase tandzimi maka da’wah ini terasa sangat kental, dan ketika sekarang telah berada di fase siyasi da’wah ternayata telah cair atau bahkan sangat cair


Nah pada setiap perubahan marhalah ( fase ) inilah akan terlihat apakah da’wah ini akan tetap dapat menjaga ta’shil atau orisinalitasnya atau tidak. Atau apakah orisinalitas da’wah pun harus mengikuti situasi dan kondisi perkembangan yang terjadi?


Agar harakah terjamin berada di jalan yang benar menuju sasaran, maka ia harus menjaga dan memelihara orisinalitasnya. Sebab sekecil apapun penyimpangan atau berkurangnya orisinalitas pasti akan melahirkan penyimpangan yang semakin besar sejalan dengan kesinambungan, pertumbuhan, dan kekuatan yang terus semakin berkembang. Ini dapat menyeret harakah semakin jauh dari jalannya yang benar dan semakin menjauhkan tercapainya sasaran harakah..

Jika da’wah yang di bawa ikhwan adalah hanya da’wah Islam, sebagaimana di nyatakan pendirinya berarti orisinalitas dan kesinambungannya dapat terwujud hanya dengan Islam. Menjaga orisinalitas berarti berpegang teguh kepada Islam dan tidak menyalahinya baik dalam teori ataupun prakteknya.


Imam syahid Hasan al Bana selalu menekankan agar jama’ah beriltizam dengan Islam, kitab dan sunnah serta melangkah sesuai dengan sirah Rasulullah saw, ketika beliau menegakkan Daulah Islamiyah pertama. Untuk itulah Hasan Al Bana menekankan kepada ikhwan untuk senantiasa memberikan perhatian penuh kepada hal-hal berikut dalam rangka menjaga orisinalitas da’wah ;



Pertama, Perhatian terhadap aspek Pemahaman ( Al-Fahmu ). Pemahaman yang dimaksud di sini adalah pemahaman yang menyeluruh terhadap sebuah harokah itu sendiri, baik tentang manhajnya, tujuan dan sasarannya, serta tahapan-tahapannya maupun problematika dan tantangan-tantangan yang akan di hadapi di dalam perjalanannya.


Untuk melindungi pemahaman ini Imam Hasan Al Bana meletakkan Pemahaman ( Al-Fahmu ) sebagai 1 dari 20 prinsip sebagai kerangka yang dapat membentengi pemahaman dari kesalahan dan penyimpangan. Asy Syahid menjadikan pemahaman ( Al-Fahmu ) yang shahih terhadap Islam sebagai salah satu rukun baiat , ialah agar setiap al akh dapat menjadi mubayyi’ yang teguh dan terpercaya serta terbentengi dari penyimpangan atau perubahan. Menepati baiat pada hakekatnya adalah menepati baiat kepada Allah swt.


10. bahwasanya orang-ora ng yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah[1396]. tangan Allah di atas tangan mereka[1397], Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar. ( QS Al-Fath : 10 )


Demikian pentingnya keshahihah akan pemahaman ( al-fahmu ) ini yang membuat Hasan Al Bana mengingatkan kepada seluruh ikhwan yang menempuh dan berada di jalan da’wah ini dengan nasehatnya yang sangat indah ;”Siapa yang menginginkan keuntungan duniawi, kedudukan dan pangkat, tempuhlah jalan selain jalan da’wah. Jalan da’wah hanya menghendaki orang yang berani menempuh perjalanan, bersedia mengerahkan tenaga, bersiap mengorbankan jiwa, harta dan segala yang dimilikinya berupa waktu, tenaga, kesehatan, ilmu, dan lain-lainnya semata-mata untuk mencari keridhaan Allah swt. Konsekwensinya setiap da’i harus terus menerus mengikhlaskan niat dan memberantas penyakit-penyakit hati yang merusakkan dan menyia-nyiakan amal serta menjauhkannya dari barisan shiddiqun mukhlisun ( orang yang jujur dan ikhlas ) ”.


Sebuah nasehat yang sangat menyentuh kondisi kita saat ini, di mana da’wah di negri ini telah mulai banyak menampakkan ” buah manisnya” yang menawan hati. Ketika da’wah telah menampakkan buah manisnya berupa harta dan jabatan maupun kekuasaan, masihkan pemahaman yang shahih akan da’wah ini masih terus terjaga atau justru tergadaikan demi meraih ” buah manis” duniawi tersebut?.


Pengalaman saat para kader da’wah harus ” bersaing antar sesama ikhwan ” dalam memperebutkan kursi legislatif pada pemilu lalu kiranya dapat menjadi lembaran muhasabah ( evaluasi ) bagi para ikhwan dan jama’ah ini sendiri tentang keikhlasan dalam beramal siyasi. Gesekan yang sempat terjadi antar ikhwan yang maju menjadi caleg-caleg maupun tarik menarik dukungan dari para a’dho dalam satu halaqoh karena sang murabbi dan mad’u sama-sama maju sebagai caleg, maupun saling klaim akan keberhasilan dan jasa dalam da’wah menjadi cerita tersendiri dalam mengevaluasi keikhlasan kader dalam berda’wah.


Kedua, Tidak mengabaikan Aspek Tarbiyah dan Ruhiyah. Mengabaikan aspek tarbiyah dan ruhiyah adalah salah satu sebab paling penting untuk dipahami , karena kelalaian ini bisa muncul karena terlalu berkonsentrasi dalam masalah politik dan administrasi. Hal ini akan banyak dialami oleh harokah da’wah yang telah bersentuhan atau bahkan telah bermetamorfosa menjadi sebuah partai politik. Tingginya konstelasi dan agenda politik yang ada sering menjadikan kita lengah dan lalai dalam memperhatikan aspek mendasar dari da’wah itu sendiri yakni tarbiyah dan ruhiyah.


Jika da’wah dan harokah diibaratkan sebatang pohon, maka tarbiyah dan tazkiyah ruhiyah adalah air dan pupuknya. Pohon akan dilanda kekeringan dan bahkan bisa mati jika kekurangan air dan pupuk. Sebaliknya akan tumbuh subur jika terus-menerus di disiram air dan diberi pupuk yang cukup.


Tarbiyah adalah washilah memperkuat iman. Seluruh washilah tarbiyah harus memfokuskan kepada terciptanya pohon da’wah yang kokoh, rindang, dan berbuah ranum setiap saat dengan izin Allah swt. Seorang afrad yang tertarbiyah dalam berbagai aspek memiliki peran individual bersama dirinya dan berperan sosial bersama saudara-saudaranya. Oleh karena itu, aktifitas tarbiyah untuk semua peringkat harus benar-benar di jaga kesinambungannya.



Tarbiyah bagi seseorang atau jamaah ibarat ruh di dalam jasad. Imam Hasan Al-Bana menegaskan, individu muslim yang multazim dengan sifat-sifat mukmin adalah unsur asasi di dalam harokah serta di dalam mewujudkan sasaran. Dialah yang akan menegakkan baitul muslim, mujtama’ul muslim,hukumah islamiyah, dan daulah islamiyah. Jika unsur ini tegak dan kokoh, maka bangunan dan segala tahapannya akan tegak dan kokoh pula.


Memelihara orisinalitas da’wah berarti memperhatikan penuh aspek tarbiyah dan ruhiyah. Karena itu perhatian terhadap aspek tarbiyah dan ruhiyah ini tidak boleh tergusur oleh kegiatan-kegiatan seperti politik, publikasi, atau jihad sekalipun. Dan tarbiyah harus mencakup seluruh peringkat dan harus dilakukan sepanjang hayatnya, tidak boleh terbatas hanya pada pemula tetapi juga para mas’ul.


Memperhatikan aspek tarbiyah akan membantu para ikhwan ke peringkat mas’ul. Mereka akan turut serta menjadi orang yang memikul berbagai tanggungjawab yang semakin bertambah di lapangan. Mereka akan berta’awun dan bertafahum dengan baik tanpa harus menimbulkan perbedaan dan musykilah besar. Sebaliknya tidak adanya perhatian terhadap aspek tarbiyah akan melahirkan unsur-unsur yang tidak punya kelaikan naik ke peringkat mas’ul , selain terancam berbagai perpecahan, perselisihan, dan persoalan yang menghambat jalannya amal dan lahirnya produktifitas.


Di saat agenda dan kerja da’wah ini hanyut oleh derasnya arus tsunami politik sehingga agenda-agenda tarbiyah dan halaqoh berubah menjadi agenda politik maka saat itulah substansi tarbiyah mulai mengalami abrasi ( pengikisan ) sehingga sampai pada puncaknya dimana para ikhwan merasa kosong dan kering ruhiyahnya, karena pertemuan dalam majlis tarbiyah yang diharapkan akan dapat memenuhi rasa hausnya akan siraman ruhiyah tidak di dapatkannya.


Dan ketika kondisi ruhiyah seseorang berada dalam titik nadirnya maka resiko akan jatuh dalam kefuturan bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadi. Dan bila hal ini tidak segera di sadari oleh para qiyadah maka akan di khawatirkan barisan jama’ah da’wah ini akan terserang epidemi futur massal. Bukankah fenomena hilangnya kader-kader dari halaqoh namun terlihat muncul di ”perahu ” lain serta menurunnya tingkat partisipasi ikhwan dalam jama’ah menunjukkan lemahnya tarbiyah dan ruhiyah jama’ah.

Karena itu menjaga orisinalitas da’wah berarti memberikan perhatian penuh kepada masalah tarbiyah dan ruhiyah.


Ketiga, Mengedepankan Syura ( Musyawarah ). Syura adalah sebuah prinsip dalam da’wah. Di Dalam syura yang diambil adalah pendapat yang paling kuat bagi kepentingan da’wah . Setelah ada keputusan yang disepakati bersama , maka tidak diperkenankan orang memiliki pendapat berbeda, berbicara, dan bergerak menurut pendapatnya sendiri. Jika terjadi semacam itu tentu akan mengguncang kepercayaan kepada pimpinan dan keputusan-keputusannya. Bisa jadi perselisihan ini bersumber dari urusan pribadi diantara afrad jama’ah akibat dijerumuskan oleh syetan.


Jika hal ini tidak diatasi sesegera mungkin, tidak mustahil akan berakibat serius dan melahirkan poros pertentangan selain medan perselisihannya semakin tajam dan meluas menjadi antar kelompok, padahal sebelumnya hanya antar pribadi.Perselisihan semacam ini biasanya lebih banyak menyerang di kalangan qiyadah ( pimpinan ) yang jika dibiarkan berlarut-larut tidak mustahil akan dapat menimbulkan kemandegan dan bahkan kegagalan.


Yang jelas adalah bahwa setiap al akh itu wajib menjaga diri dengan rasa kecintaan dan persaudaraan, agar tidak menimbulkan sesuatu yang menyakitkan pada diri saudaranya. Kewajiban orang yang menyakiti saudaranya adalah mengontrol dirinya, meminta maaf dan bersalaman. Sedangkan orang atau pihak yang tidak terlibat berkewajiban mendamaikan mereka. Inilah cara tepat mengantisipasi fenomena perselisihan yang terjadi dengan berdasarkan ajaran Islam dan adab-adabnya.


Menjaga orisinalitas berarti harus menjaga dan menata wujudnya prinsip syura., sehingga dapat memutuskan hasil yang diharapkan. Syura harus di tegakkan dengan benar-benar tidak boleh hanya bersifat formalitas. Karena itu jika proses syura telah menghasilkan sebuah keputusan maka berarti telah mengikat semuanya. Tidak boleh persoalan-persoalan di biarkan berserakan kepada pribadi-pribadi anggota sehingga dapat menimbulkan blok-blok dan faksi-faksi.


Inilah tiga rangkaian penjelasan yang singkat dan sederhana namun sarat makna bagi kesinambungan sebuah harokah da’wah agar tetap hidup dan eksis. Semoga Allah swt menyatukan kita semua dalam barisan para mujahidinNya. Amin ( HAM )

Senin, 05 Oktober 2009

0 komentar

Syarat kemenangan dalam dakwah


Akhi dan ukhti fillah…
Coba simak firman Allah SWT ini :
وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ (40) الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ (41) [الحج/40، 41]
"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan." (QS. Al-Hajj : 40-41)

Ayat ini adalah janji Allah kepada kita. Dan janji itu diungkapkan berulang kali dalam Al-Qur’an. Mari kita simak surat Muhammad ayat 7 berikut ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (7) [محمد/7]
" Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad : 7)

Akhi dan ukhti fillah…
Siapapun yang konsekuen membela agama ini, Allah memberi jaminan kemenangan. Allah SWT berfirman:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) [النساء/160]
"Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal." (QS. Ali Imran : 160)

Ayat di atas adalah janji Allah yang pasti terjadi. Hati yang beriman dan jiwa yang penuh dengan cahaya basirah akan menangkap firman Allah ini sebagai jaminan yang pasti dipenuhi. Tidak tersisa sedikitpun keraguan bahwa pembela agama Allah pasti akan mendapatkan kemenangan.

Akhi dan ukhti yang dicintai Allah…
Untuk mendapatkan kemenangan itu, Allah memberikan kriteria yang cukup spesifik, sederhana, dan jelas. Kreterianya ada empat, yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kepada yang makruf, dan melarang dari yang mungkar.

Syarat ini cukup mudah dan simpel. Tetapi kalau kita teliti, ternyata ayat tersebut berbicara tentang integrityas yang diindikasikan dengan empat kriteria utama di atas.

1. Mendirikan Shalat
Akhi dan ukhti fillah…
Mereka yang berhak mendapatkan pertolongan Allah bukan sekadar mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban tersebut dalam kondisi yang biasa-biasa saja. Yang Allah katakan adalah orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka, mereka melakukan itu semua.

Sebelum kita membahas tentang empat hal itu, mari kita perhatikan prasyaratnya. Melakukan shalat, zakat, dan tetap memperjuangkan kebenaran dalam kondisi berkuasa dan memiliki posisi, ternyata tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Betapa banyak orang-orang yang apabila disibukkan oleh pekerjaan-pekerjaannya, mereka menawar kedisiplinan dalam shalat. Dengan mudah meninggalkan shalat jamaah dengan berbagai alasan. Bahkan, untuk alasan yang sepele: tanggung, rapatnya tinggal satu poin lagi.

Akhi dan ukhti fillah…
Mari kita renungkan hadits berikut ini. Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”
سووا صفوفكم فإن تسوية الصفوف من إقامة الصلاة
“Luruskanlah saf-saf kalian, karena lurusnya saf adalah bagian dari pendirian shalat” (HR. Bukhari, Juz 1 hlm. 254)

Beliau mengatakan bahwa meluruskan saf adalah bagian dari mendirikan shalat. Kita telah mengetahui bahwa mengerjakan shalat tidak sama dengan mendirikan shalat. Yang dituntut dari kita adalah mendirikan shalat. Kalau meluruskan barisan shalat saja merupakan bagian dari mendirikan shalat, tentu saja tidak mungkin kita mendirikan shalat jika tidak ada safnya. Artinya, shalat yang tegak adalah shalat berjamaah.

Kembali ke ayat 41 surat Al-Hajj tadi bahwa syarat pertama otg-orang yang Allah tolong adalah mereka tetap disiplin shalat berjamaah bagaimanapun sibuknya.

Akhi dan ukhti fillah…
Kalau berkaca pada sejarah Islam, kita temukan bahwa mereka yang berhasil mengangkat panji-panji Islam di berbagai peperangan adalah orang-orang yang disiplin dalam shalat berjamaah. Misalnya, Muhammad Al-fatih yang mampu menaklukkan Konstantinopel, ibu kota Bizantium. Diriwayatkan bahwa setelah beliau memasuki Kota Konstantinopel (sekarang Istanbul), mereka shalat berjamaah. Sebelumnya Muhammad Al-fatih bertanya, “Siapa diantara pasukan Islam ini yang sejak baligh sampai sekarang belum pernah tertinggal shalat Subuh berjamaah, supaya dia maju menjadi imam.” Tidak ada yang menjawab. Sampai akhirnya beliau sendiri berkata, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikanku sejak baligh sampai sekarang belum pernah meninggalkan Shalat Subuh berjamaah.”

Di masa kini, kita juga mendapat contoh yang sama. Perdana Menteri Palestina, Ismail Haniyah yang terpilih dalam jajak pendapat Islam online sebagai pemimpin Islam terbaik, juga bukan hanya disiplin shalat berjamaah, bahkan beliau adalah imam masjid yang mengimami shalat tarawih sepanjang Ramadhan tahun lalu. Dan bacaan beliau dikenal begitu menyentuh sehingga jamaah khusyuk dan banyak yang menangis tersentuh bacaan Al-Qur’an beliau.

Akhi dan ukhti fillah…
Kita juga menemukan bahwa fenomena futur dalam shalat adalah indikator utama degradasi dalam peralihan generasi. Allah SWT berfirman:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا (59) [مريم/59]
"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan," (QS. Maryam : 59)

Ayat ini bercerita tentang generasi yang melanjutkan generasi pilihan yang Allah ceritakan pada ayat 58 sebelumnya; generasi para nabi dan pengikut-pengikutnya yang setia. Masalah yang dihadapi oleh generasi-generasi teladan adalah mereka tidak dilanjutkan oleh generasi selanjutnya dengan kualitas keimanan yang sama. Allah menyebutkan masalah yang pertama dalam generasi tersebut adalah mereka menyia-nyiakan shalat. Di sini kita bisa lihat bahwa shalat adalah kriteria pertama yang Allah sebut dalam syarat kemenangan. Dan juga shalat adalah indikator terpenting yang muncul dalam kemunduran sebuah umat.

2. Menunaikan Zakat
Akhi dan ukhti fillah…
Syarat kedua adalah menunaikan zakat. Ini adalah syarat penting dan bukti utama kebenaran iman. Dalam terminologi Al-Qur’an dan Sunnah, kata az-zakat sering diwakili dengan istilah sedekah, seperti pada surat At-taubah ayat 58 dan ayat 103. Karena itu, Rasulullah SAW menyatakan:
والصدقة برهان
“Sedekah adalah bukti” (HR. Muslim)

Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (Juz 2 hlm.406) menyebutkan bahwa sedekah adalah bukti pembenaran orang beriman dan dalil kebenaran imannya secara lahir dan batin.

Keimanan adalah klaim yang perlu dibuktikan kebenarannya. Zakat adalah bentuk kerelaan untuk memberi dan untuk sedikit berkurban.

Zakat juga sebuah mekanisme paten untuk sebuah keberpihakan yang konkret kepada orang lemah dan miskin. Oleh karena itu, yang pertama disebut dalam masharif az-zakat (distribusi zakat) adalah fakir dan miskin. Karena itulah, Rasulullah SAW bersabda tentang pelaksanaan zakat:
صدقة في أموالهم تؤخذ من أغنيائهم وترد على فقرائهم
“Sedekah dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari sini bisa kita tangkap bahwa orang-orang yang Allah tolong adalah mereka yang menunaikan zakat sebagai bukti konkret keimanan, berkorban dan memberikan pelayanan kepada orang-orang fakir dan lemah. Dan dapat kita pahami bahwa orang-orang yang Allah beri kedudukan di muka bumi layaknya adalah orang-orang yang sangat jelas kapabilitasnya dalam memberikan servis kepada orang-orang lemah secara khusus dan kepada seluruh rakyat secara umum.

3 dan 4. Memerintah Kebaikan dan Melarang Kemungkaran
Akhi dan ukhti fillah…
Syarat berikutnya adalah memerintahkan kepada al-ma’ruf. Dan ini bisa dikatakan sebagai the prime mission umat Islam (QS. Ali Imran : 110). Artinya, kalau kekuasaan tidak dapat berdampak positif langsung kepada penyebaran kebaikan dan mengeliminasi kemungkaran, maka itu adalah kecelakaan sejarah bagi sebuah bangsa. Artinya, komitmen untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta perlawanan terhadap kemungkaran adalah prasyarat mutlak yang harus dipenuhi untuk layak tampil sebagai pemimpin umat.

Sering terjadi dalam perjalanan umat ada segolongan orang yang berjuang merebut kekuasaan. Mereka meminta dukungan masyarakat dengan janji mereka akan menegakkan agama Allah. Akan tetapi, ketika kesempatan u. menyeru dan membela agama Allah sdh ada di tangan, mereka disibukkan oleh kepentingan masing-masing. Kondisi tersebut mirip dengan kondisi yang disebut dalam surat At-taubah ayat 75-77:
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آَتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ (75) فَلَمَّا آَتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ (76) فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (77) [التوبة/75-77]
"Dan diantara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta." (QS. At-Taubah : 75-77)

Orang yang berjanji, “Kalau saya berkuasa, saya akan menegakkan kebenaran,” lebih berat dari pada orang yang berjanji, “Kalau saya kaya, saya akan bersedekah.” Sehingga ancaman hukuman sebagai orang munafik layak bagi mereka jika tidak memenuhi janji-janjinya setelah berkuasa, dan lebih berat dari pada ancaman orang yang berjanji bersedekah setalah kaya, tapi tidak memenuhinya.

Akhi dan ukhti fillah…
Akibat ingkar janji seperti itu bukan main-main: tumbuh kemunafikan di dalam hati kita. Betapa celakanya orang yang mendapatkan hukuman ini. Karena, tempat orang munafik adalah kerak terendah di dalam neraka. Na’udzu billah min dzalik.

0 komentar

Mukmin yang tangguh dalam barisan dakwah

Allah tujuan kami
Rasulullah teladan kami
Al Qur'an pedoman hidup kami
Jihad jalan juang kami
Mati di jalan Allah cita-cita kami tertinggi

Ketika kami memperkenalkan dakwah ini kepada umat manusia sebagai risalah Islam yang suci, kami selalu yakin bahwa ini adalah jalan dakwah generasi pertama. Di atas jalan ini, kita akan mendapatkan berbagai macam rintangan, cobaan, dan penderitaan sebagaimana yang didapatkan oleh para mujahidin, sahabat-sahabat Rasulullah saw.

Namun demikian, kami tak akan merasa lemah ketika muncul di tengah masyarakat dengan tampilan seperti ini, di mana hakikat dan amal-amal Islam tidak menemukan kehidupan di dalam hati mereka. Tak ada yang tersisa di dalam hati mereka selain perasaan lemah dan tidak berdaya serta pengaruh keberagamaan yang tidak membuat mereka puas.

Kami juga tak akan merasa lemah ketika kami datang di tengah masyarakat untuk menggusung dakwah ini. Kami juga tidak datang menemui mereka hanya untuk memperkenalkan diri agar kami memperoleh jabatan, popularitas, dan status sosial yang terpandang di tengah masyarakat. Karena sesungguhnya, sejak dahulu hingga sekarang, kami masih tetap menyandang predikat pekerja dakwah, dan kami tidak melakukan pekerjaan ini untuk mendapatkan bantuan pemerintah. Kami akan tetap melakukan dakwah ini, walaupun orang-orang yang tidak berbuat itu berkata, Ini adalah pangkal kesuksesan setiap pekerjaan di negeri ini.

Kami juga tidak membawa dakwah ini ke tengah mereka untuk meraih popularitas dan berbagai gelar yang disematkan di pundak kami untuk dipertontonkan pada setiap acara dan pesta-pesta besar, sehingga setiap orang dapat menyaksikan wajah kami terpampang di media massa. Sebab, semua itu adalah bagian dari kelompok manusia yang hatinya mati, walaupun mereka menyandang nama besar di dunia ini.

Kami tidak menggusung dakwah ini ke tengah masyarakat agar kami dapat memenangkan pertarungan atas lawan-lawan kami, sehingga kami dapat melampaui mereka merebut nikmatnya kehidupan dunia.

Kami tidak pernah membayangkan hal-hal tersebut akan terjadi atau kami melakukan hal-hal seperti itu. Akan tetapi, kami mempersembahkan dakwah ini dengan kerelaan membawa beban beratnya, lalu menggaungkannya di tengah-tengah masyarakat karena adanya keyakinan kuat dalam diri kami terhadap persoalan-pesoalan berikut.

Pertama, sesungguhnya, kami berada di tengah masyarakat yang tidak sadar bahwa musuh-musuh mereka yang cerdas itu telah berhasil menjauhkan mereka dari Al Qur'an dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Musuh-musuh itu pun berhasil mempengaruhi jiwa, semangat dan gaya hidup mereka dengan tampilan yang jauh dari nilai-nilai Islam, sehingga mereka menjadi asing terhadap agamanya sendiri. Oleh karena itu, kami menyerukan Islam kepada mereka. Kami serukan bahwa agama ini adalah akidah, ibadah, tanah air, pemerintahan, Al Qur'an dan pedang (kekuatan).

Kedua, adanya sekelompok manusia yang mengatakan bahwa mereka adalah orang besar dan terkemuka. Mereka itu adalah para penguasa negeri yang menjadikan hukum sebagai negara di tengah-tengah mereka. Kelompok manusia seperti ini akan menjadi musuh bebuyutan bagi dakwah, karena dakwah ini akan berdiri tegak melawan hawa nafsunya, sebagai benteng yang kokoh di hadapan ketamakannya pada dunia, sekaligus akan membuka kedok mereka sebagai politisi busuk di mata rakyat. Sementara itu, mereka akan mengerahkan segala kemampuannya untuk menaklukkan dakwah ini, dan melemparkan berbagai tuduhan keji terhadapnya. Begitulah seterusnya. Dakwah yang menggusung kebaikan dan kebenaran ini akan selalu berhadapan dengan seruan yang mengandung kebatilan dan penyimpangan.

Oleh karena itu pula, kami akan mengerahkan segala daya dan kemampuan kami. Kami rela mengorbankan apa saja dan mengharamkan diri kami membantu pemerintahan dengan model seperti itu atau berlemah lembut kepada penguasa yang busuk. Semua itu menyebabkan kami selalu diawasi karena aktivitas kami yang mengancam kedudukan mereka. Gerak-gerik kami pun semakin dibatasi. Kehidupan keluarga kami diputus. Kemudian, kami meninggalkan keluarga menuju penjara atau diasingkan di pulau tak bertuan, dan akhirnya kami temukan kematian di atas jalan Allah. Semua gambaran seperti ini, sesungguhnya, teramat sedikit sebagai risiko perjuangan. Dan, dakwah hanya akan menemui kegagalan tanpa pengorbanan jiwa, darah dan air mata.

Kami memahami dengan sangat baik hakikat ini sejak langkah kaki kami yang pertama. Meskipun demikian, kami tidak gegabah untuk mengerahkan tenaga dan kemampuan kami pada sesuatu yang tidak kami butuhkan atau mengorbankan tenaga dan diri kami tanpa keuntungan. Atau, melangkahkan kaki kami tanpa tujuan terencana, sehingga kami terluka tanpa ada kebaikan yang kami peroleh. Kami berjalan di atas jalan ini untuk meraih hasil dan kebaikan sebelum yang lainnya merebut apa yang kami cita-citakan.

Apabila dakwah ini menuntut haknya kepada kami dalam bentuk kesiapan mengorbankan segala yang kami miliki, murah atau mahal, berisiko atau tidak demi kemenangan dakwah ini kami akan senantiasa siap melakukannya, walaupun itu harus ditebus dengan nyawa. Sebagaimana yang dikatakan seorang Mujahid, Kembali kepada Allah tanpa bekal sedikit pun.

Di atas prinsip ini, kami berjalan bersama dakwah Ikhwan. Dan sesungguhnya, kalian, wahai Ikhwan, akan semakin mendekat kepada hari-hari yang sarat dengan ujian, yang tidak berasal dari hasil karya tangan kalian, tetapi terkait dengan situasi dakwah kalian, kebodohan orang-orang yang menjadi lawan dan musuh kalian. Namun, kalian akan senantiasa ikhlas di jalan ini.

Wahai Ikhwan, kita ingin melekatkan dalam diri kita ciri keistimewaan tersendiri, sehingga takkan ada manusia yang mengikuti langkah kaki kita, kecuali ia seorang mukmin dan mujahid yang siap mengorbankan segala yang ia miliki di atas jalan dakwah Muhammad saw., seruan Allah, dan Al Qur'an. Barangsiapa yang bersedia memikul beban tersebut, ia boleh ikut dan maju terus bersama kami. Tapi, bila ia seorang penakut dan pengecut, sesungguhnya, ia hanya menginginkan gelar atau kekuasaan. Oleh karena itu, hendaknya ia segera menyingkir dari barisan ini. Bila tidak, ia sendiri yang akan membayar harga yang ia berikan, dan tak ada kebaikan apa pun untuknya di dunia dan akhirat. ( Sumber : Hudzaifah )

Minggu, 04 Oktober 2009

0 komentar

Zaid bin Tsabit Al-Anshari


Kita kembali ke tahun kedua hijriyah. Ketika itu Madinah sedang sibuk menyiapkan suatu angkatan perang untuk menghadapi perang Badar. Rasulullah melakukan pemeriksaan terakhir terhadap tentara muslimin yang pertama-tama dibentuk, dan segera akan diberangkatkan ke medan jihad di bawah komando beliau, untuk melestarikan kalimat Allah di muka bumi.

Ketika Rasulullah sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba seorang laki-laki berusia kurang dari tiga belas tahun datang menghadap beliau. Anak itu kelihatan cerdas, terampil, hemat, cermat, dan teliti. Di tangannya tergenggam sebilah pedang, yang panjangnya melebihi badan anak itu. Dia berjalan tanpa ragu-ragu dan tanpa takut melewati barisan demi barisan menuju Rasulullah SAW. Setelah dekat kepada beliau dia berkata, “Saya bersedia mati untuk Anda, wahai Rasulullah! Izinkanlah saya pergi jihad bersama Anda, memerangi musuh-musuh Allah di bawah panji-panji Anda.”

Rasulullah menengok kepada anak itu dengan pandangan gembira dan takjub. Beliau menepuk-nepuk pundak anak itu tanda kasih dan simpati. Tetapi beliau menolak permintaan anak itu, karena usianya masih sangat muda.

Anak itu pulang kembali membawa pedangnya tergesek-gesek menyentuh tanah. Dia sedih dan kecewa permintaannya untuk menyertai Rasulullah dalam peperangan pertama yang akan dihadapi beliau, ternyata ditolaknya.

bu anak itu, Nuwar binti Malik, yang sejak tadi mengikutinya dari belakang tidak kurang pula sedihnya. Dia ingin melihat anaknya berjuang di bawah panji-panji Rasulullah, supaya anak itu dapat kesempatan berdekatan dengan beliau seperti diharapkannya. Dalam angan-angannya terbayang, alangkah bahagianya ayah anak itu sekiranya dia masih hidup, melihat anaknya dapat mendekatkan diri kepada Rasulullah SAW.

Tetapi anak Anshar yang cerdas dan pintar ini tidak lekas putus asa. Walaupun dia tidak berhasil mendekatkan diri kepada Rasulullah sebagai prajurit karena usianya masih sangat muda, dia berpikir mencari jalan lain yang tidak ada hubungannya dengan usia. Pikirannya yang tajam membukakan jalan baginya untuk selalu berdekatan dengan Nabi yang dicintainya. Jalan itu ialah bidang ilmu dan hafalan.

Anak itu menyampaikan buah pikirannya kepada ibu. Sang ibu menyambut gembira buah pikiran anaknya, dan segera merintis jalan untuk mewujudkannya.

Nuwar memberi tahu beberapa orang famili tentang keinginan dan bidang yang akan ditempuh anaknya. Mereka setuju lalu pergi menemui Rasulullah.

Kata mereka, “Wahai Rasulullah! Ini anak kami, Zaid bin Tsabit. Dia hafal tujuh belas surat dari kitab Al-Qur’an. Bacaannya betul, sesuai dengan yang diturunkan Allah kepada Anda. Di samping itu dia pandai pula baca tulis Arab. Tulisannya indah dan bacaannya lancar. Dia ingin berbakti kepada Anda dengan keterampilan yang ada padanya, dan ingin pula mendampingi Anda selalu. Jika Anda menghendaki, silakan mendengarkan bacaannya.

Rasulullah mendengarkan Zaid bin Tsabit membaca sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang teah dihafalnya. Bacannya ternyata memang bagus, betul, dan fasih. Kalimat-kalimat Al-Qur’an bagaikan berkelap-kelip di bibirnya seperti bintang-gemintang di permukaan langit. Bacaannya menimbulkan pengaruh dan berkesan. Waqaf-waqaf dilaluinya dengan tepat, menunjukkan dia paham dan mengerti dengan baik apa yang dibacanya.

Rasulullah gembira karena apa yang dilihat dan didengarnya mengenai Zaib bin Tsabit, ternyata melebihi apa yang dikatakan orang yang mengantarnya. Terlebih lagi, Zait bin Tsabit pandai menuli dan membaca. Rasulullah menoleh kepada Zaid seraya berkata, “Hai Zaid! Pelajarilah baca tulis bahasa Yahudi (Ibrani). Saya sangat tidak percaya kepada mereka (Yahudi), bila saya diktekan sebagai sekretaris saya.”

Jawab Zaid, “Saya siap, ya Rasulullah!” Zaid belajar baca tulis bahasa Ibrani dengan tekun. Berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam tempo singkat dia telah menguasai bahasa tersebut dengan baik, berbicara, membaca, dan menulis. Apabila Rasulullah hendak menulis surat kepada orang-orang Yahudi, Zaid bin Tsabit dipanggil beliau menjadi sekretaris. Bila beliau menerima surat dari Yahudi, Zaid pula yang disuruh membacakan surat itu kepada beliau.

Kemudian Zaid disuruh pula belajar baca tulis bahasa Suryani. Zaid berhasil menguasai bahasa itu dalam tempo singkat, berbicara, membaca, dan menulis, seperti penguasaannya terhadap bahasa Yahudi. Dan sejak saat itu, Zaid yang masih muda remaja itu dijadikan beliau sebagai penerjemah bagi beliau untuk kedua bahasa tersebut.

Setelah Rasulullah sungguh-sungguh yakin dengan ketrampilan Zaid, kesetiaan, ketelitian, dan pemahamannya, barulah beliau menugaskannya menulis risalah langit (al-Qur’an). Maka jadilah dia penulis wahyu. Bila ayat-ayat/wahyu turun, Rasulullah memanggil Zaid, lalu dibacakannya kepada Zaid dan disuruh tulis. Karena itu Zaid bin Tsabit menulis Al-Qur’an didiktekan langsung oleh Rasulullah secara bertahap sesuai dengan turunnya ayat.

Zaid menuliskannya langsung dari mulut Rasulullah SAW, segera setelah ayat turun. Dengan petunjuk beliau, Zaid menyambungkan kepada ayat-ayat sebelumnya yang berhubungan.

Tidak salah lagi kalau pribadi Zaid cemerlang oleh sinar petunjuk Al-Qur’an, dan pikirannya gemerlapan dengan rahasia-rahasiasyariat Islam, sementara dia mengkhususkan diri dengan Al-Qur’an. Dia menjadi orang pertama tempat umat Islam bertanya tentang Al-Qur’an sesudah Rasulullah wafat. Dia menjadi ketua tim yang ditugaskan menghimpun Al-Qur’an pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shidiq. Kemudian dia pula yang menjadi ketua tim penyusun mushaf di zaman pemerintahan Utsman bin Affan.

Kedudukan apakah lagi yang lebih tinggi dari itu? Masih adakah kemuliaan yang lebih tinggi dari kemuliaan seperti itu yang hendak dicapai seseorang?

Diantara keutamaan yang dilimpahkan Al-Qur’an terhadap Zaid bin Tsabit, dia pernah memberikan jalan keluar dari jalan buntu yang membingungkan orang-orang pandai pada hari Saqifah. Kaum muslimin berbeda pendapat tentang pengganti (khalifah) Rasulullah sesudah beliau wafat. Kaum muhajirin berkata, “Pihak kamilah yang lebih pantas.” Kata sebagian yang lain “Pihak kami dan kalian sama-sama berhak. Kalau Rasulullah mengangkat seseorang dari kalian untuk suatu urusan, maka beliau mengangkat pula seorang dari pihak kami untuk menyertainya.” Karena perbedaan pendapat, hampir saja terjadi bencana di kalangan kaum muslimin ketika itu. Padahal jenazah Rasulullah masih terbaring, belum dimakamkan.

Hanya kalimat-kalimat mutiara yang gemerlapan dengan sinar Al-Qur’an yang sanggup mengubur bencana itu, dan menyinari jalan keluar dari jalan buntu. Kalimat-kalimat tersebut keluar dari mulut Zaid bin Tsabit Al-Anshari. Dia berucap di hadapan kaumnya orang-orang Anshar.

Katanya, “Wahai kaum Anshar! Sesungguhnya Rasulullah SAW adalah orang Muhajirin. Karena itu sepantasnyalah penggantinya or Muhajirin pula. Kita adalah pembantu-pembantu (Anshar) Rasulullah. Maka sepantasnya pulalah kita menjadi pembantu bagi pengganti (khalifah)nya, sesudah beliau wafat dan memperkuat kedudukan khalifah dalam menegakkan agama.”

Sesudah berucap begitu, Zaid bin Tsabit mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar Ash-Shidiq seraya berkata, “Inilah Khalifah kalian! Baiatlah kalian kepadanya!”

Keunggulan dan kedalaman pengertian Zaid bin Tsabit mengenai Al-Qur’an telah mengangkatnya menjadi penasihat kaum muslimin. Para Khalifah senantiasa bermusyawarah dengan Zaid dalam perkara-perkara sulit, dan masyarakat umum selalu minta fatwa beliau tentang hal-hal yang musykil. Terutama tentang hukum warisan; karena belum ada diantara kaum muslimin ketika itu yang lebih mahir membagi warisan selain dari pada Zaid.

Umar bin Khatab pernah berpidato pada hari Jabriyah, katanya: “Hai, manusia! Siapa yang ingin bertanya tentang Al-Qur’an, datanglah kepada Zaid bin Tsabit. Siapa yang hendak bertanya tentang fiqih tanyalah kepada Muadz bin Jabal. Dan siapa yang hendak bertanya tentang harta kekayaan, datanglah kepada saya. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjadikan saya penguasa, Allah jualah yang memberinya.”

Para pencari ilmu (mahasiswa) yang terdiri dari para sahabat dan tabiin, mengerti benar ketinggian ilmu Zaid bin Tsabit. Karena itu mereka sangat hormat dan memuliakannya, mengingat ilmu yang bersarang di dadanya ialah ilmu Al-Qur’an.

Seorang sahabat lautan ilmu pula, yaitu Abdullah bin Abbas, pernah melihat Zaid bin Tsabit direpotkan hewan yang sedang dekendarainya. Lalu Abdullah berdiri di hadapan kendaraan itu dan memegang talinya supaya tenang. Kata Zaid bin Tsabit kepada Abdullah bin Abbas, “Biarkan saja hewan itu, wahai anak paman Rasulullah!”

Jawab Ibnu Abbas, “Beginilah kami diperintahkan Rasulullah menghormati ulama kami.”

Kata Zaid, “Coba perlihatkan tangan Anda kepada saya!”

Ibnu Abbas mengulurkan tangannya kepada Zaid. Zaid bin Tsabit memegang tangan Ibnu Abbas lalu menciumnya. Kata Zaid, “Begitulah caranya kami diperintahkan Rasulullah SAW menghormati keluarga Nabi kami.”

Tatkala Zaid bin Tsabit berpulang ke rahmatullah, kaum muslimin menangis karena pelita ilmu yang menyala telah padam.

Berkata Abu Hurairah, “Telah meninggal samudra ilmu umat ini. Semoga Allah menggantinya dengan Ibnu Abbas.”

Penyair Rasulullah, Hasan bin Tsabit, menangisi Zaid bin Tsabit dan dirinya sendiri dengan seuntai sajak yang indah:
Siapakah lagi merangkai sajak sesudah Hasan dan anaknya
Manakah lagi menara ilmu sesudah Zaid bin Tsabit?

Kamis, 01 Oktober 2009

0 komentar

Generasi pemikir strategi


Snouck Hourgronje mungkin orang paling berjasa bagi pemerintah Hindia Belanda. Jasanya terbesar adalah usulan kebijakan tentang bagaimana seharusnya pemerintah Hindia Belanda “menghadapi” umat Islam di Indonesia, yang kemudian terbukti efektif dan berhasil memperpanjang usia “penjajahan” di negeri ini.

Yang menarik diantara sekian banyak rekomendasi kebijakannya adalah peringatannya kepada pemerintah Hindia Belanda untuk tidak mengganggu tiga hal dalam kehidupan umat Islam. Pertama, jangan ganggu umat Islam melaksanakan semua jenis ibadahnya, bahkan fasilitasi mereka untuk itu. Kedua, jangan ganggu kaum perempuan. Ketiga, jangan ganggu para ulama. Kebijakan ini benar-benar tepat untuk sebuah komunitas muslim dengan pola keberagamaan yang simbolik dan harfiah sehingga selama simbol-simbol yang disakralkan agama tidak terganggu, mereka merasa agama ini masih baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dicemaskan.

Setelah berdirinya Israel tahun 1948, para pemikir strategi Israel memunculkan sebuah gagasan tentang “perang periodik”. Gagasan ini mengatakan bahwa karena secara finansial Israel sangat tergantung dari bantuan internasional, khususnya dari Amerika Serikat dan Inggris, maka bantuan-bantuan itu selalu perlu dirasionalisasi dari waktu ke waktu kepada publik dunia. Jadi, Israel perlu melakukan usaha-usaha yang sistematis untuk “mengekspor” persoalan-persoalannya kepada dunia, ancaman-ancaman terhadap eksistensi dan kelangsungan hidupnya. Sesuatu yang membuatnya tampak perlu dikasihani dan ditolong serta diselamatkan. Dengan cara itu mereka mendapatkan simpati dunia. Salah satu bentuknya adalah bantuan finansial.

Strategi yang paling tepat untuk itu adalah perang. Dan, dirancanglah sebuah perang periodik dengan negara-negara Arab, Mesir, Syria, dan Lebanon. Perang itu berlangsung itu antara setiap lima sampai sepuluh tahun. Perang 1948 disusul Perang 1956, lalu perang 1967, kemudian Perang 1973, selanjutnya Perang 1982. perang periodik itu perlu dilakukan untuk me-maintaincongressman di Washinton, saya mendapatkan informasi dari mereka bahwa 80% bantuan luar negeri Amerika memang diberikan kepada Israel dan “Mesir”. memori publik terhadap Israel yang perlu diselamatkan. Ketika saya berkunjung ke Amerika Serikat, Juli 2000 lalu, dan sempat bertemu dengan beberapa senator dan

Strategi perang periodik itu ternyata berhasil melaksanakan beberapa fungsi. Pertama, mempertahankan semangat perang prajurit Israel. Kedua, merealisasi prinsip ekspansionisme yang merupakan bagian inheren dalam falsafah Zionisme internasional. Ketiga, mendapatkan uang. Sekarang kita melihat betapa efektifnya strategi itu, baik dalam menciptakan soliditas internal dalam struktur masyarakat Israel yang baru berdiri maupun dalam menciptakan image Israel sebagai raja yang paling berkuasa di kawasan Timu Tengah. Istilah Timur Tengah ini sendiri merupakan bagian dari strategi Israel untuk mengisolasi Dunia Arab dari Dunia Islam, untuk kemudian mengisolasi Palestina dari Dunia Arab.

Itu hanya dua contoh tentang bagaimana pemikiran strategis telah membantu memperpanjang usia sebuah penjajahan dalam kasus pertama dan memeperkokoh posisi politik-militer penjajah baru dalam kasus kedua. Kehadiran kelompok pemikir strategi telah menjadi sebuah keniscayaan, bukan saja bagi negara, tapi juga bagi semua kelompok yang mempunyai misi besar. Para konsultan memainkan peran sebagai pemikir strategi dalam dunia bisnis, sementara lembaga-lembaga pengkajian strategi memeainkan peran yang sama untuk komunitas sosial, politik, dan militer.


Generasi Pemikir Strategi

Kalau dakwah ini merupakan sebuah proyek peradaban, sesungguhnya dakwahlah yang lebih membutuhkan kehadiran kelompok pemikir strategi. Saat ini di hampir seluruh negara Islam, dakwah sedang dalam proses “menegara”. Mark Juergensmeyer bahkan menyebut fenomena ini sebagai gejala kebangkitan global dari “nasionalisme religius”. Di kalangan para pengamat politik internasional, seperti Kinechi Ohmae, Naisbit, dan Huntington, ada anggapan kuat bahwa era konsep negara-bangsa (nation state) –dipelopori oleh Perancis dan Amerika pada abad ke-18 sebagai model negara pasca negara-dinasti yang bertumpu pada feodalisme- yang menjadikan nasionalisme sebagai ruhnya kini telah berakhir. Sebagai gantinya muncul konsep negara-etnis dan konsep negara-agama.

Saya tidak sedang ingin membahas masalah itu. Yang ingin saya katakan adalah dakwah kita saat ini sangat membutuhkan kehadiran kelompok pemikir strategi. Karena itu saya merasa bahwa generasi para “ideolog” telah melakukan tugas mereka dengan baik. Sayyid Quthub, Muhammad Quthub, Muhammad Al-Ghazali, dan Yusuf Al-Qardhawi di Mesir, Al-Maududi di Pakistan, dan Al-Nadawi di India. Mereka telah membangun sebuah basis pemikiran yang kokoh bagi kebangkitan Islam di seluruh dunia. Kini tiba saatnya peran mereka dilanjutkan oleh generasi baru, generasi pemikir strategi yang bertugas menyusun langkah-langkah strategis untuk mencapai cita-cita dakwah. Saya tidak mengatakan generasi itu belum ada. Tapi, saya ingin mengatakan bahwa pustaka dunia Islam masih dipenuhi oleh tulisan para ideolog tersebut, dibanding generasi baru yang kita harapkan.

Yang kita perlukan adalah kehadiran sejumlah pemikir strategi dengan kualifikasi yang baik dan terinstitusikan serta bekerja dengan metodologi yang handal. Para pemikir strategi adalah orang-orang yang berpikir dalam kerangka kesisteman, menggabungkan banyak disiplin ilmu, dan meramunya menjadi sebuah struktur pemikiran yang utuh, menjelaskan bagaimana tujuan, cara dan sarana terintegrasi menjadi satu kesatuan. Strategi bukanlah sebuah disiplin ilmu. Ia adalah seni tentang bagaimana memanfaatkan berbagai disiplin ilmu untuk mencapai tujuan tertentu. Itulah yang menjelaskan mengapa metode merupakan salah satu bagian inti dari strategi. Tapi, para pemikir strategi itu, beserta pemikiran-pemikiran mereka, perlu diinstitusikan. Karena, ini bukan pekerjaan yang bisa diselesaikan sendiri oleh seorang pemikir.

Dalam konteks kita saat ini, ada setidak-tidak dua bidang garap yang harus dilakukan oleh kleompok pemikir strategi. Pertama, strategi gerakan, yaitu merumuskan strategi untuk mengembangkan dakwah dari partai menuju negara, termasuk di dalamnya merumuskan strategi pengembangan institusi, kader kepemimpinan, basis massa, pola penetrasi sosial, tahapan ekspansi, tema dan agenda politik partai pada setiap tahapannya. Kedua, merumuskan berbagai kebijakan publik yang sebagiannya untuk dijadikan landasan bagi penyusunan berbagai perundang-undangan dan sebagiannya lagi untuk diusulkan sebagai kebijaksanaan pemerintah.

Para pemikir strategi harus mempunyai basis yang kuat pada dua lingkaran pengetahuan. Pertama, basis ilmu-ilmu keislaman. Kedua, basis ilmu-ilmu sosial humaniora. Selama ini ada kesan bahwa para aktivis dakwah justru menghindarti ilmu-ilmu sosial dengan alasan muatannya yang sangat sekuler. Saya tidak menafikan hal itu. Tapi, itu bukan alasan untuk tidak menggelutinya. Karena, basis ilmu-ilmu keislaman dan pengalaman tarbiyah bukan saja akan memberikan imunitas kultural dan pemikiran, tapi juga kemampuan memilah dan mencipta sesuatu yang baru. Sebagaimana cerita Al-Qur’an tentang susu: datangnya dari kotoran dan darah.


0 komentar

Mari kita berhenti sejenak


Mari kita berhenti sejenak di sini! Kita sudah relatif jauh berjalan bersama dalam kereta dakwah. Banyak sudah yang kita lihat dan yang kita raih. Tapi, banyak juga yang masih kita keluhkan; rintangan yang menghambat laju kereta, goncangan yang melelahkan fisik dan jiwa, suara-suara gaduh yang memekakkan telinga dari mereka yang mengobrol tanpa ilmu di gerbong kereta ini, dan tikungan-tikungan tajam yang menegangkan. Sementara, banyak pemandangan indah yang terlewatkan dan tak sempat kita potret, juga banyak kursi kosong dalam kereta dakwah ini yang semestinya bisa ditempati oleh penumpang-penumpang baru tapi tidak sempat kita muat. Dan masih banyak lagi.

Jadi, marilah kita berhenti sejenak di sini! Kita memerlukan saat-saat itu; saat di mana kita membebaskan diri kita dari rutinitas yang mengurangi kepekaan spiritual, saat di mana kita melepaskan sejenak beban dakwah selama ini kita pikul yang mungkin menguras stamina kita. Kita memerlukan saat-saat seperti itu karena kita perlu membuka kembali peta perjalanan dakwah kita, melihat-lihat jauhnya jarak yang telah kita tempuh dan sisa perjalanan yang masih harus kita lalui; menengok kembali hasil-hasil yang telah kita raih; meneliti rintangan yang mungkin akan menghambat laju pertumbuhan dakwah kita; memandang ke alam sekitar karena banyak aspek dari lingkungan strategis kita telah berubah.

Sesungguhnya, bukan hanya kita, para dai, yang perlu berhenti. Para pelaku bisnis pun punya kebiasaan itu. Orang-orang yang mengurus dunia itu memerlukannya untuk menata ulang bisnis mereka. Mereka menyebutnya penghentian. Tapi, para sahabat-sahabat Rasulullah SAW –generasi pertama yang telah mengukir kemenangan-kemenangan dakwah dan karenanya berhak meletakkan kaidah-kaidah dakwah- menyebutnya majlis iman. Maka, Ibnu Mas’ud berkata, “Duduklah bersama kami, biar kita beriman sejenak.”


Majlis iman kita butuhkan untuk dua keperluan. Pertama, untuk memantau keseimbangan antara berbagai perubahan pada lingkungan strategis dengan kondisi internal dakwah serta laju pertumbuhannya. Yang ingin kita capai dari upaya ini adalah memperbaharui dan mempertajam orientasi kita; melakukan penyelarasan dan penyeimbangan berkesinambungan antara kapasitas internal dakwah, peluang yang disediakan lingkungan eksternal, dan target-target yang dapat kita raih.

Kedua, untuk mengisi ulang hati kita dengan energi baru sekaligus membersihkan debu-debu yang melekat padanya selama menapaki jalan dakwah. Yang ingin kita raih adalah memperbarui komitmen dan janji setia kita kepada Allah SWT bahwa kita akan tetap teguh memegang janji itu; bahwa kita akan tetap setia memikul amanat dakwah ini; bahwa kita akan tetap tegar menghadapi semua tantangan; bahwa yang kita harap dari semua ini hanyalah ridhaNya. Hari-hari panjang yang kita lalui bersama dakwah ini menguras energi jiwa yang kita miliki, maka majils iman adalah tempat kita berhenti sejenak untuk mengisi hati dengan energi yang tercipta dan kesadaran baru, semangat baru, tekad baru, harapan baru, dan keberanian baru.

Karena itu, majlis iman harus menjadi tradisi yang semakin kita butuhkan ketika perjalanan dakwah sudah semakin jauh. Pertama, karena tahap demi tahap dari keseluruhan marhalah yang kita tetapkan dalam grand strategy dakwah perlahan-lahan kita lalui. Mulai dari perekrutan dan pengaderan qiyadah dan junud dakwah yang kita siapkan untuk memimpin umat meraih kejayannya kembali, kemudian melakukan mobilisasi sosial untuk menyiapkan dan mengkondisikan umat untuk bangkit, sampai akhirnya kita membentuk partai sebagai wadah untuk merepresentasikan dakwah di tingkat institusi.

Kedua, karena kita hidup di sebuah masa dengan karakter tidak stabil. Perubahan-perubahan besar di lingkungan strategis berlangsung dalam durasi dan tempo yang sangat cepat. Dan perubahan-perubahan itu selalu menyediakan peluang dan tantangan yang sama besarnya. Dan, apa yang dituntut dari kita, kaum dai, adalah melakukan pengadaptasian, penyelarasan, penyeimbangan, dan –pada waktu yang sama- meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan momentum. Ketiga, karena kita mengalami seleksi dari Allah SWT secara kontinu sehingga banyak duat yang berguguran, juga banyak yang berjalan bertatih-tatih.

Semua itu membutuhkan perenungan yang dalam. Maka, dalam majlis iman ini, kita mengukuhkan sebuah wacana bagi proses pencerahan pikiran, penguatan kesadaran, penjernihan jiwa, pembaruan niat dan semangat jihad. Dan inilah yang dibutuhkan oleh dakwah kita saat ini.

Tradisi penghentian atau majlis iman semacam ini harus kita lakukan dalam dua tingkatan; individu atau jamaah. Pada tingkatan individu, tradisi ini dikukuhkan melalui kebiasaan merenung, menghayati, dan menyelami telaga akal kita untuk menemukan gagasan baru yang kreatif, matang, dan aktual di samping kebiasaan muhasabah memperbaharui niat, menguatkan kesadaran dan motivasi, serta memelihara kesinambungan semangat jihad. Hasil-hasil inilah yang kemudian kita bawa ke dalam majlis iman untuk kita bagi kepada yang lain sehingga akal individu melebur dalam akal kolektif, semangat individu menyatu dalam semangat kolektif, dan kreatifitas individu menjelma menjadi kreatifitas kolektif.

Kalau ada pemaknaan yang aplikatif terhadap hakikat kehusyuan yang disebutkan Al-Qur’an, maka inilah salah satunya. Pengehentian seperti inilah yang mewariskan kemampuan berpikir strategis, penghayatan emosional yang menyatu secara kuat dengan kesadaran dak keterarahan yang senantiasa terjaga di sepanjang jalan dakwah yang berliku dan curam. Maka, Allah SWT mengatakan, “Belumkah datang saat bagi orang-orang yang beriman untuk mengkhusyukkan hati dalam mengingat Allah dan dalam (menjalankan) kebenaran yang diturunkan. Dan bahwa hendaklah mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang telah diberikan Al-Kitab sebelumnya (di mana) ketika jarak antara mereka (dengan sang Rasul) telah jauh, maka hati-hati mereka menjadi keras, dan banyak dari mereka yang menjadi fasik.” (QS. Al-Hadid : 16)

Beginilah akhirnya kita memahami mengapa Rasulullah SAW menyunahkan umatnya melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan; atau mengapa Allah SWT menanamkan kegemaran berkhalwat pada diri Rasulullah SAW tiga tahun sebelum diangkat menjadi Rasul; atau bahkan mengapa Umar bin Khattab mempunyai kebiasaan i’tikaf di Masjid Haram sekali sepekan di masa jahiliyah. Begini pula akhirnya kita memahami mengapa majelis –majelis kecil para shahabat Rasulullah SAW di masjid atau di rumah-rumah berubah menjadi wacana yang melahirkan gagasan-gagasan besar atau tempat merawat kesinambungan iman dan semangat jihad. Maka ucapan mereka, kata Ali bin Abi Thalib, adalah dzikir, dan diam mereka adalah perenungan.

Tradisi inilah yang hilang di antara sehingga diam kita berubah jadi imajinasi yang liar, ucapan kita kehilangan arah dan makna. Maka, dakwah kehilangan semua yang ia butuhkan; pikiran-pikiran baru yang matang dan brilian, kesadaran yang senantiasa melahirkan kepekaan, dan semangat jihad yang tak pernah padam di sepanjang jalan dakwah yang jauh dan berliku.

0 komentar

Dari gerakan ke negara


Rencana itu terlalu halus untuk dideteksi secara dini oleh para pemimpin musyrik Quraisy.Tiba-tiba saja Makkah terasa lengang dan sunyi. Ada banyak wajah yang terasa perlahan-lahan enghilang dari lingkungan pergaulan. Tapi tidak ada berita. Tidak ada yang tahu secara pasti apa yang sedang terjadi dalam komunitas Muslim di bawah pimpinan Rasulullah SAW. Ini memang bukan rencana yang bisa dirahasiakan dalam waktu lama. Orang-orang musyrik Makkah akhirya memang mengetahui bahwa kaum Muslimin telah berhijrah ke Madinah. Tapi setelah proses hijrah hampir selesai.

Maka gemparlah penduduk Makkah. Tapi. Sebuah episode baru dalam sejarah telah dimulai: sebuah gerakan telah berkembang menjadi sebuah negara, dan sebuah negara telah bergerak menuju peradabannya; sebuah agama telah menemukan “orang-orangnya”, setelah itu mereka akan menancapkan “bangunan peradaban” mereka.

Tanah, dalam agama ini, adalah persoalan kedua. Sebab yang berpijak di atas tanah adalah manusia maka di sanalah Islam pertama kali menyemaikan dirinya; dalam ruang pikiran, ruang jiwa, dan ruang gerak manusia. Tanah hanya akan menjadi penting ketika komunitas “manusia baru” telah terbentuk dan mereka membutuhkan wilayah teritorial untuk bergerak secara kolektif, legal, dan diakui sebagai sebuah entitas politik.



Karena tanah hanya merupakan persoalan kedua maka tidaklah heran bila pilihan daerah tempat hijrah diperluas oleh rasulullah SAW. Dua kali sebelumnya, kaum Musimin, dalam jumlah yang lebih kecil, berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), baru kemudian berhijrah keseluruhan ke Madinah. Tapi, ketika kaum Muslimin sudah berhijrah seluruhnya ke madinah, mereka yang sebelumnya telah berhijrah ke Habasyah tidak serta merta dipanggil oleh Rasulullah SAW. Mereka baru menyusul ke Madinah lima atau enam tahun kemudian.

Ketika mereka tiba di Madinah, di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib, kaum Muslimin baru saja memenangkan perang Khaibar, sebuah peperangan yang sebenarnya mirip dengan sebuah pengusiran, menyusul pengkhianatan kaum Yahudi dalam perang Khandaq. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Aku tidak tahu dengan apa aku digembirakan oleh Allah; apakah dengan kemenangan dalam perang Khaibar atau dengan kedatangan Ja’far?”

Dari Gerakan Ke Negara

Hijrah, dalam sejarah dakwah Rasulullah SAW adalah sebuah metamorfosis dari “gerakan” menjadi negara. Tiga belas tahun sebelumnya, Rasulullah SAW melakukan penetrasi sosial yang sangat sistematis, di mana Islam menjadi jalan hidup individu; di mana Islam “memanusia” dan kemudian “memasyarakat”. Sekarang, melalui hijrah, masyarakat itu bergerak linear menuju negara. Melalui hijrah, gerakan itu “menegara”, dan Madinah adalah wilayahnya.

Kalau individu membutuhkan aqidah maka negara membutuhkan perangkat sistem. Setelah komunitas Muslim menegara, dan mereka memilih Madinah sebagai wilayahnya, Allah SWT menurunkan perangkat sistem yang mereka butuhkan. Turunlah ayat-ayat hukum dan berbagai kode etik sosial, ekonomi, politik, keamanan dan lain-lain. Lengkaplah sudah susunan kandungan sebuah negara: manusia, tanah, dan sistem.

Apa yang kemudian dilakukan Rasulullah SAW sebenarnya relatif mirip dengan semua yang mungkin dilakukan para pemimpin politik yang baru mendirikan negara. Pertama, membangun infrastruktut negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat utamanya. Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antarkomunitas darah yang berbeda tapi menyatu sebagai komunitas agama, antara sebagian komunitas “Quraisy” dan “Yatsrib” menjadi komunitas “Muhajirin” dan “Anshar”. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama dengan komunitas lain yang berbeda, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui piagam Madinah. Keempat, merancang sistem pertahanan negara melalui konsep Jihad fi Sabilillah.

Lima tahun pertama setelah hijrah kehidupan dipenuhi oleh kerja keras Rasulullah SAW beserta para shahabat beliau untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidup negara Madinah. Dalam kurun waktu itu, Rasulullah SAW telah melakukan lebih dari 40 kali peperangan dalam berbagai skala. Yang terbesar dari semua peperangan itu adalah perang Khandaq, di mana kaum Muslimin keluar sebagai pemenang. Setelah itu tidak ada lagi yang terjadi di sekitar Madinah karena semua peperangan sudah bersifat ekspansif. Negara Madinah membuktikan kekuatan dan kemandiriannya, eksistensinya, dan kelangsungannya. Di sini, kaum Muslimin telah membuktikan kekuatannya, setelah sebelumnya kaum Muslimin membuktikan kebenarannya.

Jadi, yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada tahapan ini adalah menegakkan negara. Sebagai sebuah bangunan, negara membutuhkan dua bahan dasar: manusia dan sistem. Manusialah yang akan mengisi suprastruktur. Sedangkan sistem adalah perangkat lunak, sesuatu dengan apa negara bekerja.

Islam adalah sistem itu. Oleh karena itu Islam bersifat given. Tapi, manusia adalah sesuatu yang dikelola dan dibelajarkan sedemikian rupa hingga sistem terbangun dalam dirinya, sebelum kemudian mengoperasikan negara dalam sistem tersebut. Untuk itulah Rasulullah SAW memilih manusia-manusia terbaik yang akan mengoperasikan negara itu.

Selain kedua bahan dasar negara itu, juga perlu ada bahan pendukung lainnya. Pertama, tanah. Tidak ada negara tanpa tanah. Tapi, dalam Islam, hal tersebut merupakan infrastruktur pendukung yang bersifat sekunder sebab tanah merupakan benda netral, yang akan mempunyai makna ketika benda tersebut dihuni oleh manusia dengan cara hidup tertentu. Selain berfungsi sebagai ruang hidup, tanah juga merupakan tempat Allah menitip sebagian kekayaan-Nya yang menjadi sumber daya kehidupan manusia.

Kedua, jaringan sosial. Manusia sebagai individu hanya mempunyai efektifitas ketika ia terhubung dengan individu lainnya secara fungsional dalam suatu arah yang sama.

Itulah perangkat utama yang diberikan untuk menegakkan negara; sistem, manusia, tanah, dan jaringan sosial. Apabila ke dalam unsur-unsur utama itu kita masukkan unsur ilmu pengetahuan dan unsur kepemimpinan maka keempat unsur utama tersebut akan bersinergi dan tumbuh secara lebih cepat. Walaupun, secara implisit, sebenarnya unsur ilmu pengetahuan sudah masuk ke dalam sistem dan unsur kepemimpinan sudah masuk ke dalam unsur manusia.

Itulah semua yang dilakukan oleh Rasulullah SAW selama tiga belas tahun berdakwah dan membina sahabat-sahabatnya di Makkah; menyiapkan semua perangkat yang diperlukan dalam mendirikan sebuah negara yang kuat. Hasil dakwah dan pembinaan itulah yang kemudian tumpah ruah di Madinah dan mengkristal secara sangat cepat.

Begitulah transformasi itu terjadi. Ketika gerakan dakwah menemui kematangannya, ia menjelma jadi negara; ketika semua persyaratan dari sebuah negara kuat telah terpenuhi, negara itu tegak di atas bumi, tidak peduli di belahan bumu manapun ia tegak. Proses transformasi ini memang terjadi sangat cepat dan dalam skala yang sangat besar. Tapi, proses ini sekaligus mengajari kita dua hakikat besar: pertama, tentang hakikat dan tujuan dakwah serta strategi perubahan sosial. Kedua, tentang hakikat negara dan fungsinya.


Perubahan Sosial

Tujuan dakwah adalah mengejawantahkan kehendak-kehendak Allah SWT –yang kemudian kita sebut agama, tau syariah- dalam kehidupan manusia. Syariah itu sesungguhnya merupakan sistem kehidupan yang integral, sempurna, dan universal. Karena manusia yang akan melaksanakan dan mengoperasikan sistem tersebut maka manusia harus disiapkan untuk peran itu. Secara struktural, unit terkecil yang ada dalam masyarakat manusia adalah individu. Itulah sebabnya, perubahan sosial harus dimulai dari sana; membangun ulang susunan keribadian individu, mulai dari cara berpikir hingga cara berperilaku. Setelah itu, individu-individu itu harus dihubungkan satu sama lain dalam suatu jaringan yang baru, dengan dasar ikatan kebersamaan yang baru, identitas kolektif yang baru, sistem distribusi sosial ekonomi politik yang juga baru.

Begitulah Rasulullah SAW memulai pekerjaannya. Beliau melakukan penetrasi ke dalam masyarakat Quraisy dan merekrut orang-orang terbaik di antara mereka. Menjelang hijrah ke Madinah, beliau juga merekrut orang-orang terbaik dari penduduk Yatsrib. Maka terbentuklah sebuah komunitas baru di mana Islam menjadi basis identitas mereka, aqidah menjadi dasar ikatan kebersamaan mereka, ukhuwah menjadi sistem jaringan mereka, dan keadilan menjadi prinsip dstribusi sosial-ekonomi-politik mereka. Tapi, perubahan itu bermula dari sana; dari dalam individu, dari dalam pikiran, jiwa dan raganya.

Model perubahan sosial seperti itu mempunyai landasan pada sifat natural manusia, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Perubahan mendasar akan terjadi dalam diri individu jika ada perubahan mendasar pada pola pikirnya karena pikiran adalah akar perilaku. Masyarakat juga begitu. Ia akan berubah secara mendasar jika individu-individu dalam masyarakat itu berubah dalam jumlah yang relatif memadai. Tapi, model perubahan ini selalu gradual dan bertahap. Prosesnya lebih cenderung evolusioner, tapi dampaknya selalu bersifat revolusioner. Inilah makna firman Allah SWT “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d:11)


Fungsi Negara

Dalam konsep politik Islam, syariat atau kemudian kita sebut sistem atau hukum, adalah sesuatu yang sudah ada, given. Negara adalah institusi yang diperlukan untuk menerapkan sistem tersebut. Inilah perbedaan mendasar dengan negara sekuler, di mana sistem atau hukum mereka adalah hasil dari produk kesepakatan bersama karena hal tersebut sebelumnya tidak ada.

Sebagai institusi, bentuk negara selalu berubah mengikuti perubahan-perubahan struktur sosial dan budaya masyarakat manusia. Dari bentuk negara kerajaan, parlementer, hingga presidensiil. Skala negara juga berubah mengikuti perubahan struktur kekuatan antarnegara, dari imperium besar ke negara bangsa, dan barangkali, yang sekarang jadi mimpi pemerintahan George W. Bush junior di Amerika: negara dunia atau global state. Struktur etnis dan agama dalam sebuah negara juga bisa tunggal dan majemuk.

Oleh karena itu semua merupakan variabel yang terus berubah, dinamis, dan tidak statis, maka Islam tidak membuat batasan tertentu tentang negara. Bentuk boleh berubah, tapi fungsinya tetap sama; institusi yang mewadahi penerapan syariat Allah SWT. Itulah sebabnya bentuk negara dan pemerintahan dalam sejarah Islam telah mengalami berbagai perubahan; dari sistem khilafah ke kerajaan dan sekarang berbentuk negara bangsa dengan sistem yang beragam dari monarki, presidensiil, dan parlementer. Walaupun tentu saja ada bentuk yang lebih efektif menjalankan peran dan fungsi tersebut, yaitu sistem khilafah yang sebenarnya lebih mirip dengan konsep global state. Tapi, efektifitasnya tidaklah ditentukan semata oleh bentuk dan sistem pemerintahannya, tapi terutama oleh suprastrukturnya, yaitu manusia.

Namun demikian, kita akan melakukan kesalahan besar kalau kita menyederhanakan makna negara Islam dengan membatasinya hanya dengan pelaksanaan hukum, pidana dan perdata, serta etika sosial politik lainnya. Persepsi ini yang membuat negara Islam lebih berciri moral ketimbang ciri lainnya. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa syariat Allah itu bertujuan memberikan kebahagiaan kepada manusia secara sepurna; tujuan hidup yang jelas, yaitu ibadah untuk mendapatkan ridha Allah SWT serta rasa aman dan kesejahteraan hidup.

Hukum-hukum Islam dalam bidang pidana dan perdata sebenarnya merupakan sub-sistem. Tapi, dampak penerapan syariah tersebut pada penciptaan keamanan dan kesejahteraan hanya dapat muncul di bawah sebuah pemerintahan yang kuat. Hal itu bertumpu pada manusia. Hanya “orang kuat yang baik” yang bisa memberikan keadilan dan menciptakan kesejahteraan, bukan orang yang baik. Bagaimanapun, hanya orang kuat dan baik yang dapat menerapkan sistem Allah secara sempurna. Inilah makna hadits Rasulullah SAW “laki-laki mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada laki-laki mukmin yang lemah.”

Alangkah dalamnya penghayatan Umar bin Khattab tentang masalah ini ketika berdoa, “Ya Allah lindungilah kami dari orang yang bertaqwa yang lemah dan tidak bertaqwa yang lemah dan tidak berdaya, dan lindungilah kami dari orang-orang jahat yang perkasa dan tangguh.” Inilah sesungguhnya misi gerakan Islam: melahirkan orang-orang baik yang kuat atau orang-orang kuat yang baik. [Anis Matta]

0 komentar

Misi dakwah kita :perubahan dan perbaikan (At-taghyir wal ishlah)


Ikhwan wa akhawat fiddin rahimakumullah…
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari penaklukan kota dan negeri di era dakwah Rasulullah SAW? Mungkin banyak sekali. Di situ ada pelajaran tentang keberanian, ketaatan, pengorbanan, konsistensi, dan masih banyak hal lain.

Namun, ada satu hal menarik untuk kita simak. Yaitu, di hampir setiap penaklukan kota dan negeri, cara kekerasan selalu pada pilihan terakhir. Tidak ada politik bumi hangus, asal hukum, dan sebagainya. Setidaknya, hal itu terlihat pada penaklukan terbesar pada sejarah dakwah rasulullah SAW, yaitu Fathu Makkah.


“Siapa yang masuk ke Masjidil Haram, ia selamat. Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, ia juga selamat.” Begitulah kira-kira hawa perdamaian dan keselamatan yang ditebarkan Rasulullah SAW pada penduduk Makkah. Sebuah komunitas yang pernah begitu besar melakukan permusuhan terhadap diri dan misi Nabi SAW.

Inilah pola baru dalam penaklukan yang dikenal masyarakat waktu itu. Karena umumnya, penaklukan selalu berujung pada penghancuran, balas dendam, dan sejenisnya. Logika ini pula yang pernah disampaikan Ratu Bailqis ketika mengomentari strategi apa untuk menghadapi dakwah Nabi Sulaiman.
قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ [النمل/34]
“Dia berkata, “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang muia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.” (QS. An-Naml : 34)

Ali bin Abi Thalib RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW soal strategi jitu menaklukkan Khaibar. Saat itu, ia memang dapat amanah memimpin Perang Khaibar.
يا رسول الله أقاتلهم حتى يكونوا مثلنا ؟ فقال ( انفذ على رسلك حتى تنزل بساحتهم ثم ادعهم إلى الإسلام وأخبرهم بما يجب عليهم من حق الله فيه فوالله لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من أن يكون لك حمر النعم
“Ya Rasulullah, apakah mereka langsung kita perangi sampai mau (masuk Islam) seperti kami? Rasulullah SAW bersabda, “Berlaku tenanglah sampai di kawasan mereka, lalu dakwahilah mereka kepada Islam. Kabarkanlah kepada mereka hal-hal yang wajib mereka lakukan atas hak-hak Allah. Demi Allah, jika Allah menunjuki seseorang lewat dakwahmu, maka yang demikian itu lebih baik bagimu, melebihi ghanimah besar yang terdiri dari hewan ternak terbaik.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Saudaraku yang dirahmati Allah…
Pelajaran itu adalah: dakwah Islam tidak sekadar melakukan perubahan, tapi juga perbaikan. Hal itulah yang pernah diungkapkan Nabi Syu’aib AS soal dakwahnya. Firman Allah SWT:
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ [هود/88]
“…Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku, melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nyalah aku kembali.” (QS. Hud : 88)

Perubahan dan perbaikan itu seolah-olah dua muka pada sebuah koin. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Perubahan tanpa perbaikan seperti orang yang berjalan tanpa arah, dan perbaikan tanpa perubahan seperti menuangkan air ke dalam ember yang bocor.

Bukanlah perubahan tanpa perbaikan, dan tak ada perbaikan tanpa diiringi perubahan.

Ayyuhal ikhwah…
Dengan kata lain, perubahan yang kita inginkan bukan perubahan artifisial. Bukan sekadar ganti kulit, sementara isinya masih tetap ular. Karena itulah, syumuliyatud da’wah harus terus kita jaga. Baik dari segi objek, bentuk, sarana, maupun pengembangannya.

Sebelum kita mengarahkan objek dakwah kepada orang lain, terlebih dahulu diri sendiri, istri, dan anak harus menjadi objek utama. Jangan seperti calo bus di sebuah terminal, berteriak-teriak supaya orang lain naik bus, tapi ketika bus berangkat, ia tetap saja diam di terminal.

Allah SWT mengingatkan kita untuk tidak seperti orang Yahudi yang kehilangan konsistensi terhadap diri sendiri.
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ [البقرة/44]
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri. Padahal kamu membaca Alkitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?" (QS. Al-Baqarah : 44)

Saudaraku yang dicintai Allah…
Allah SWT memberikan kita begitu banyak pengalaman soal bentuk dakwah yang cocok di lahan Indonesia ini. Mulai dari gerilnya yang memunculkan begitu banyak pengalaman kewaspadaan, era kelembagaan yang mengajarkan kita cara efektif bersosialisasi, dan era politik yang membuka begitu banyak pintu peluang.

Allah SWT begitu memudahkan kita melalui bentuk-bentuk dakwah itu, memberikan kepada kita khazanah pengalaman yang begitu mahal. Bahkan, teramat mahal, yang mungkin tidak dialami negeri-negeri lain yang juga mengusung dakwah ini. Dari situ, kita bisa menimbang dan menakar seperti apa mestinya dakwah yang produktif untuk negeri ini.

Ikhwati fillah…
Kita semua yakin bahwa tak seorang pun dari kita yang ingin mengecilkan partai dakwah ini. Tak seorangpun dari kita yang ingin mengecilkan peran dakwah ini. Tak seorang pun dari kita yang antipolitik seraya ingin tetap dalam bentuk dakwah gerilya. Sebagaimana tak seorang pun dari kita yang ingin melupakan bentuk dakwah di masa awal dulu dengan asyik duduk menikmati kemewahan panggung politik. Namun, parsialisasi dakwah kadang muncul bersamaan dengan dominasi subjektivitas dakwah.

Ketika kebersamaan tergilas oleh obsesi individu, ketika amal jama’i terpinggirkan oleh superioritas orang per orang, ketika keputusan atau ijtihad pribadi bisa mengalahkan hasil syura yang penuh berkah; saat itulah dakwah menjadi begitu kerdil, parsial, dan artifisial.

Bahkan mungkin, na’udzubillah, sesama satu gerakan dakwah bisa saling meniadakan antara sati pelaksana dengan pelaksana yang lain. Antara satu program dengan program yang lain.

Ikhwan fiddin rahimakumullah…
Imam Syahid Hasan Al-Banna pernah memberi nasihat kepada kita “Dakwah ini tidak menerima persekutuan. Sebab, tabiatnya adalah keterpaduan. Maka, siapa yang siap, ia harus hidup bersama dakwah dan dakwah pun hidup bersamanya.”

“Sebaliknya, siapa yang tidak sanggup memikul beban ini, ia akan terhalang dari pahala para mujahidin, tertinggal bersama orang-orang yang tertinggal, duduk bersama orang-orang yang hanya duduk-duduk. Dan, Allah SWT akan mengganti dengan generasi lain yang sanggup memikul beban dakwah ini.”

Saudaraku yang dicintai Allah…
Fathu Makkah adalah diantara buah dakwah Nabi SAW yang didahului dengan keringat, darah, dan air mata. Namun beratnya perjalanan itu tidak menjadikan dakwah kehilangan kebijaksanaan dan kasih sayang. Justru melahirkan dakwah begitu matang dan dewasa.

Dalam hala apa pun: kepemimpinan, keterpaduan, kesolidan, program perubahan dan perbaikan, serta keteladanan adalah untuk generasi dakwah yang akan datang.

0 komentar

Murabi saleh, halaqah muntijah

Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembaku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata), “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya, dan (tidak wajar pulan baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah(menganut agama) Islam?” (QS. Ali Imran : 79-80)

Ayyuhal ikwah wal akhawat rahimakumullah…
“Kader adalah rahasia kehidupan dan kebangkitan. Sejarah umat adalah sejarah para kader militan dan memiliki kekuatan jiwa dan kehendak. Sesungguhnya kuat lemahnya suatu umat diukur dari sejauh mana umat tersebut mampu menghasilkan kader-kader yang memiliki sifat ksatria…” (Risalah Hal Nahnu Qaumun ‘Amaliyun)


Ayyuhal ikwah wal akhawat rahimakumullah…
“Kader adalah rahasia kehidupan dan kebangkitan. Sejarah umat adalah sejarah para kader militan dan memiliki kekuatan jiwa dan kehendak. Sesungguhnya kuat lemahnya suatu umat diukur dari sejauh mana umat tersebut mampu menghasilkan kader-kader yang memiliki sifat ksatria…” (Risalah Hal Nahnu Qaumun ‘Amaliyun)

Dunia dakwah kita tengah memasuki era yang sangat kompetitif, era yang akan menentukan kita bertahan, maju, atau terkikis zaman. Pada situasi seperti ini, dakwah membutuhkan mereka yang berdaya guna, yang senantiasa siap memikul dakwah. Beban dakwah hanya sanggup dipikul oleh mereka yang mengerti tentang apa dan bagaimana tabiat dakwah itu. Junud ad-dakwah yang cerdas, penuh semangat dan bertanggungjawablah yang siap berada di medan dakwah ini. Kehadiran kader seperti inilah yang menjadi obsesi Khalifah Umar r.a.:

Umar r.a berkata kepada para sahabatnya, “Berobsesilah!” Mulailah mereka menyampaikan obsesinya. Umar berkata, “Aku ingin ada sebuah rumah yang penuh kader sejati seperti Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. Hakim)

Kader dengan karakter tersebut hanya bisa diwujudkan melalui pembinaan diri yang intensif dan berkesinambungan. Artinya, kita memiliki kesempatan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Pada era politik dakwah sekrang inilah jamaah sangat membutuhkan kejelasan komitmen yang tinggi dari para kadernya. Yang mengharuskan kita membelanya sampai titik darah penghabisan. Jamaah ini harus sampai kepada ahdaf-nya yang telah dirancang untuk ‘Izzul Islam wal muslimin. Kita beriltizam pada jalan dakwah, bukan dengan figur, melainkan dengan dakwah itu sendiri. Karena persoalan pribadi tidak semestinya mengeliminasi kecintaan dan pembelaan kita kepada jalan dakwah ini.

Menjadi orang yang saleh dan mushlih adalah buah yang kita harapkan dari proses tarbiyah yang kita jalani selama ini. Saleh secara pribadi dan mengupayakan tumbuh kembangnya kesalehan pada orang lain merupakan teladan dari Rasulullah SAW dan para salafussaleh yang sepatutnya kita ikuti. Alhamdulillah, saat ini sangat banyak diantara kita yang mendapatkan kesempatan menjadi dai atau murabbi, baik di lingkungan tempat kita tinggal, kampus, sekolah, maupun perkantoran. Sesungguhnya yang kita inginkan bukanlah semata banyaknya jumlah mad’u atau murabbi kita.

Akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah bagaimana agar kuantitas dan kualitas selalu merupkaan fungsi yang bergradien positif. Atau menurut slogan seorang ikhwah, “Daripada berjuang bersama 20 orang tapi tidak berkualitas, lebih baik berjuang bersama 2000 orang yang berkualitas.”

Kunci utama peningkatan kualitas umat ini terletak di tangan para penyeru Islam. Atau dalam konteks ini, penentu pemeliharaan dan peningkatan kualitas kesalehan para mad’u atau mutarabbi menjadi tanggung jawab para dai atau murabbi itu sendiri.

Ayyuhal ikhwah wal akhawat rahimakumullah…
Berikut ini adalah beberaoa karakteristik yang harus kita usahakan agar melakat pada diri para dai atau murabbi sehingga terbentuk halaqah muntijah:

1. Al-fahm asy-syaamil al-kaamil
Yaitu pemahaman yang sempurna dan menyeluruh terhadap dasar-dasar keislaman dan rambu-rambu petunjuknya, juga terhadap apa yang didakwahkannya, karena seorang murabbi akan mentarbiyah seseorang yang memiliki akal, perasaan dan pemahaman, dan orang tersebut akan merefleksikan apa yang didengar dan diperhatikan dari sang dai atau murabbi. Maka, apabila seorang dai dan murabbi tidak memiliki level pengetahuan yang memadai dan wawasan pemahaman yang menyeluruh tentang dasar-dasar keislaman, hal itu akan memindahkan sebuah kebodohan kepada mutarabbinya, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah dalam pembentukan kepribadian Muslim seorang mutarabbi.

2. Waqi’ ‘Amaly
Yaitu keteladanan sang murabbi dengan amal perbuatannya yang secara riil tampak jelas pada perilakunya. Seperti geraknya, diamnya, bicaranya, atributnya, pandangannya, dan ibrah-nya. Seluruh keteladanan itu adalah buah refleksi dari pengaruh keimanan dan pemahaman dalam kehidupan seorang murabbi, dalam rangka memberikan pengaruh keteladanan yang baik (qudwah salehah) di tenga-tengah masyarakat.

Pendiri jamaa Ikhwan, Hasan Al-Banna menyifati murabbi dengan sebutan dai mujahid. Lebih jelasnya beliau menyebutkan bahwa dai mujahid adalah, “Sosok dai yang telah mempersiapkan segala sesuatunya, terus menerus berpikir, penuh perhatian dan siap siaga selalu.” Begitulah seharusnya seorang murabbi, iman dan keyakinannya tercermin pada perilaku dan amalnya. Berdasarkan penelitian pada perjalanan kehidupan seorang murabbi, bahwa pengaruh mereka terhadap banyak orang lebih banyak berasal dari perilaku dan akhlaknya yang istiqamah di setiap keadaan.

Sudah menjadi pemaaman umum bahwa manthiqul af’al aqwa min manthiqil aqwal (logika amal/perbuatan lebih kuat dari logika kata-kata). Dikatakan pula oleh ulama salafusshalih, “Man lam tuhadzdzibka ru’yatuhu, fa’lam annahu ghairu /muhadzdzab.” (Barangsiapa yang tidak mendidikmu ketika engkau melihatnya maka ketahuilah bahwa orang itu juga tidak terdidik)

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Man wa’azha akhaahu bifi’lihi, kaana haadiyan.” (Barangsiapa yang menasihati saudaranya dengan amal perbuatannya maka berarti ia telah menunjukinya). Oleh karena itu, keteladanan adalah fokus yang sangat sensitif dan halus, karena apa yang tampak pada dirinya jauh lebih besar pengaruhnya dari apa yang diucapkannya (al-manzhar a’zhamu ta’tsiiran minal qaul).

3. Al-Khibrah binnufus
Yaitu berpengalaman dalam memahami aspek kejiwaan, karena sesungguhnya lapangan kerja seorang murabbi tidak lain adalah jiwa, bergumul dengannya, dan menjadikannya sasaran yang pertama dan terakhir dalam proses tarbiyah; sedangkan jiwa tidak seperti gigi sisir, akan tetapi jiwa orang berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang peka dan oversensitif. Ada yang lembut, ada yang keras, bebal, dan sebagainya.

Oleh karena itu, seorang murabbi hendaknya menyikapi seseorang sesuai dengan kejiwaannya dan berhati-hati dalam berinteraksi dengannya, maka jangan bersikap terlalu tegas dan keras kepada orang yang jiwanya halus dan peka, melainkan harus dihadapi dengan lemah lembut. Sebaliknya, orang yang jiwanya keras harus dihadapi dengan ketegasan jika ia lalai dan menyimpang. Adala Rasulullah SAW sosok murabbi pertama yang berpengalaman dalam ilmu jiwa, beliau tidak memperlakukan para sahabatnya dengan sikap yang sama antara yang satu dan lainnya, karena beliau sangat tahu akan tabiat manusia dan kejiwaan mereka.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata :
Rasulullah SAW perna beberapa hari lamanya tidak memberikan nasihat kepada kami, karena beliau takut kami menjadi bosan. (HR. Ahmad)

Berkaitan dengn al-khibrah binnufus, banyak contoh keteladanan dari murabbi zaman ini, diantara mereka adalah Hasan Al-Banna, di mana tela terjadi dialog antara beliau dengan salah seorang ikhwah. Ikhwah tersebut berkata, “Sesungguhnya saya lagi banyak masalah dan ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.” Maka kata Hasan Al-Banna, “Sudahlah, jangan bebani dirimu dengan masalah itu. Serahkan urusanmu kepada Allah.” “Tapi, saya ingin Anda tahu,” sergah akh tersebut. “Sesungguhnya saya sudah tahu,” kata Al-Banna seraya meyakinkan akh tersebut. “Jadi saya bahagia kalau Anda mau tahu,” balas akh tersebut.

Akan tetapi, belum sempat saya memulai curhat, beliau suda mendahuluiku dengan rentetan masalah dan keluhan yang dialaminya sendiri bahkan yang mengerankan apa yang diutarakannya sama dengan apa yang saya rasakan. Setelah beliau selesai berbicara, maka sayapun berkata kepadanya, “Ustadz, demi Allah, sungguh saya sangat bahagia, dan saya tidak akan mengeluh lagi.” Saya mengatakan semua itu sambil terisak dan bercucuran air mata.”

Ayyuhal ikhwah wal akhawat rahimakumullah…
Agar sebuah halaqah dapat dikategorikan sebagai halaqah muntija (produktif) tentunya ada aturan-aturan yang arus ditaati oleh semua komponen halaqah, dalam hal ini adalah murabbi dan mutarabbi. Dr. Abdullah Qadiri dalam buku Adab Halaqah menyebutkan adab-adab pokok yang harus ada dalam sebuah halaqah, yaitu sebagai berikut :
1. Serius dalam segala urusan dan menjauhi sendau gurau serta orang-orang yang banyak bergurau. Yang dimaksudkan serius dan tidak bersendau gurau tentu saja bukan berarti suasana halaqah menjadi kaku, tegang, dan gersang, melainkan tetap diwarnai keceriaan, kehangatan, kasih sayang, dan gurauan yang tidak melampuai batas atau berlebihan. Jadi, canda dan gurauan hanya menjadi unsur selingan yang menyegarkan suasana dan bukan merupakan porsi utama halaqah.
2. Berkemauan keras untuk memahami aqidah salafussalih dari kitab-kitabnya, seperti kitab Al-‘Ubudiyah. Sehingga semua peserta halaqa akan terhindar dari segala bentuk penyimpangan aqidah.
3. Istiqamah dalam berusaha memahami kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya dengan jalan banyak membaca, mentadabburi ayat-ayat-Nya, membaca buku tafsir dan ilmu tafsir, buku hadits dan ilmu hadits, dan lain-lain
4. Menjauhkan diri dari sifat ta’asub (fanatisme buta) yang membuat orang-orang yang taqlid terhadap seseorang atau golongan telah terjerumus ke dalamnya karena tidak ada manusia yang ma’shum (bebas dari kesalahan) kecuali Rasulullah yang dijaga Allah. Sehingga jika ada perbedaan pendapat hendaknya dikembalikan kepada dalil-dalil yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Hanya kebenaranlah yang wajib diikuti, oleh karenanya tidak boleh menaati makhluk dalam hal bermaksiat kepada Allah.
5. Menghindari ghibah. Majelis halaqah hendaknya dibersihkan dari kebusukan ghibah dan namimah terhadap seseorang atau jamaah tertentu. Adab-adab Islami haruslah diterapkan, antara lain dengan tidak memburuk-burukkan seseorang.
6. Melakukan ishlah (koreksi) terhadap murabbi atau mutarabbi secara tepat dan bijak karena tujuannya untuk mengingatkan dan bukan mengadili.
7. Tidak menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menetapkan skala prioritas bagi pekerjaan-pekerjaan yang akan dilaksanakan berdasarkan kadar urgensinya.

Selain adab-adab pokok tersebut, secara lebih spesifik ada adab yang harus dipenuhi oleh peserta/anggota halaqah terhadap diri mereka sendiri, terhadap murabbi, dan sesama peserta halaqah. Mula-mula seorang peserta halaqah hendaknya memiliki kesiapan jasmani, rohani dan akal saat menghadiri liqo’ halaqah. Ia semestinya membersihkan hati dari aqidah dan akhlak yang kotor, kemudia memperbaiki dan membersihkan niat, bersahaja dalam hal cara berpakaian, makanan, dan tempat pertemuan. Selain itu, juga bersemangat menuntut ilmu dan senantiasa menghiasi diri dengan akhlak yang mulia.

Selanjutnya terhadap murabbi hendaknya ia tsiqah (percaya) dan taat selama sang murabbi tidak melakukan maksiat. Lalu berusaha konsultatif atau selalu mengomunikasikan dan meminta saran-saran tentang urusan-urusan dirinya kepada murabbi. Selain itu, ia juga berupaya memenuhi hak-hak murabbi dan tidak melupakan jasanya, sabar atas perlakuannya yang boleh jadi suatu saat tidak berkenan, meminta izin, serta bertutur kata yang sopan dan santun.

Dan akhirnya adab ikhwah sesama peserta halaqah dengan mendorong peserta lain untuk giat dan bersungguh-sungguh dalam mengikuti tarbiyah. Lalu tidak memotong pembicaraan teman tanpa izinnya, selalu hadir tidak terlambat dan dengan wajah berseri, memberi salam, bertegur sapa, dan tidak menyakiti perasaan. Selain itu, terhadap lingkungan di sekitar tempat halaqah berlangsung, hendaknya semua peserta halaqah selalu menunjukkan adab-adab kesantunan, mengucapkan salam, meminta izin ketika melewati mereka, dan pamit bila akan pulang serta melewati mereka lagi.

Demikian, ayyuhal ikhwah wal akhawat taujih singkat, semoga kita semua bisa melaksanakan adab-adab halaqah dengan baik, sehingga halaqah tidak sekedar rutinitas yang menjemukan. Namun kegiatan liqa’ halaqah atau usrah menjadi sangat dirindukan dan mampu menghasilkan kader-kader dakwah yang tangguh. Amiin…

 

simkuring

Foto saya
orang biasa yang mempunyai mimpi luar biasa

barudak