Lalu bagaimana ia (baca: beliau) kini? Subhaanallah. Kini beliau menjadi salah seorang mas’ul dakwah di tingkat daerah. Ceramahnya tidak sekedar terkesan sangat percaya diri, namun juga memiliki daya magnetis bagi pendengarnya. Banyak kajian yang kini dikelolanya, baik di instansi perusahaan, kampung, dan sering juga di kampus. Taujih-taujihnya di depan ikhwah juga dinanti, oleh sebagian ikhwah beliau juga ditempatkan sebagai pemateri tatsqif terfavorit. Bagaimana dengan target Ziswaf Ramadhan? Jangan ditanya, sebab beliaulah yang pada tahun lalu menjadi ikhwah terbaik pada tugas dakwah itu.
demikianlah seharusnya kader dakwah dalam tarbiyah. Semakin hari semakin lebih baik. Bertambahnya usia tarbiyah seseorang, sudah selayaknya berbanding lurus dengan pertumbuhan dan perkembangan dirinya.
Perkembangan Kualitas Ibadah.
Tentu kita telah hafal dengan hadits “Siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka ia beruntung, siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin maka ia merugi. Dan siapa yang hari ini lebih jelek dari hari kemarin maka ia celaka”
Nah, jika seorang ikhwah sejak pertama masuk tarbiyah beberapa tahun lalu kualitasnya ibadahnya tetap saja ala kadarnya: qiyamullail seminggu sekali; shalat jamaah hanya Maghrib; tilawah masih satu juz sepekan (???) puasa sunnah tidak pernah, lalu bagaimana ia bisa lepas dari kerugian dan kecelakaan yang digambarkan Rasulullah? Bagaimana pula kita bisa memperoleh kemenangan sementara hubungan kita dengan Sang Pemberi kemenangan demikian jauh?
Termasuk poin penting yang perlu diperhatikan banyak ikhwah adalah kualitas tilawah kita! Bagi kita yang telah ditarbiyah bertahun-tahun tapi tilawahnya (afwan) masih “gratul-gratul”, tidak lancar, dan banyak melanggar kaidah tajwid, hendaknya menyadari bahwa kita belum berhasil bertumbuh dan berkembang dalam tarbiyah. Bukankah masyarakat yang kita dakwahi adalah masyarakat yang sangat sensitif terhadap kualitas tilawah? Maka tidak heran jika seorang ikhwah “ditolak” oleh komunitas tertentu dengan komentar yang sangat tidak mengenakkan institusi tarbiyah “Lha wong bacaan Qur’annya amburadul seperti itu kok mau ngajari ngaji kita”
Perkembangan Tsaqofah Islamiyah
Beberapa hari yang lalu ana ngisi kajian di sebuah wajihah. Ketika ana ajukan pertanyaan mengenai perjanjian hudaibiyah ternyata tidak seorang pun mampu menjawabnya. Padahal, wahijah itu merupakan wajihah yang ‘selayaknya’ paling kredibel dalam keilmuan. Ana kemudian bertanya, lalu bagaimana dengan kualitas mereka yang ada di pedesaan?
Sementara itu seringkali kita dihadapkan pada dialog antar harokah (hiwar haroki) yang menuntut kita untuk menjawab segala pertanyaan dengan pendekatan ilmiah. Bahkan kadang kita juga akan menghadapi tipe obyek dakwah yang kritis dan membutuhkan jawaban kita terhadap apa yang menjadi problematika mereka. Umumnya pertanyaan mereka masuk dalam domain fiqh, adakalanya juga pendekatan ideologi. Maka, kader yang telah bertumbuh dalam tarbiyah tidak akan kesulitan ketika ditanya mengapa kita ikut dalam demokrasi: di mana akar kebenaran demokrasi dalam perspektif Islam?
Perkembangan Kapasitas Kepemimpinan dan Politik
Memangnya kita anggota Dewan atau eksekutif? Kadang pertanyaan itu muncul ketika kita menyinggung dua hal penting ini; kepemimpinan dan Politik. Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya”. Dalam kesempatan lain beliau juga memberikan batasan komunitas muslim “Man lam yahtamma biamril muslimiin laisa minhum” (barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka). Menegaskan hal ini Hasan Al-Banna mengatakan “Seorang belum menjadi mukmin yang sempurna sebelum menjadi politisi”
Kita adalah pemimpin dan kita harus menguasai politik; sesuai kapasitas kita masing-masing. Lebih-lebih bagi mereka yang memang diamanahi di struktur dalam dakwah ini. Masyarakat akan melihat bagaimana kemampuan kita memimpin masyarakat. Masyarakat juga kerap bertanya bagaimana sikap politik kita maupun solusi yang kita tawarkan terhadap problematika dan kasus tertentu.
Mayoritas masyarakat telah mengakui bahwa kita baik; bahwa jamaah ini adalah kumpulan banyak kader yang sholih. Masyarakat juga melihat bahwa kita memang punya kepedulian sangat tinggi pada mereka, terutama jika terjadi musibah atau bencana. Namun semua itu belum cukup untuk membuat mereka menjatuhkan pilihannya pada kita. Kebaikan dan bakti sosial yang kita lakukan baru membentuk citra kebaikan dan itu membuat masyarakat mengidentikkan jamaah kita seperti LSM atau yayasan. Masyarakat masih menunggu bukti-bukti kemampuan kepemimpinan ikhwah dan kepiawaian kita dalam berpolitik. Alhamdulillah, itu sudah mulai berjalan khususnya bagi para ikhwah yang ada di eksekutif. Dan, semoga kita termasuk yang mendukung pencitraan “profesional” itu.
Apa Kuncinya?
Sebenarnya jamaah ini telah menyediakan sarana dan fasilitas bagi kita untuk bertumbuh dan berkembang. Tinggal bagaimana kita mengoptimalkannya. Apa itu? Itulah “wasailut tarbiyah” perangkat-perangkat tarbiyah. Bukan hanya halaqah, di sana juga ada daurah/training, tatsqif, mabit, mukhoyam, dll. Terkadang, banyak ikhwah yang kurang responsif terhadap wasailut tarbiyah itu. Salah satunya indikasinya adalah minimnya kehadiran di tastqif, mabit, dan daurah.
so, ternyata tarbiyah bisa membuat hidup kita lebih bermakna, tapi ternyata proses tarbiyah itu bukan hanya sekedar hadir LIQA. Meski kehadiran di LIQA merupakan salah satu indikasi proses tarbiyah yg baik.
http://www.facebook.com/note.php?note_id=212664723133
1 komentar:
Subhanallah, idzin copas kang!
Posting Komentar