Da'wah ini tidak mengenal sikap ganda ia hanya mengenal satu sikap TOTALITAS. Siapa yang bersedia untuk itu maka ia harus hidup bersama da'wah dan da'wah pun melebur dalam dirinya. Sebaliknya, barang siapa yang lemah dalam memikul beban ini ia terhalang dari pahala besar mujahid dan tinggal bersama orang-orang duduk. Lalu Allah SWT akan menggantikan mereka dengan generasi lain yang lebih baik dan sanggup memikul beban dakwah ini

Jumat, 14 Agustus 2009

0 komentar

Dakwah Tidak Dapat Dipikul Orang Manja

Wahai Saudaraku yang dikasihi Allah.
Perjalanan dakwah yang kita lalui ini bukanlah perjalanan yang banyak ditaburi kegemerlapan dan kesenangan. Ia merupakan perjalanan panjang yang penuh tantangan dan rintangan berat.
Telah banyak sejarah orang-orang terdahulu sebelum kita yang merasakan manis getirnya perjalanan dakwah ini. Ada yang disiksa, ada pula yang harus berpisah kaum kerabatnya. Ada pula yang diusir dari kampung halamannya. Dan sederetan kisah perjuangan lainnya yang telah mengukir bukti dari pengorbanannya dalam jalan dakwah ini. Mereka telah merasakan dan sekaligus membuktikan cinta dan kesetiaan terhadap dakwah.
Cobalah kita tengok kisah Dzatur Riqa’ yang dialami sahabat Abu Musa Al Asy’ari dan para sahabat lainnya –semoga Allah swt. meridhai mereka. Mereka telah merasakannya hingga kaki-kaki mereka robek dan kuku tercopot. Namun mereka tetap mengarungi perjalanan itu tanpa mengeluh sedikitpun. Bahkan, mereka malu untuk menceritakannya karena keikhlasan dalam perjuangan ini. Keikhlasan membuat mereka gigih dalam pengorbanan dan menjadi tinta emas sejarah umat dakwah ini. Buat selamanya.
Pengorbanan yang telah mereka berikan dalam perjalanan dakwah ini menjadi suri teladan bagi kita sekalian. Karena kontribusi yang telah mereka sumbangkan untuk dakwah ini tumbuh bersemi. Dan, kita pun dapat memanen hasilnya dengan gemilang. Kawasan Islam telah tersebar ke seluruh pelosok dunia. Umat Islam telah mengalami populasi dalam jumlah besar. Semua itu karunia yang Allah swt. berikan melalui kesungguhan dan kesetiaan para pendahulu dakwah ini. Semoga Allah meridhai mereka.



Duhai saudaraku yang dirahmati Allah swt.
Renungkanlah pengalaman mereka sebagaimana yang difirmankan Allah swt. dalam surat At-Taubah: 42.
Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu. Tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka, mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah, “Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.
Mereka juga telah melihat siapa-siapa yang dapat bertahan dalam mengarungi perjalanan yang berat itu. Hanya kesetiaanlah yang dapat mengokohkan perjalanan dakwah ini. Kesetiaan yang menjadikan pemiliknya sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian. Menjadikan mereka optimis menghadapi kesulitan dan siap berkorban untuk meraih kesuksesan. Kesetiaan yang menghantarkan jiwa-jiwa patriotik untuk berada pada barisan terdepan dalam perjuangan ini. Kesetiaan yang membuat pelakunya berbahagia dan sangat menikmati beban hidupnya. Setia dalam kesempitan dan kesukaran. Demikian pula setia dalam kelapangan dan kemudahan.
Saudaraku seperjuangan yang dikasihi Allah swt.
Sebaliknya orang-orang yang rentan jiwanya dalam perjuangan ini tidak akan dapat bertahan lama. Mereka mengeluh atas beratnya perjalanan yang mereka tempuh. Mereka pun menolak untuk menunaikannya dengan berbagai macam alasan agar mereka diizinkan untuk tidak ikut. Mereka pun berat hati berada dalam perjuangan ini dan akhirnya berguguran satu per satu sebelum mereka sampai pada tujuan perjuangan.
Penyakit wahan telah menyerang mental mereka yang rapuh sehingga mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit sebagai risiko dan sunnah dakwah ini. Malah mereka menggugatnya lantaran anggapan mereka bahwa perjuangan dakwah tidaklah harus mengalami kesulitan.
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At-Taubah: 45-46)
Kesetiaan yang ada pada mereka merupakan indikasi kuat daya tahannya yang tangguh dalam dakwah ini. Sikap ini membuat mereka stand by menjalankan tugas yang terpikul di pundaknya. Mereka pun dapat menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Bila ditugaskan sebagai prajurit terdepan dengan segala akibat yang akan dihadapinya, ia senantiasa berada pada posnya tanpa ingin meninggalkannya sekejap pun. Atau bila ditempatkan pada bagian belakang, ia akan berada pada tempatnya tanpa berpindah-pindah. Sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw. dalam beberapa riwayat tentang prajurit yang baik.
Wahai Saudaraku yang dirahmati Allah.
Marilah kita telusuri perjalanan dakwah Abdul Fattah Abu Ismail, salah seorang murid Imam Hasan Al Banna yang selalu menjalankan tugas dakwahnya tanpa keluhan sedikitpun. Dialah yang disebutkan Hasan Al Banna orang yang sepulang dari tempatnya bekerja sudah berada di kota lain untuk memberikan ceramah kemudian berpindah tempat lagi untuk mengisi pengajian dari waktu ke waktu secara maraton. Ia selalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk menunaikan amanah dakwah. Sesudah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya, ia merupakan orang yang pertama kali datang ke tempatnya bekerja. Malah, ia yang membukakan pintu gerbangnya.
Pernah ia mengalami keletihan hingga tertidur di sofa rumah Zainab Al-Ghazali. Melihat kondisi tubuhnya yang lelah dan penat itu, tuan rumah membiarkan tamunya tertidur sampai bangun. Setelah menyampaikan amanah untuk Zainab Al Ghazali, Abdul Fattah Abu Ismail pamit untuk ke kota lainnya. Karena keletihan yang dialaminya, Zainab Al Ghazali memberikan ongkos untuk naik taksi. Abdul Fattah Abu Ismail mengembalikannya sambil mengatakan, “Dakwah ini tidak akan dapat dipikul oleh orang-orang yang manja.” Zainab pun menjawab, “Saya sering ke mana-mana dengan taksi dan mobil-mobil mewah, tapi saya tetap dapat memikul dakwah ini dan saya pun tidak menjadi orang yang manja terhadap dakwah. Karena itu, pakailah ongkos ini, tubuhmu letih dan engkau memerlukan istirahat sejenak.” Ia pun menjawab, “Berbahagialah ibu. Ibu telah berhasil menghadapi ujian Allah swt. berupa kenikmatan-kenikmatan itu. Namun, saya khawatir saya tidak dapat menghadapinya sebagaimana sikap ibu. Terima kasih atas kebaikan ibu. Biarlah saya naik kendaraan umum saja.”
Duhai saudaraku yang dimuliakan Allah swt.
Itulah contoh orang yang telah membuktikan kesetiaannya pada dakwah lantaran keyakinannya terhadap janji-janji Allah swt. Janji yang tidak akan pernah dipungkiri sedikit pun. Allah swt. telah banyak memberikan janji-Nya pada orang-orang yang beriman yang setia pada jalan dakwah berupa berbagai anugerah-Nya. Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)- mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al-Anfal: 29)
Dengan janji Allah swt. tersebut, orang-orang beriman tetap bertahan mengarungi jalan dakwah ini. Dan mereka pun tahu bahwa perjuangan yang berat itu sebagai kunci untuk mendapatkannya. Semakin berat perjuangan ini semakin besar janji yang diberikan Allah swt. kepadanya. Kesetiaan yang bersemayam dalam diri mereka itulah yang membuat mereka tidak akan pernah menyalahi janji-Nya. Dan, mereka pun tidak akan pernah mau merubah janji kepada-Nya.
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya). (Al Ahzab: 23)
Wahai ikhwah kekasih Allah swt.
Pernah seorang pejuang Palestina yang telah berlama-lama meninggalkan kampung halaman dan keluarganya untuk membuat mencari dukungan dunia dan dana diwawancarai. “Apa yang membuat Anda dapat berlama-lama meninggalkan keluarga dan kampung halaman?” Jawabnya, karena perjuangan. Dan, dengan perjuangan itu kemuliaan hidup mereka lebih berarti untuk masa depan bangsa dan tanah airnya. “Kalau bukan karena dakwah dan perjuangan, kami pun mungkin tidak akan dapat bertahan,” ungkapnya lirih.
Wahai saudaraku seiman dan seperjuangan
Aktivis dakwah sangat menyakini bahwa kesabaran yang ada pada dirinyalah yang membuat mereka kuat menghadapi berbagai rintangan dakwah. Bila dibandingkan apa yang kita lakukan serta yang kita dapatkan sebagai risiko perjuangan di hari ini dengan keadaan orang-orang terdahulu dalam perjalanan dakwah ini, belumlah seberapa. Pengorbanan kita di hari ini masih sebatas pengorbanan waktu untuk dakwah. Pengorbanan tenaga dalam amal khairiyah untuk kepentingan dakwah. Pengorbanan sebagian kecil dari harta kita yang banyak. Dan bentuk pengorbanan ecek-ecek lainnya yang telah kita lakukan. Coba lihatlah pengorbanan orang-orang terdahulu, ada yang disisir dengan sisir besi, ada yang digergaji, ada yang diikat dengan empat ekor kuda yang berlawanan arah, lalu kuda itu dipukul untuk lari sekencang-kencangnya hingga robeklah orang itu. Ada pula yang dibakar dengan tungku yang berisi minyak panas. Mereka dapat menerima resiko karena kesabaran yang ada pada dirinya.
Kesabaran adalah kuda-kuda pertahanan orang-orang beriman dalam meniti perjalanan ini. Bekal kesabaran mereka tidak pernah berkurang sedikit pun karena keikhlasan dan kesetiaan mereka pada Allah swt.
Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Ali Imran: 146)
Bila kita memandang kehidupan generasi pilihan, kita akan temukan kisah-kisah brilian yang telah menyuburkan dakwah ini. Muncullah pertanyaan besar yang harus kita tujukan pada diri kita saat ini. Apakah kita dapat menyemai dakwah ini menjadi subur dengan perjuangan yang kita lakukan sekarang ini ataukah kita akan menjadi generasi yang hilang dalam sejarah dakwah ini.
Ingat, dakwah ini tidak akan pernah dapat dipikul oleh orang-orang yang manja. Militansi aktivis dakah merupakan kendaraan yang akan menghantarkan kepada kesuksesan. Semoga Allah menghimpun kita dalam kebaikan. Wallahu’alam.

Selasa, 04 Agustus 2009

0 komentar

Memuliakan Teman

Memuliakan teman berarti menjaga dan menunaikan hak-hak mereka. Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam Tarbiyatul ‘Awlaad Fil Islam menyebutkan bahwa hak-hak tersebut adalah:

1. Mengucapkan salam ketika bertemu.

Rasulullah saw. bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga sebelum kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sebelum kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang apabila kalian kerjakan niscaya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (As-Syaikhani)

2. Menjenguk Teman Ketika Sakit

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy‘ari bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jenguklah orang yang sakit; beri makanlah orang yang lapar dan lepaskanlah orang yang dipenjara.”

Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Hak seseorang Muslim terhadap Muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin.”

3. Mendoakan Ketika Bersin

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu bersin, hendaklah ia mengucapkan al-hamdu lillah (segala puji bagi Allah), dan saudaranya atau temannya hendaknya mengucapkan untuknya yarhamukallah (semoga Allah mengasihimu). Apabila teman atau saudaranya tersebut mengatakan yarhamukallah (semoga Allah mengasihimu), kepadanya hendaklah ia mengucapkan yahdikumullah wa yushlihu balakum.”




Ibnu Majah dan At-Tarmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa menjenguk orang sakit atau berziarah kepada seorang saudara di jalan Allah, maka ia akan diseru oleh seorang penyeru, ‘Hendaklah engkau berbuat baik, dan baiklah perjalananmu, (karenanya) engkau akan menempati suatu tempat di surga‘.“

5. Menolong ketika kesempitan

Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim lainnya, ia tidak boleh berbuat zalim kepadanya dan tidak boleh menyia-nyiakannya (membiarkan, tidak menolongnya). Barangsiapa menolong kebutuhan saudaranya, maka Allah akan menolong kebutuhannya. Barangsiapa menyingkirkan suatu kesusahan dari seorang muslim, niscaya Allah akan menyingkirkan darinya suatu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi (aib)nya pada hari kiamat.”

6. Memenuhi undangannya apabila ia mengundang

Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Hak seseorang Muslim terhadap Muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin.”

7. Memberikan ucapan selamat

Ad-Dailami meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. “Barangsiapa bertemu saudaranya ketika bubar dari sholat Jum’at, maka hendaklah ia mengucapkan, ‘Semoga (Allah) menerima (amal dan doa) kami dan kamu‘.“

8. Saling memberi hadiah

At-Thabrani meriwayatkan dalam Al-Ausath dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda, “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.”

Ad-Dailami meriwayatkan dari Anas secara marfu’, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah karena hal itu dapat mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian.”

Imam Malik di dalam Al-Muwaththa’ meriwayatkan, “Saling bermaaf-maafkanlah, niscaya kedengkian akan hilang. Dan saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai dan hilanglah permusuhan.”


Senin, 03 Agustus 2009

0 komentar

Bekorban Untuk Kemenangan

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang memberi perbekalan kepada orang yang akan berperang maka sungguh dia telah (turut) berperang. Dan siapa yang memberikan bekal bagi keluarga yang ditinggalkan (oleh orang yang berjihad) maka sungguh ia telah (turut) berperang.” (Muslim)

Sabdanya pula, “Jihad yang utama adalah perkataan yang benar (dalam riwayat lain: perkataan yang adil, pen.) di hadapan penguasa zalim.” (At-Tirmidzi dan Al-Hakim)

Hadits ini memberikan apresiasi kepada siapa saja yang memberikan kontribusi dan tadhhiyyah (pengorbanan) bagi kemenangan dakwah. Ternyata yang mendapat posisi sebagai orang yang berjihad tidak hanya orang-orang yang terjun langsung di medan laga melainkan semua pihak yang turut mensukseskan proyek dakwah dan jihad itu. Hadits ini juga membuka fikiran kita tentang betapa banyaknya peluang kita untuk bertadhhiyyah.

Pada dasarnya tadhhiyah adalah tuntutan dalam segala upaya untuk mencapai tujuan. Tadhhiyah tentu saja dibutuhkan bukan saja di kancah pertempuran fisik (qital) melainkan juga dalam jihad siyasi (jihad dalam kancah politik) yang tengah kita dengung-dengungkan hari-hari ini. Karena jihad siyasi kita dapat memperkokoh eksistensi dakwah dalam kehidupan. Semakin tegas perlunya pengorbanan dalam jihad siyasi ini jika kita mengingat hal-hal berikut ini:

Pertama, dakwah tidak boleh surut walau selangkah dan pantang surut walau sejenak. Karenanya para pecinta keadilan harus mengobankan apa pun yang dimiliki untuk eksistensi dakwah di segala lini termasuk lembaga legislatif. Dakwah istirahat berarti membiarkan kebatilan semakin merajalela. Karenanya seorang pecinta keadilan akan menjadikan dakwah sebagai agenda utama dan yang lainnya hanyalah agenda ikutan. Perhatikan, betapa para penyebar kerusakan dan pecinta penyimpangan serta kebusukan tidak pernah berhenti melakukan perusakan dan penghancuran tatanan kehidupan bangsa. Siang dan malam mereka membuat makar. Allah swt. menerangkan:

“Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “(Tidak), sebenarnya tipu daya (mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya”. Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat azab. Dan kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan”. (Saba: 33)




Kedua, kemenangan dakwah memang berada di tangan Allah swt. Akan tetapi, tidak boleh dilupakan bahwa salah satu asbab kemenangan yang berada dalam jangkauan kemapuan manusia adalah kekuatan finansial. Makanya kita temukan dalam Quran berkorban dengan jiwa selalu digandengkan dengan berkorban dengan harta. Perhatikan firman Allah swt., “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (An-Nisa: 95)

Rasulullah saw. pernah mengoreksi Basir Bin Al-Khashashiyyah yang siap berbai’at kepadanya dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam kecuali jihad dan shadaqah. Maka Rasulullah saw. megatakan kepadanya, “Tanpa shadaqah dan tanpa jihad? Lalu dengan apa kamu akan masuk surga?”

Ketiga, jihad siyasi bukan hanya berkonsekuensi musara’ah fil-khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) akan tetapi juga wajib melaksanakan mushara’atul-bathil (bertarung melawan kebatilan). Allah swt. menegaskan, “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 217)

Keempat, jihad siyasi bertujuan mengajak semua pihak agar mengabdi kepada Allah dan tunduk patuh terhadap segala aturannya; agar pengelolaan kehidupan bernegara dan bermasyarakat didasarkan pada wahyu ilahi. Karenanya, pasti akan ada orang-orang yang merasa terancam dengan dakwah kita. Dari awal dakwahnya, Rasulullah saw. sudah mendapat penentangan dan hadangan dari orang-orang yang merasa terganggu atau terancam oleh seruannya. Tapi Allah malah memerintahkan Rasulullah agar tetap tergar, istiqomah, dan senantiasa memegang risalah Allah. “Dan pegang teguhlah apa yang telah diwahyukan kepadamu karena sesungguhnya engkau berada di jalan yang lurus.” (Az-Zukhruf: 43)

Kalau kita ingin menegakkan keadilan tapi tidak mau ada orang yang tidak suka kepada kita, lalu kita hanya menampilkan yang menyenangkan semua pihak, kita sebetulnya tidak sedang menegakkan keadilan. Rasulullah saw. sendiri diingatkan oleh Allah swt., “Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 67)

Tentu saja segala pengorbanan itu tidak akan sia-sia. Allah akan membeli segala yang dipersembahkan oleh orang beriman dengan surga. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (At-Taubah: 111)

Sungguh besar kasih sayang dan penghargaan Allah kepada orang yang mau berkorban. Harta dan jiwa adalah milik Allah. Dia berikan kepada manusia sebagai modal dalam percaturan hidup. Yang mau mengorbankannya dalam rangka mencari rido Allah mendapat laba yang tidak tertandingi oleh harga apa pun: surga! Dan karenanya, pengorbanan dengan kedua hal itu dijadikan-Nya sebagai indikator adanya keimanan sejati. Firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang sejati (imannya).” (Al-Hujurat: 15)

Ummu Harom Bintu Milhan adalah salah satu contoh dalam tadhhiyyah. Saat Rasulullah saw. menceritakan bahwa dirinya bermimpi tentang sejumlah kaum Muslimin yang berperang melintasi laut, Ummu Haram mengatakan, “Ya Rasulullah, doakanlah saya kepada Allah agar menjadikan saya sebagai bagian dari pasukan itu.” Rasulullah saw. menyahut, “Engkau termasuk rombongan pertama.” Dan benar saja, jauh setelah meninggal Rasulullah saw. yakni pada masa Utsman Bin ‘Affan, Ummu Harom masuk dalam pasukan perang pertama yang diutus oleh khalifah ke Cyprus. Dan di negeri itulah wanita mulia itu mendapatkan penghargaan dari Allah swt.: mati syahid.

Abu Ayyub Al-Anshari –semoga Allah meridoinya- mengisahkan, “Setelah Allah memberikan kejayaan kepada Islam, para pengikutnya bertambah banyak, maka kami saling berbisik sesama kami, ‘Harta kita sudah ludes dan Allah sudah memenangkan Islam. Bagaimana kalau kita cuti sejenak dari jihad untuk mengurusi kembali urusan bisnis, ladang, ternak.’ Lalu mereka menghadap kepada Rasulullah saw. untuk mengajukan izin cuti dari jihad dan pengorbanan. Lalu turunlah ayat Allah swt., “Dan berinfaklah kalian di jalan Allah. Dan janganlah kalian mencampakkan diri kalian ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195). Abu Ayyub selanjutnya menjelaskan, “Kebinasaan adalah bila kami terbelenggu dengan harta dan meningalkan jihad.”

Memperhatikan penjelasan Abu Ayyub itu kita dapat menyimpulkan bahwa ayat di atas ditujukan bukan kepada orang-orang yang sedang berpangku tangan bertopang dagu. Melainkan justeru kepada para sahabat yang telah habis-habisan berjuang, berdakwah, dan berjihad. Jadi pesan tegas ayat itu adalah memerintahkan kaum Muslimin untuk tidak berhenti melakukan pengorbanan. Maka kita pun menemukan dalam sejarah sikap mental yang teramat indah pada diri para sahabat nabi: siap berkorban dengan apa saja demi tegaknya kalimatullah.

Jika mencermati tadhhiyyah mereka yang tak kepalang tanggung itu, mudahlah kita memahami mengapa mereka mendapat kemenangan demi kemenangan dalam dakwah dan jihad. Di tangan mereka banyak hati manusia yang menjadi terbuka untuk menerima hidayah Allah swt. Mereka telah mempersembahkan apa pun yang mereka miliki. Lalu Allah pun menganugerahkan apa yang mereka inginkan.


 

simkuring

Foto saya
orang biasa yang mempunyai mimpi luar biasa

barudak