Da'wah ini tidak mengenal sikap ganda ia hanya mengenal satu sikap TOTALITAS. Siapa yang bersedia untuk itu maka ia harus hidup bersama da'wah dan da'wah pun melebur dalam dirinya. Sebaliknya, barang siapa yang lemah dalam memikul beban ini ia terhalang dari pahala besar mujahid dan tinggal bersama orang-orang duduk. Lalu Allah SWT akan menggantikan mereka dengan generasi lain yang lebih baik dan sanggup memikul beban dakwah ini

Kamis, 13 Mei 2010

0 komentar

Aids Haraki

Aku gemakan sebuah gaung kewaspadaan terhadap kerusakan yang melingkupi dan bahaya yang mengancam. Itulah wabah Aids Haraki yang menggerogoti bangunan harakah dan tanzhim serta menghacurkannya menjadi puing. Sebuah wabah yang diingatkan Al-Qur’an dengan tegas: “…dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan…”

Maka adakah yang menyambut gema ini? Saya berharap demikian. Allah sajalah yang memberi pertolongan dan kepada-Nya lah kita bertawakkal.

1 Ramadhan 1409 H
Fathi Yakan

Aids Haraki. Ya, demikianlah Ustadz Fathi Yakan – seorang ulama dan mujahid dakwah tingkat dunia – mengistilahkan suatu fenomena yang telah dan sedang terjadi di sebagian harakah (gerakan) Islam. Ini adalah sebuah peringatan keras dari beliau kepada para aktivis dakwah, lebih dari delapan belas tahun lalu. Fa dzakkir inna adz-dzikra tanfa’ul mu’miniin.

Aids adalah kondisi ketika seseorang mengalami kehilangan daya kekebalan tubuh, sehingga menjadi sangat rentan terhadap berbagai penyakit. Dan karena virus HIV yang menyebabkan penyakit AIDS ini belum ditemukan obatnya hingga saat ini, para pengidap HIV/AIDS pada umumnya akan segera mengalami kematian secara mengenaskan.

Dalam bukunya yang berjudul Ihdzaruu Al-Aids Al-Haraky (1989), Ustadz Fathi Yakan secara khusus menyoroti kasus kehancuran harakah (gerakan) dan tanzhim (organisasi) dakwah di Libanon. Pada saat yang sama beliau juga menemukan fenomena yang sama sedang terjadi di sebagian negeri-negeri muslim lainnya.

Menurut pendapat beliau, kasus-kasus kehancuran organisasi dakwah yang berawal dari melemahnya daya tahan internal organisasi mereka, seringkali terjadi di saat mereka berada pada mihwar siyasi (orbit politik), yaitu saat gerakan Islamiyah memasuki wilayah politik untuk menyempurnakan wilayah amal dan pencapaian sasaran dakwahnya.

Mengapa begitu? Apakah masuknya gerakan dakwah Islam ke dalam wilayah politik adalah suatu kekeliruan? Tentu saja tidak! Karena syumuliyatul-Islam (sifat kemenyeluruhan ajaran Islam) mengharuskan politik sebagai bagian tak terpisahkan dari Islam. Dan syumuliyatud-da’wah menuntut kita untuk memasuki wilayah politik.

Lalu bagaimana suatu gerakan dakwah bisa terjangkiti penyakit aids dan kemudian mengalami kehancuran? Dalam analisisnya, Ustadz Fathi Yakan menyebutkan tujuh faktor yang menyebabkan semua ini.

Faktor penyebab pertama, hilangnya manna’ah i’tiqadiyah (imunitas keyakinan) dan tidak tegaknya bangunan dakwah di atas pondasi fikrah dan mabda’ yang benar dan kokoh. Dampak yang timbul dari faktor ini di antaranya adalah tidak tegaknya organisasi dakwah di atas fikrah yang benar dan kokoh.

Adakalanya sebuah organisasi hanya berwujud tanzhim ziami, yaitu bangun organisasi yang tegak di atas landasan loyalitas kepada seorang pemimpin yang diagungkan. Ada lagi yang berupa tanzhim syakhshi, yaitu bangun organisasi yang dibangun di atas bayangan figur seseorang. Yang lain berupa tanzhim mashlahi naf’i yaitu bangun organisasi yang berorientasi mewujudkan tujuan materi semata.

Dengan begitu, jadilah bangunan organisasi dakwah tadi begitu lemah dan rapuh. Tidak mampu menghadapi kesulitan dan tantangan. Akhirnya goncanglah ia dan bercerai-berailah barisannya, sehingga muncul berbagai tragedi yang menimpanya.

Faktor penyebab kedua, rekruting berdasarkan kuantitas, dimana bilangan dan jumlah personil menjadi demikian menyibukkan dan menguras perhatian qiyadah (pemimpin) dakwah. Dengan anggapan bahwa jumlah yang banyak itu menjadi penentu kemenangan dan kejayaan. Kondisi ini memang seringkali mendapatkan pembenarannya ketika sebuah gerakan dakwah tampil secara formal sebagai partai politik.

Orientasi kepada rekruting kuantitas – pada sisi lain – akan memudahkan pihak-pihak tertentu menciptakan qaidah sya’biyah atau basis dukungan sosial untuk kepentingan realisasi tujuan-tujuannya. Dalam situasi tertentu bisa muncul figur atau tokoh-tokoh tertentu dalam gerakan dakwah yang memperjuangkan kepentingannya dengan memanfaatkan qaidah sya’biyah yang dibangunnya. Pada saat seperti inilah, qaidah sya’biyah ini bisa berdiri sebagai musuh bagi gerakan dakwah.

Faktor penyebab ketiga, bangunan organisasi dakwah tergadai oleh pihak luar. Baik tergadai oleh sesama organisasi dakwah, organisasi politik, maupun negara. Boleh jadi juga tergadai oleh basis-basis kekuatan yang ada di sekelilingnya; baik secara politis, ekonomi, keamanan, atau keseluruhan dari unsur-unsur ini.

Akibatnya, bangun organisasi dakwah tadi kehilangan potensi cengkeram, kabur orientasi, dan arah politiknya. Jadilah ia sebuah organisasi yang diperalat bagi kepentingan pihak lain, meskipun terkadang ia sendiri bisa mendapatkan kepentingannya dengan cara itu.

Faktor penyebab keempat, tergesa-gesa ingin meraih kemenangan meskipun tidak diimbangi dengan sarana yang memadai, dalam kondisi minimal sekalipun. Wilayah politik identik dengan pos-pos kekuasaan. Ada semangat pencarian dan pencapaian pos-pos kekuasaan yang pasti dilakukan oleh setiap pelaku politik. Dan semua itu akan berlangsung seperti tidak ada ujung akhirnya.

Kekuasaan, di manapun – menurut Ustadz Fathi Yakan – kemampuannya membagi ghanimah (harta) kepada aparat sebanding dengan potensinya menderita kerugian. Bahkan ghanimah yang telah diperoleh itu terkadang justru melahirkan cobaan dan bencana bagi gerakan dakwah. Pemicunya adalah sengketa dalam pembagiannya; antar personil, personil dengan pemimpin serta penguasa yang berambisi mendapatkan bagian terbanyak.

Sesungguhnya, kajian yang jernih terhadap faktor-faktor yang mengantarkan beberapa hizb (partai) meraih kekuasaannya atas berbagai wilayah di dunia, mampu mengungkap sejauh-mana dampak negatif bahkan bahaya yang dihadapi oleh hizb tadi.

Dampak negatif tadi antara lain berupa keruntuhan dan kehancurannya, serta terpecah-belahnya hizb itu menjadi kepingan, kehilangan prinsip dan orientasi, yang akhirnya mengantarkannya menjadi sebuah kelompok yang mengejar kepentingan hawa nafsu dan materi duniawi semata.

Faktor penyebab kelima, munculnya sentra-sentra kekuatan, aliran, dan sayap-sayap gerakan dalam tubuh gerakan dakwah. Kebanyakan bangunan organisasi dakwah yang mengalami pertikaian dan perselisihan berpotensi melahirkan hal-hal di atas.

Sebuah gerakan dakwah, apa saja namanya, apabila memiliki ta’addudul wala’ (multi loyalitas) dan dikendalikan oleh beragam kekuatan, tidak tunduk kepada qiyadah (kepemimpinan) tunggal, di mana hati para personil dan para mas’ul-nya tidak terhimpun pada seseorang yang dipercaya, maka ia menjadi gerakan dakwah yang potensial melahirkan pertikaian, berebut pengaruh dan kekuasaan untuk meraih ambisi-ambisi pribadi.

Faktor penyebab keenam, campur-tangan pihak luar. Di zaman sekarang, faktor-faktor ini telah begitu dominan mempengaruhi dunia. Kekuatan siyasiyah (politik), fikriyah (pemikiran), asykariyah (militer), dan jasusiyah (intelejen) yang beraneka ragam dikerahkan untuk memukul seterunya dengan target kehancuran bangunan organisasi dakwah.

Hal ini dilakukan melalui deteksi cermat terhadap titik lemah, kemudian menawarkan “dukungan”, setelah itu dipukul hancur. Pintu masuk menuju ke sana memang sangat banyak. Adakalanya melalui pintu siyasah, yaitu dengan menawarkan berbagai kemaslahatan politik. Terkadang melalui pintu maliyah, dengan jalan menutup kebutuhan finansial. Lain kali melalui pintu amniyah, yaitu dengan menjanjikan perlindungan keamanan. Hal-hal itu dilakukan satu per satu atau secara bersama-sama.

Kapankah kekuatan eksternal bisa masuk ke dalam tubuh organisasi dakwah? Yaitu ketika bangunan organisasi dakwah secara umum mengalami kelemahan; keringnya ruh akidah, baik di tingkat personil anggota maupun level pemimpinnya, dan beratnya beban maddiyah (materi) maupun ma’nawiyah (moril) yang harus dipikul. Jadilah ia sebuah bangunan organisasi rapuh yang pintu-pintunya terkuak. Orang pun dengan leluasa masuk ke dalamnya untuk mewujudkan ambisi mereka dengan seribu satu cara.

Faktor penyebab ketujuh, lemah atau bahkan tidak adanya wa’yu siyasi (kesadaran politik). Sebuah gerakan dakwah Islam – di mana saja – apabila tidak memiliki wa’yu siyasi yang tinggi dan baik, tidak akan bisa hidup mengimbangi zaman; tidak memahami kejadian yang ada di sekelilingnya, terkecoh oleh fenomena permukaan, lupa mengkaji apa di balik peristiwa, tidak mampu merumuskan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai peristiwa global, tidak bisa membuat footnote setelah membaca teks, tidak mampu meletakkan kebijakan politik lokal berdasarkan kondisi-kondisi politik internasional, dan lain-lain kepekaan.

Apabila sebuah gerakan dakwah memiliki kelemahan seperti itu, di saat mana arah politik demikian tumpang-tindih dan keserakahan demikian merajalela, yang tampak di permukaan tidak lagi sebagaimana isinya, maka ia akan menjadi organisasi gerakan dakwah yang langkahnya terseok-seok, sikap-sikapnya kontradiktif, dan mudah terbawa arus. Apabila sudah demikian, datanglah sang penghancur untuk memutuskan hukuman mati atasnya.

Ada hal penting dan mendasar dari analisis lanjutan Ustadz Fathi Yakan yaitu, semua faktor yang dipaparkan di atas adalah buah dari pohon “politik mendominasi tarbiyah”. Iklim atau munakh dalam gerakan dakwah lebih kental politik, yang bahkan sangat mempengaruhi bangunan sikap-perilaku jajaran kader dan para pemimpinnya.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan manfaat dari taushiyah yang disampaikan lebih dari delapan belas tahun silam untuk kebaikan dan kemajuan gerakan dakwah di Indonesia. Amin. []
5 komentar

Aids Haraki

Aku gemakan sebuah gaung kewaspadaan terhadap kerusakan yang melingkupi dan bahaya yang mengancam. Itulah wabah Aids Haraki yang menggerogoti bangunan harakah dan tanzhim serta menghacurkannya menjadi puing. Sebuah wabah yang diingatkan Al-Qur’an dengan tegas: “…dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan…”

Maka adakah yang menyambut gema ini? Saya berharap demikian. Allah sajalah yang memberi pertolongan dan kepada-Nya lah kita bertawakkal.

1 Ramadhan 1409 H
Fathi Yakan

Aids Haraki. Ya, demikianlah Ustadz Fathi Yakan – seorang ulama dan mujahid dakwah tingkat dunia – mengistilahkan suatu fenomena yang telah dan sedang terjadi di sebagian harakah (gerakan) Islam. Ini adalah sebuah peringatan keras dari beliau kepada para aktivis dakwah, lebih dari delapan belas tahun lalu. Fa dzakkir inna adz-dzikra tanfa’ul mu’miniin.

Aids adalah kondisi ketika seseorang mengalami kehilangan daya kekebalan tubuh, sehingga menjadi sangat rentan terhadap berbagai penyakit. Dan karena virus HIV yang menyebabkan penyakit AIDS ini belum ditemukan obatnya hingga saat ini, para pengidap HIV/AIDS pada umumnya akan segera mengalami kematian secara mengenaskan.

Dalam bukunya yang berjudul Ihdzaruu Al-Aids Al-Haraky (1989), Ustadz Fathi Yakan secara khusus menyoroti kasus kehancuran harakah (gerakan) dan tanzhim (organisasi) dakwah di Libanon. Pada saat yang sama beliau juga menemukan fenomena yang sama sedang terjadi di sebagian negeri-negeri muslim lainnya.

Menurut pendapat beliau, kasus-kasus kehancuran organisasi dakwah yang berawal dari melemahnya daya tahan internal organisasi mereka, seringkali terjadi di saat mereka berada pada mihwar siyasi (orbit politik), yaitu saat gerakan Islamiyah memasuki wilayah politik untuk menyempurnakan wilayah amal dan pencapaian sasaran dakwahnya.

Mengapa begitu? Apakah masuknya gerakan dakwah Islam ke dalam wilayah politik adalah suatu kekeliruan? Tentu saja tidak! Karena syumuliyatul-Islam (sifat kemenyeluruhan ajaran Islam) mengharuskan politik sebagai bagian tak terpisahkan dari Islam. Dan syumuliyatud-da’wah menuntut kita untuk memasuki wilayah politik.

Lalu bagaimana suatu gerakan dakwah bisa terjangkiti penyakit aids dan kemudian mengalami kehancuran? Dalam analisisnya, Ustadz Fathi Yakan menyebutkan tujuh faktor yang menyebabkan semua ini.

Faktor penyebab pertama, hilangnya manna’ah i’tiqadiyah (imunitas keyakinan) dan tidak tegaknya bangunan dakwah di atas pondasi fikrah dan mabda’ yang benar dan kokoh. Dampak yang timbul dari faktor ini di antaranya adalah tidak tegaknya organisasi dakwah di atas fikrah yang benar dan kokoh.

Adakalanya sebuah organisasi hanya berwujud tanzhim ziami, yaitu bangun organisasi yang tegak di atas landasan loyalitas kepada seorang pemimpin yang diagungkan. Ada lagi yang berupa tanzhim syakhshi, yaitu bangun organisasi yang dibangun di atas bayangan figur seseorang. Yang lain berupa tanzhim mashlahi naf’i yaitu bangun organisasi yang berorientasi mewujudkan tujuan materi semata.

Dengan begitu, jadilah bangunan organisasi dakwah tadi begitu lemah dan rapuh. Tidak mampu menghadapi kesulitan dan tantangan. Akhirnya goncanglah ia dan bercerai-berailah barisannya, sehingga muncul berbagai tragedi yang menimpanya.

Faktor penyebab kedua, rekruting berdasarkan kuantitas, dimana bilangan dan jumlah personil menjadi demikian menyibukkan dan menguras perhatian qiyadah (pemimpin) dakwah. Dengan anggapan bahwa jumlah yang banyak itu menjadi penentu kemenangan dan kejayaan. Kondisi ini memang seringkali mendapatkan pembenarannya ketika sebuah gerakan dakwah tampil secara formal sebagai partai politik.

Orientasi kepada rekruting kuantitas – pada sisi lain – akan memudahkan pihak-pihak tertentu menciptakan qaidah sya’biyah atau basis dukungan sosial untuk kepentingan realisasi tujuan-tujuannya. Dalam situasi tertentu bisa muncul figur atau tokoh-tokoh tertentu dalam gerakan dakwah yang memperjuangkan kepentingannya dengan memanfaatkan qaidah sya’biyah yang dibangunnya. Pada saat seperti inilah, qaidah sya’biyah ini bisa berdiri sebagai musuh bagi gerakan dakwah.

Faktor penyebab ketiga, bangunan organisasi dakwah tergadai oleh pihak luar. Baik tergadai oleh sesama organisasi dakwah, organisasi politik, maupun negara. Boleh jadi juga tergadai oleh basis-basis kekuatan yang ada di sekelilingnya; baik secara politis, ekonomi, keamanan, atau keseluruhan dari unsur-unsur ini.

Akibatnya, bangun organisasi dakwah tadi kehilangan potensi cengkeram, kabur orientasi, dan arah politiknya. Jadilah ia sebuah organisasi yang diperalat bagi kepentingan pihak lain, meskipun terkadang ia sendiri bisa mendapatkan kepentingannya dengan cara itu.

Faktor penyebab keempat, tergesa-gesa ingin meraih kemenangan meskipun tidak diimbangi dengan sarana yang memadai, dalam kondisi minimal sekalipun. Wilayah politik identik dengan pos-pos kekuasaan. Ada semangat pencarian dan pencapaian pos-pos kekuasaan yang pasti dilakukan oleh setiap pelaku politik. Dan semua itu akan berlangsung seperti tidak ada ujung akhirnya.

Kekuasaan, di manapun – menurut Ustadz Fathi Yakan – kemampuannya membagi ghanimah (harta) kepada aparat sebanding dengan potensinya menderita kerugian. Bahkan ghanimah yang telah diperoleh itu terkadang justru melahirkan cobaan dan bencana bagi gerakan dakwah. Pemicunya adalah sengketa dalam pembagiannya; antar personil, personil dengan pemimpin serta penguasa yang berambisi mendapatkan bagian terbanyak.

Sesungguhnya, kajian yang jernih terhadap faktor-faktor yang mengantarkan beberapa hizb (partai) meraih kekuasaannya atas berbagai wilayah di dunia, mampu mengungkap sejauh-mana dampak negatif bahkan bahaya yang dihadapi oleh hizb tadi.

Dampak negatif tadi antara lain berupa keruntuhan dan kehancurannya, serta terpecah-belahnya hizb itu menjadi kepingan, kehilangan prinsip dan orientasi, yang akhirnya mengantarkannya menjadi sebuah kelompok yang mengejar kepentingan hawa nafsu dan materi duniawi semata.

Faktor penyebab kelima, munculnya sentra-sentra kekuatan, aliran, dan sayap-sayap gerakan dalam tubuh gerakan dakwah. Kebanyakan bangunan organisasi dakwah yang mengalami pertikaian dan perselisihan berpotensi melahirkan hal-hal di atas.

Sebuah gerakan dakwah, apa saja namanya, apabila memiliki ta’addudul wala’ (multi loyalitas) dan dikendalikan oleh beragam kekuatan, tidak tunduk kepada qiyadah (kepemimpinan) tunggal, di mana hati para personil dan para mas’ul-nya tidak terhimpun pada seseorang yang dipercaya, maka ia menjadi gerakan dakwah yang potensial melahirkan pertikaian, berebut pengaruh dan kekuasaan untuk meraih ambisi-ambisi pribadi.

Faktor penyebab keenam, campur-tangan pihak luar. Di zaman sekarang, faktor-faktor ini telah begitu dominan mempengaruhi dunia. Kekuatan siyasiyah (politik), fikriyah (pemikiran), asykariyah (militer), dan jasusiyah (intelejen) yang beraneka ragam dikerahkan untuk memukul seterunya dengan target kehancuran bangunan organisasi dakwah.

Hal ini dilakukan melalui deteksi cermat terhadap titik lemah, kemudian menawarkan “dukungan”, setelah itu dipukul hancur. Pintu masuk menuju ke sana memang sangat banyak. Adakalanya melalui pintu siyasah, yaitu dengan menawarkan berbagai kemaslahatan politik. Terkadang melalui pintu maliyah, dengan jalan menutup kebutuhan finansial. Lain kali melalui pintu amniyah, yaitu dengan menjanjikan perlindungan keamanan. Hal-hal itu dilakukan satu per satu atau secara bersama-sama.

Kapankah kekuatan eksternal bisa masuk ke dalam tubuh organisasi dakwah? Yaitu ketika bangunan organisasi dakwah secara umum mengalami kelemahan; keringnya ruh akidah, baik di tingkat personil anggota maupun level pemimpinnya, dan beratnya beban maddiyah (materi) maupun ma’nawiyah (moril) yang harus dipikul. Jadilah ia sebuah bangunan organisasi rapuh yang pintu-pintunya terkuak. Orang pun dengan leluasa masuk ke dalamnya untuk mewujudkan ambisi mereka dengan seribu satu cara.

Faktor penyebab ketujuh, lemah atau bahkan tidak adanya wa’yu siyasi (kesadaran politik). Sebuah gerakan dakwah Islam – di mana saja – apabila tidak memiliki wa’yu siyasi yang tinggi dan baik, tidak akan bisa hidup mengimbangi zaman; tidak memahami kejadian yang ada di sekelilingnya, terkecoh oleh fenomena permukaan, lupa mengkaji apa di balik peristiwa, tidak mampu merumuskan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai peristiwa global, tidak bisa membuat footnote setelah membaca teks, tidak mampu meletakkan kebijakan politik lokal berdasarkan kondisi-kondisi politik internasional, dan lain-lain kepekaan.

Apabila sebuah gerakan dakwah memiliki kelemahan seperti itu, di saat mana arah politik demikian tumpang-tindih dan keserakahan demikian merajalela, yang tampak di permukaan tidak lagi sebagaimana isinya, maka ia akan menjadi organisasi gerakan dakwah yang langkahnya terseok-seok, sikap-sikapnya kontradiktif, dan mudah terbawa arus. Apabila sudah demikian, datanglah sang penghancur untuk memutuskan hukuman mati atasnya.

Ada hal penting dan mendasar dari analisis lanjutan Ustadz Fathi Yakan yaitu, semua faktor yang dipaparkan di atas adalah buah dari pohon “politik mendominasi tarbiyah”. Iklim atau munakh dalam gerakan dakwah lebih kental politik, yang bahkan sangat mempengaruhi bangunan sikap-perilaku jajaran kader dan para pemimpinnya.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan manfaat dari taushiyah yang disampaikan lebih dari delapan belas tahun silam untuk kebaikan dan kemajuan gerakan dakwah di Indonesia. Amin. []
0 komentar

Figh Ghazawat (Strategi Perang)


Tanpa kita sadari “As-Shira’ bainal haq wal bathil”, pertarungan antara al-Hak dan batil terus berlangsung di tengah-tengah kehidupan kita. Persoalannya yang penting bagi kita adalah, sejauh mana kita berada dalam barisan yang hak dan memenangkan pertarungan melawan yang batil tersebut. Untuk memenangkan pertarungan ikhwah fillah, kita perlu menata dan memenej dengan baik “al-haq” yang kita perjuangkan, sebab tanpa itu semua kita akan mudah digilas dan dikalahkan dengan manuver-manuver kebatilan yang ditata dan dimenej dengan baik, sebagaimana kata Imam Ali RA : “Al-Haqqu bilaa nizhaamin yaghlibuhul Bathil binizhaamin”.

Al-Haq dalam pengertian yang luas bila terus diperkuat dan dikembangkan, akan mampu menggeser kebatilan di segala bidang. Untuk memperkuat dan mengembangkan al-Haq agar semakin eksis dan aplikatif dalam kehidupan ini tentunya memerlukan sarana. Sarana itu adalah “dakwah” itu sendiri. Oleh karena itu dakwah harus selalu dipahami dalam konteknya sebagai refresentasi Al-Haq yang bertarung melawan kebatilan. Sehingga berdakwah dalam arti luas sesungguhnya dapat juga diartikan dengan berperang. Berperang merebut pengaruh dan dukungan, berperang untuk menguasai sektor-sektor kebijakan publik yang nantinya diharapkan mengkapitalisasi potensi dan kekuatan dakwah di segala bidang, serta memperbanyak program-program kebaikan (Amar Ma’ruf) di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan meminimalisasi program-program kemunkaran (Nahi Munkar) yang berpotensi merusak tatanan nilai kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, orientasi dakwah tidak cukup hanya memasyarakat (Mihwar Sya’by), tetapi orientasi dakwah juga harus menegara (Mihwar daulah). Untuk itu diperlukan “strategic of war”, strategi perang untuk memenangkan dakwah ini. Bila kita renungkan Ikhwah Fillah!, Rasulullah SAW sebelum terjun melewati peperangan yang sesungguhnya telah mengawali aksi dakwahnya dengan pendekatan strategi perang. Perang untuk menguasai individu-individu yang penting dan potensial bagi kapitalisasi dakwah ke depan. Misalnya Pola rekrutmen yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam dakwahnya adalah pola pendekatan yang segmentatif, dari kalangan segmen wanita Rasulullah berhasil merekrut isterinya Khadijah RA, dari kalangan pria dewasa khususnya saudagar beliau berhasil merekrut Abu Bakar RA, dari kalangan kaum dhuafa dan hamba sahaya berhasil direkrut Zaid bin HAritsah dan dari kalangan anak-anak dan remaja Ali bin Abi Thalib RA. Masing-masing segmen kemudian menjadi bertambah panjang rangkaian gerbong dan penumpangnya, karena proses dakwah dan rekrutmen terus berjalan pada masing-masing segmen tersebut.

Dalam kontek jihad siyasi menuju mihwar daulah sekarang ini, juga amat penting bagi kita untuk merekonstruksi strategi perang yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, artinya harus ada dari kita ikhwah fillah, yang memfokuskan dakwahnya untuk segmen dan kalangan tertentu, harus ada di antara kita yang berdakwah di kalangan pengusaha, birokrat, pelajar, dosen, mahasiswa, buruh, petani, pedagang dan sya’biyah ‘aammah. Semakin banyak segmen yang dapat direkrut dan dikelola, maka akan semakin banyak simpul massa yang bisa di raih untuk meningkatkan potensi dan dukungan bagi dakwah ini.

Dalam strategi perang yang terpenting adalah menguasai sumber-sumber kekuatan, yang dapat menambah kekuatan kita dan mengurangi kekuatan lawan. Oleh karena itu Habab bin Mundzir RA penasehat militer Rasulullah SAW mengusulkan agar pasukan kaum muslimin dalam perang Badar segera mendekat ke sumber air sebelum pasukan Quraisy mengambil posisi tersebut. Dalam konteks jihad siyasi kita sekarang ini juga di perlukan penguasaan sumber, di antara sumber yang penting untuk dikuasai adalah media dan sarana informasi lainnya, juga sumber-sumber yang dapat mendatangkan pengaruh, seperti public figure, simpul massa dan vote getter. Semakin banyak hal itu dikuasai, semakin banyak sumber-sumber kekuatan yang dapat membantu kelancaran dakwah, dan semakin membuat dakwah memiliki kekuatan untuk memuluskan jalan al-Haq dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Fiqhul ghazawat, tidak hanya terkait dengan kecamuk nya perang, tetapi juga terkait dengan kepiawaian diplomasi dan memperlihatkan Performa di mata lawan, oleh sebab itu Rasulullah SAW membawa serta 80 kaum Musyrikin Bani Khuza’ah lengkap dengan hewan-hewan kurban yang akan disembelih, ketika beliau dan kaum Muslimin menuju Mekah untuk melakukan umrah. Peristiwa inilah yang mengantarkan kaum Muslimin kepada perjanjian Hudaibiyah yang kemudian membuat dakwah semakin leluasa dan bebas bergerak. Diplomasi dan Performa damai yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW menegaskan kepada elit pimpinan Quraisy bahwa Islam datang dengan misi social charity untuk kemanusiaan. Sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak kedatangan Nabi dan kaum Muslimin. Nah, misi itu pulalah yang juga harus ditonjolkan oleh dakwah ini, bagaimana meyakinkan para pemimpin baik di tingkat nasional maupun internasional untuk tidak mencurigai dakwah ini dan tidak ada alas an bagi mereka untuk menentang dan menolaknya. Untuk itu ikhwah fillah, kita harus banyak melakukan pendekatan, kalau perlu mengundang mereka untuk hadir pada even-even besar yang diselenggarakan. Mengundang tokoh nasional khususnya kalangan tokoh partai Nasionalis-Sekuler, bahkan tokoh internasional baik kalangan Muslim dan non muslimnya akan sangat membantu menumbuhkan kesan pergaulan nasional dan internasional yang baik dan imej inklusif tas dakwah ini,

Di situlah kesempatan besar untuk memperkenalkan kepada mereka, sebatas yang diperlukan, apa dakwah ini, apa misi besarnya, dan bagaimana pandangan dakwah dalam membangun solusi dari problematika yang dihadapi dunia dewasa ini. Bila mereka mengenali dakwah dengan baik maka insya Allah mereka tidak akan mudah begitu saja memusuhi dakwah. “Al- Insaanu ‘aduwwun bimaa jahula”, manusia cenderung memusuhi sesuatu yang tidak diketahuinya”. Demikian kata Imam Ghazali rahimahullah.

Strategi menampakkan kekuatan di mata lawan juga sangat penting kaitannya dengan strategi perang, oleh sebab itu pasca perjanjian Hudaibiyah Rasulullah SAW mengirim ekspedisi ke Mu’tah wilayah koloni Romawi, di satu sisi memanfaatkan gencatan senjata dan perdamaian untuk memperluas pengaruh dakwah, di sisi lain untuk show of force kepada kabilah-kabilah Arab, bahwa kekuatan kaum Muslimin tidak dapat diremehkan begitu saja, tidak pernah sejarahnya bangsa Arab berperang dengan Romawi, tetapi Rasulullah SAW bersama kaum Muslimin telah memulainya, beliau melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh bangsa Arab sebelumnya, hal ini semakin menunjukkan imej kekuatan umat Islam di kalangan bangsa Arab, khususnya kaum kafir Quraisy.

Nu’man bin Muqarrin RA, panglima perang kaum Muslimin ketika berperang melawan Persia di Nahawand, dengan jumlah pasukan yang jauh tidak seimbang, di mana pasukan kaum Muslimin jauh lebih sedikit ketimbang jumlah pasukan Persia. Num’an bin Muqarrin dengan kecerdasan intelegensianya segera memberikan komando serentak kepada pasukan, pada saat musuh telah tampak dari kajauhan, strategi agar kaum Muslimin kelihatan banyak dan bermilitansi tinggi, maka dibuatlah komando serentak melalui aba-aba takbir serentak secara berbarengan. Takbir pertama, seluruh pasukan kaum Muslimin bersiap-siap di samping kendaraan tunggangannya, takbir kedua mereka serempak menurunkan peralatan dan perlengkapan tenda nya, takbir ketiga mereka serentak mendirikan kemahnya dalam waktu yang sangat cepat. Hal ini menimbulkan ketakutan di kalangan pasukan Persia, setiap mereka mendengarkan gemuruh takbir membahana di tengah pasukan kaum Muslimin.

Demikianlah ikhwah fillah, pentingnya membangun image sebagai sebuah strategi memenangkan pertarungan, strategi membangun image ini tidak hanya dibutuhkan pada konteks jihad askary, tetapi juga jihad siyasi. Intinya adalah bagaimana kita dapat bermain cantik, smooth dan efektif dalam memenangkan pertarungan antara al-haq dan al-bathil, sebagaimana pesan salah seorang ashabul Kahfi :

“Dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (QS. Al-Kahfi ; 19) Wallahu A’lamu Bisshawab
 

simkuring

Foto saya
orang biasa yang mempunyai mimpi luar biasa

barudak