Sabdanya pula, “Jihad yang utama adalah perkataan yang benar (dalam riwayat lain: perkataan yang adil, pen.) di hadapan penguasa zalim.” (At-Tirmidzi dan Al-Hakim)
Hadits ini memberikan apresiasi kepada siapa saja yang memberikan kontribusi dan tadhhiyyah (pengorbanan) bagi kemenangan dakwah. Ternyata yang mendapat posisi sebagai orang yang berjihad tidak hanya orang-orang yang terjun langsung di medan laga melainkan semua pihak yang turut mensukseskan proyek dakwah dan jihad itu. Hadits ini juga membuka fikiran kita tentang betapa banyaknya peluang kita untuk bertadhhiyyah.
Pada dasarnya tadhhiyah adalah tuntutan dalam segala upaya untuk mencapai tujuan. Tadhhiyah tentu saja dibutuhkan bukan saja di kancah pertempuran fisik (qital) melainkan juga dalam jihad siyasi (jihad dalam kancah politik) yang tengah kita dengung-dengungkan hari-hari ini. Karena jihad siyasi kita dapat memperkokoh eksistensi dakwah dalam kehidupan. Semakin tegas perlunya pengorbanan dalam jihad siyasi ini jika kita mengingat hal-hal berikut ini:
Pertama, dakwah tidak boleh surut walau selangkah dan pantang surut walau sejenak. Karenanya para pecinta keadilan harus mengobankan apa pun yang dimiliki untuk eksistensi dakwah di segala lini termasuk lembaga legislatif. Dakwah istirahat berarti membiarkan kebatilan semakin merajalela. Karenanya seorang pecinta keadilan akan menjadikan dakwah sebagai agenda utama dan yang lainnya hanyalah agenda ikutan. Perhatikan, betapa para penyebar kerusakan dan pecinta penyimpangan serta kebusukan tidak pernah berhenti melakukan perusakan dan penghancuran tatanan kehidupan bangsa. Siang dan malam mereka membuat makar. Allah swt. menerangkan:
“Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “(Tidak), sebenarnya tipu daya (mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya”. Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat azab. Dan kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan”. (Saba: 33)
Kedua, kemenangan dakwah memang berada di tangan Allah swt. Akan tetapi, tidak boleh dilupakan bahwa salah satu asbab kemenangan yang berada dalam jangkauan kemapuan manusia adalah kekuatan finansial. Makanya kita temukan dalam Quran berkorban dengan jiwa selalu digandengkan dengan berkorban dengan harta. Perhatikan firman Allah swt., “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (An-Nisa: 95)
Rasulullah saw. pernah mengoreksi Basir Bin Al-Khashashiyyah yang siap berbai’at kepadanya dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam kecuali jihad dan shadaqah. Maka Rasulullah saw. megatakan kepadanya, “Tanpa shadaqah dan tanpa jihad? Lalu dengan apa kamu akan masuk surga?”
Ketiga, jihad siyasi bukan hanya berkonsekuensi musara’ah fil-khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) akan tetapi juga wajib melaksanakan mushara’atul-bathil (bertarung melawan kebatilan). Allah swt. menegaskan, “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 217)
Keempat, jihad siyasi bertujuan mengajak semua pihak agar mengabdi kepada Allah dan tunduk patuh terhadap segala aturannya; agar pengelolaan kehidupan bernegara dan bermasyarakat didasarkan pada wahyu ilahi. Karenanya, pasti akan ada orang-orang yang merasa terancam dengan dakwah kita. Dari awal dakwahnya, Rasulullah saw. sudah mendapat penentangan dan hadangan dari orang-orang yang merasa terganggu atau terancam oleh seruannya. Tapi Allah malah memerintahkan Rasulullah agar tetap tergar, istiqomah, dan senantiasa memegang risalah Allah. “Dan pegang teguhlah apa yang telah diwahyukan kepadamu karena sesungguhnya engkau berada di jalan yang lurus.” (Az-Zukhruf: 43)
Kalau kita ingin menegakkan keadilan tapi tidak mau ada orang yang tidak suka kepada kita, lalu kita hanya menampilkan yang menyenangkan semua pihak, kita sebetulnya tidak sedang menegakkan keadilan. Rasulullah saw. sendiri diingatkan oleh Allah swt., “Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 67)
Tentu saja segala pengorbanan itu tidak akan sia-sia. Allah akan membeli segala yang dipersembahkan oleh orang beriman dengan surga. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (At-Taubah: 111)
Sungguh besar kasih sayang dan penghargaan Allah kepada orang yang mau berkorban. Harta dan jiwa adalah milik Allah. Dia berikan kepada manusia sebagai modal dalam percaturan hidup. Yang mau mengorbankannya dalam rangka mencari rido Allah mendapat laba yang tidak tertandingi oleh harga apa pun: surga! Dan karenanya, pengorbanan dengan kedua hal itu dijadikan-Nya sebagai indikator adanya keimanan sejati. Firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang sejati (imannya).” (Al-Hujurat: 15)
Ummu Harom Bintu Milhan adalah salah satu contoh dalam tadhhiyyah. Saat Rasulullah saw. menceritakan bahwa dirinya bermimpi tentang sejumlah kaum Muslimin yang berperang melintasi laut, Ummu Haram mengatakan, “Ya Rasulullah, doakanlah saya kepada Allah agar menjadikan saya sebagai bagian dari pasukan itu.” Rasulullah saw. menyahut, “Engkau termasuk rombongan pertama.” Dan benar saja, jauh setelah meninggal Rasulullah saw. yakni pada masa Utsman Bin ‘Affan, Ummu Harom masuk dalam pasukan perang pertama yang diutus oleh khalifah ke Cyprus. Dan di negeri itulah wanita mulia itu mendapatkan penghargaan dari Allah swt.: mati syahid.
Abu Ayyub Al-Anshari –semoga Allah meridoinya- mengisahkan, “Setelah Allah memberikan kejayaan kepada Islam, para pengikutnya bertambah banyak, maka kami saling berbisik sesama kami, ‘Harta kita sudah ludes dan Allah sudah memenangkan Islam. Bagaimana kalau kita cuti sejenak dari jihad untuk mengurusi kembali urusan bisnis, ladang, ternak.’ Lalu mereka menghadap kepada Rasulullah saw. untuk mengajukan izin cuti dari jihad dan pengorbanan. Lalu turunlah ayat Allah swt., “Dan berinfaklah kalian di jalan Allah. Dan janganlah kalian mencampakkan diri kalian ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195). Abu Ayyub selanjutnya menjelaskan, “Kebinasaan adalah bila kami terbelenggu dengan harta dan meningalkan jihad.”
Memperhatikan penjelasan Abu Ayyub itu kita dapat menyimpulkan bahwa ayat di atas ditujukan bukan kepada orang-orang yang sedang berpangku tangan bertopang dagu. Melainkan justeru kepada para sahabat yang telah habis-habisan berjuang, berdakwah, dan berjihad. Jadi pesan tegas ayat itu adalah memerintahkan kaum Muslimin untuk tidak berhenti melakukan pengorbanan. Maka kita pun menemukan dalam sejarah sikap mental yang teramat indah pada diri para sahabat nabi: siap berkorban dengan apa saja demi tegaknya kalimatullah.
Jika mencermati tadhhiyyah mereka yang tak kepalang tanggung itu, mudahlah kita memahami mengapa mereka mendapat kemenangan demi kemenangan dalam dakwah dan jihad. Di tangan mereka banyak hati manusia yang menjadi terbuka untuk menerima hidayah Allah swt. Mereka telah mempersembahkan apa pun yang mereka miliki. Lalu Allah pun menganugerahkan apa yang mereka inginkan.