Da'wah ini tidak mengenal sikap ganda ia hanya mengenal satu sikap TOTALITAS. Siapa yang bersedia untuk itu maka ia harus hidup bersama da'wah dan da'wah pun melebur dalam dirinya. Sebaliknya, barang siapa yang lemah dalam memikul beban ini ia terhalang dari pahala besar mujahid dan tinggal bersama orang-orang duduk. Lalu Allah SWT akan menggantikan mereka dengan generasi lain yang lebih baik dan sanggup memikul beban dakwah ini

Senin, 28 Februari 2011

0 komentar

Sudahkah Kita Tarbiyah ?

Tarbiyah mungkin saja telah akrab dengan kehidupan anda. Tetapi apakah sesungguhnya kita telah tarbiyah?

Mungkin pula ia telah menjadi bagian terpenting dalam hidup anda. Atau mungkin ia telah memakan waktu harian anda. Mungkin anda bekerja di lingkungan tarbiyah. Mungkin anda berbisnis di lingkungan tarbiyah. Berolahragapun di lingkungan tarbiyah. Mungkin anda berkeluarga di keluarga tarbiyah.

Mungkin anda mengajar di halaqoh tarbiyah. Mungkin anda memimpin di lembaga-lembaga tarbiyah. Mungkin saja kita menjadi kaya dengan pengaruh tarbiyah. Mungkin saja kita berpengaruh karena kesempatan yang diberikan tarbiyah. Bisa saja kita memimpin dengan rekayasa tarbiyah. Atau kita menjadi tokoh dengan toleransi tarbiyah. Tetapi apakah sesungguhnya kita telah tarbiyah?

‘Sudahkah saya tarbiyah?. Sebuah pertanyaan yang tidak saja penting untuk dijawab, melainkan juga – bahkan – menentukan sebagian masa depan saya. Masa depan tarbiyah saya dan masa depan saya secara umum.

Sekian tahun menikmati tarbiyah sampai saatnya sampai pada satu titik. Satu titik yang mempertanyakan apakah sesungguhnya saya sudah tarbiyah. Saya menggunakan kata ‘sesungguhnya’ karena saya kira saya memang harus menggunakannya. Apakah saya sudah tarbiyah bukan karena saya telah memiliki murabbi. Bukan pula karena saya telah memiliki halaqoh. Bukan juga karena saya telah menjadwal liqo pekanan. Dan bukan karena aspek ‘formal’ lainnya. Namun lebih kepada apakah saya telah berubah? Apakah saya telah memiliki kemampuan mengubah? Sejauh apakah saya telah merasakan sakitnya perubahan? Sejauh apa kerelaan saya untuk berubah? Atau saya tetaplah saya yang dulu? Tak berubah karena tarbiyah dan tak mengubah dengan tarbiyah. Benarkah tarbiyah saya? Dan benarkah saya sudah tarbiyah?

Mempertanyakan apakah saya telah tarbiyah adalah sesuatu yang tak terhindarkan pada saat materi tarbiyah relatif telah kumpul, ketika pengalaman telah cukup mewarnai cara pandang, ketika murabbi telah beberapa kali berganti, dan ketika halaqoh telah bervariasi. Dan yang terpenting adalah ketika saya mencoba menatap masa depan. Benarkah saya telah tarbiyah?

Pernah ada satu ‘materi’ dalam diskusi kecil-kecilan antara seorang pelatih dengan salah satu pemain senior sebuah kesebelasan sepakbola. Diskusi kecil itu mencoba membuat analisis sebab-sebab seorang pemain sepak bola tidak mampu menjalankan instruksi pelatih. Menurut salah seorang pemain yg sudah senior – yang diiyakan oleh pelatih - ada tiga sebab mengapa seorang pemain tidak mampu menerjemahkan instruksi pelatih di lapangan. Sebab pertama, seorang pemain tidak faham dengan apa yang dimaui pelatih. Ketidaktahuan seorang pemain membuatnya banyak membuat kesalahan. Sebab kedua adalah seorang pemain sudah mengalami kelelahan. Sehingga meski ia tahu apa yang harus dikerjakannya, ia tetap tidak mampu menunaikan tugas dan perannya dengan baik. Sebab ketiga adalah seorang pemain malas atau menentang instruksi pelatih dengan berbagai alasan. Misalnya karena perbedaan persepsi, perbedaan pendapat atau perbedaan tujuan. Ketidakmampuan jenis ini dilakukan oleh pemain dengan kesadaran penuh untuk membangkang instruksi pelatih. Disebabkan oleh satu, dua atau ketiga hal di atas seorang pemain potensial melakukan kesalahan di lapangan.

Dalam kompetisi sepakbola, pemain yang bersinar hanyalah mereka yang cerdas, kuat dan bertanggungjawab. Dunia da’wah kita juga merupakan dunia kompetisi. Hanya mereka yang terberdayakan yang akan senantiasa siap memikul beban da’wah. Beban da’wah hanya sanggup dipikul oleh mereka yang mengerti tentang apa dan bagaimananya da’wah. Tim da’wah ini membutuhkan anggota tim yang cerdas, qowwi, matin dan bertanggungjawab. Karakter tersebut hanya didapatkan dengan cara tarbiyah.

Tarbiyah yang kita jalani memiliki kesempatan untuk memperbaiki, mengembangkan, dan mengokohkan kita. Artinya kita memiliki kesempatan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Tetapi, Sudahkah Kita Tarbiyah?
http://www.facebook.com/note.php?note_id=202500053133
1 komentar

TARBIYAH bukan HANYA Liqa

Beberapa tahun yang lalu, ada seorang ikhwah yang tergolong biasa-biasa saja. Ia memang aktif tetapi kapabilitas keilmuannya tidak begitu menonjol. Ia masih sangat canggung dalam menyampaikan ceramah di hadapan khalayak umum, kurang percaya diri jika memberi taujih pada majlis yang dihadiri banyak kader. Ia juga termasuk ikhwah yang pemalu, terlebih jika harus berhadapan dengan target Ziswaf Ramadhan. Maka, ia pun menempati urutan bawah prestasi kader dalam tugas ke-amil-an tersebut.

Lalu bagaimana ia (baca: beliau) kini? Subhaanallah. Kini beliau menjadi salah seorang mas’ul dakwah di tingkat daerah. Ceramahnya tidak sekedar terkesan sangat percaya diri, namun juga memiliki daya magnetis bagi pendengarnya. Banyak kajian yang kini dikelolanya, baik di instansi perusahaan, kampung, dan sering juga di kampus. Taujih-taujihnya di depan ikhwah juga dinanti, oleh sebagian ikhwah beliau juga ditempatkan sebagai pemateri tatsqif terfavorit. Bagaimana dengan target Ziswaf Ramadhan? Jangan ditanya, sebab beliaulah yang pada tahun lalu menjadi ikhwah terbaik pada tugas dakwah itu.
demikianlah seharusnya kader dakwah dalam tarbiyah. Semakin hari semakin lebih baik. Bertambahnya usia tarbiyah seseorang, sudah selayaknya berbanding lurus dengan pertumbuhan dan perkembangan dirinya.

Perkembangan Kualitas Ibadah.

Tentu kita telah hafal dengan hadits “Siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka ia beruntung, siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin maka ia merugi. Dan siapa yang hari ini lebih jelek dari hari kemarin maka ia celaka”

Nah, jika seorang ikhwah sejak pertama masuk tarbiyah beberapa tahun lalu kualitasnya ibadahnya tetap saja ala kadarnya: qiyamullail seminggu sekali; shalat jamaah hanya Maghrib; tilawah masih satu juz sepekan (???) puasa sunnah tidak pernah, lalu bagaimana ia bisa lepas dari kerugian dan kecelakaan yang digambarkan Rasulullah? Bagaimana pula kita bisa memperoleh kemenangan sementara hubungan kita dengan Sang Pemberi kemenangan demikian jauh?

Termasuk poin penting yang perlu diperhatikan banyak ikhwah adalah kualitas tilawah kita! Bagi kita yang telah ditarbiyah bertahun-tahun tapi tilawahnya (afwan) masih “gratul-gratul”, tidak lancar, dan banyak melanggar kaidah tajwid, hendaknya menyadari bahwa kita belum berhasil bertumbuh dan berkembang dalam tarbiyah. Bukankah masyarakat yang kita dakwahi adalah masyarakat yang sangat sensitif terhadap kualitas tilawah? Maka tidak heran jika seorang ikhwah “ditolak” oleh komunitas tertentu dengan komentar yang sangat tidak mengenakkan institusi tarbiyah “Lha wong bacaan Qur’annya amburadul seperti itu kok mau ngajari ngaji kita”

Perkembangan Tsaqofah Islamiyah

Beberapa hari yang lalu ana ngisi kajian di sebuah wajihah. Ketika ana ajukan pertanyaan mengenai perjanjian hudaibiyah ternyata tidak seorang pun mampu menjawabnya. Padahal, wahijah itu merupakan wajihah yang ‘selayaknya’ paling kredibel dalam keilmuan. Ana kemudian bertanya, lalu bagaimana dengan kualitas mereka yang ada di pedesaan?

Sementara itu seringkali kita dihadapkan pada dialog antar harokah (hiwar haroki) yang menuntut kita untuk menjawab segala pertanyaan dengan pendekatan ilmiah. Bahkan kadang kita juga akan menghadapi tipe obyek dakwah yang kritis dan membutuhkan jawaban kita terhadap apa yang menjadi problematika mereka. Umumnya pertanyaan mereka masuk dalam domain fiqh, adakalanya juga pendekatan ideologi. Maka, kader yang telah bertumbuh dalam tarbiyah tidak akan kesulitan ketika ditanya mengapa kita ikut dalam demokrasi: di mana akar kebenaran demokrasi dalam perspektif Islam?
Perkembangan Kapasitas Kepemimpinan dan Politik

Memangnya kita anggota Dewan atau eksekutif? Kadang pertanyaan itu muncul ketika kita menyinggung dua hal penting ini; kepemimpinan dan Politik. Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya”. Dalam kesempatan lain beliau juga memberikan batasan komunitas muslim “Man lam yahtamma biamril muslimiin laisa minhum” (barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka). Menegaskan hal ini Hasan Al-Banna mengatakan “Seorang belum menjadi mukmin yang sempurna sebelum menjadi politisi”

Kita adalah pemimpin dan kita harus menguasai politik; sesuai kapasitas kita masing-masing. Lebih-lebih bagi mereka yang memang diamanahi di struktur dalam dakwah ini. Masyarakat akan melihat bagaimana kemampuan kita memimpin masyarakat. Masyarakat juga kerap bertanya bagaimana sikap politik kita maupun solusi yang kita tawarkan terhadap problematika dan kasus tertentu.
Mayoritas masyarakat telah mengakui bahwa kita baik; bahwa jamaah ini adalah kumpulan banyak kader yang sholih. Masyarakat juga melihat bahwa kita memang punya kepedulian sangat tinggi pada mereka, terutama jika terjadi musibah atau bencana. Namun semua itu belum cukup untuk membuat mereka menjatuhkan pilihannya pada kita. Kebaikan dan bakti sosial yang kita lakukan baru membentuk citra kebaikan dan itu membuat masyarakat mengidentikkan jamaah kita seperti LSM atau yayasan. Masyarakat masih menunggu bukti-bukti kemampuan kepemimpinan ikhwah dan kepiawaian kita dalam berpolitik. Alhamdulillah, itu sudah mulai berjalan khususnya bagi para ikhwah yang ada di eksekutif. Dan, semoga kita termasuk yang mendukung pencitraan “profesional” itu.
Apa Kuncinya?

Sebenarnya jamaah ini telah menyediakan sarana dan fasilitas bagi kita untuk bertumbuh dan berkembang. Tinggal bagaimana kita mengoptimalkannya. Apa itu? Itulah “wasailut tarbiyah” perangkat-perangkat tarbiyah. Bukan hanya halaqah, di sana juga ada daurah/training, tatsqif, mabit, mukhoyam, dll. Terkadang, banyak ikhwah yang kurang responsif terhadap wasailut tarbiyah itu. Salah satunya indikasinya adalah minimnya kehadiran di tastqif, mabit, dan daurah.

so, ternyata tarbiyah bisa membuat hidup kita lebih bermakna, tapi ternyata proses tarbiyah itu bukan hanya sekedar hadir LIQA. Meski kehadiran di LIQA merupakan salah satu indikasi proses tarbiyah yg baik.
http://www.facebook.com/note.php?note_id=212664723133
 

simkuring

Foto saya
orang biasa yang mempunyai mimpi luar biasa

barudak