Da'wah ini tidak mengenal sikap ganda ia hanya mengenal satu sikap TOTALITAS. Siapa yang bersedia untuk itu maka ia harus hidup bersama da'wah dan da'wah pun melebur dalam dirinya. Sebaliknya, barang siapa yang lemah dalam memikul beban ini ia terhalang dari pahala besar mujahid dan tinggal bersama orang-orang duduk. Lalu Allah SWT akan menggantikan mereka dengan generasi lain yang lebih baik dan sanggup memikul beban dakwah ini

Rabu, 22 Juli 2009

0 komentar

Kematian Hati

Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya.

Banyak orang cepat datang ke shaf shalat layaknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi.

Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.

Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu.

Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.

Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.

Asshiddiq Abu Bakar Ra. selalu gemetar saat dipuji orang. "Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka", ucapnya lirih.

Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata.



Dimana kau letakkan dirimu?
Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut.

Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.
Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma'siat menggodamu dan engkau meni'matinya?

Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia ?

Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu : 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan. Mungkin engkau mulai berfikir "Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh" Betapa jamaknya 'dosa kecil' itu dalam hatimu.

Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat "TV Thaghut" menyiarkan segala "kesombongan jahiliyah dan maksiat"?

Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan " Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat ?"
Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang "Ini tidak islami" berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana?
Sekarang kau telah jadi kader hebat.
Tidak lagi malu-malu tampil.

Justeru engkau akan dihadang tantangan: sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa.

Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu.

Siapa yang mau menghormati ummat yang "kiayi"nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng mengatakan "Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku" dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah?

Siapa yang akan memandang ummat yang da'inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan "Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua" Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai 'alimullisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?

Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da'wahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir ? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka.
Tengoklah langkah mereka di mal. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa "westernnya" . Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan "lihatlah, betapa Amerikanya aku".
Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri.
Mahatma Ghandi memimpin perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri atau terompah lokal yang tak bermerk. Namun setiap ia menoleh ke kanan, maka 300 juta rakyat India menoleh ke kanan. Bila ia tidur di rel kereta api, maka 300 juta rakyat India akan ikut tidur disana.

Kini datang "pemimpin" ummat, ingin mengatrol harga diri dan gengsi ummat dengan pameran mobil, rumah mewah, "toko emas berjalan" dan segudang asesori. Saat fatwa digenderangkan, telinga ummat telah tuli oleh dentam berita tentang hiruk pikuk pesta dunia yang engkau ikut mabuk disana. "Engkau adalah penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah. Bila aku bosan aku bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi seleraku"
0 komentar

Akhlak Salaf Cerminan Akhlak Al Quran dan As Sunnah (bag. 1)

Barangsiapa merenungi Kitabullah dan senantiasa berhubungan dengannya, maka akan mendapatkan kemuliaan akhlak. Dan barangsiapa yang mengkaji sunnah-sunnah Nabi, yaitu perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan hadits-haditsnya, akan mendapatkan dan memahami kemuliaan akhlak dan keagungannya. Untuk itulah Allah kembali menegaskan kemuliaan akhlak itu pada akhir Surat Al-Furqan.

Allah berfirman :
"Artinya : Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang yang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka. Dan orang-orang yang berkata : 'Ya Rabb kami, jauhkan adzab jahannam dari kami, sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan yang kekal'. Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan apabila orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian. Dan orang-orang yang tidak menyembah Ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian ini, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya)". (Al-Furqan : 63-68).
Maksudnya, barangsiapa menyekutukan Allah atau membunuh jiwa dengan tanpa alasan, atau melakukan perzinaan, maka akibat perbuatannya itu dia akan mendapatkan dosa, yaitu siksaan yang besar. Lalu Allah menjelaskannya dengan ayat-ayat berikut ini :
"Artinya : (Yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina". (Al-Furqan : 69).
Mereka berada dalam siksaan, kecuali :
"Artinya : Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih ; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shalih, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya". (Al-Furqan : 70-71).



Ini semua cerminan dari akhlak Ahlul Iman laki-laki dan wanita. Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya :
"Artinya : Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu". (Al-Furqan : 72).
"Laa yasyhadun" (tidak memberikan persaksian) maksudnya yaitu "la yahdhurun" (tidak melakukan). Adapun yang dimaksud dengan "Az-Zuur" (palsu, dusta) yaitu kebathilan dan kemungkaran dari berbagai bentuk kemaksiatan dan kekafiran. Ahlul Iman adalah mereka mereka yang tidak memberikan persaksian palsu, bahkan mereka adalah orang yang mengingkari serta memeranginya.

Firman Allah
"Artinya : Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya". (Al-Furqan : 72).
Lebih dari itu, Ahlul Iman akan menolak perbuatan yang tidak mendatangkan faedah, sebagaimana firman Allah berikut :
"Artinya : Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata : 'Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu..." (Al-Qashash : 55).

"Artinya : Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah mengahadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta". (Al-Furqan : 73).
Bahkan mereka mengahadapinya dengan khusyuk serta menerima sepenuhnya terhadap Allah dan sekaligus mengagungkan-Nya. Inilah sifat mukminin dan mukminat apabila diingatkan dengan ayat-ayat Allah mereka nampak khusyuk dan lembut hatinya serta mengagungkan Rabbnya bahkan menangis lantaran rasa takut kepada-Nya. Mereka melakukan itu karena mengharap pahala dari-Nya dan takut akan siksa-Nya.

Allah berfirman :
"Artinya : Dan orang-orang yang berkata : 'Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa". (Al-Furqan : 74).
Ini semua merupakan sifat-sifat mukminin dan mukminat, mereka adalah Ibadurrahman (Hamba-hamba Allah) yang hakiki lagi sempurna.

Qurratul 'Ain (penyejuk mata) adalah, manakala engkau melihat anak-anakmu, baik laki-laki atau perempuan semuanya melaksanakan amal shalih. Kata-kata "al-walad" secara umum mencakup laki-laki dan wanita. Anak laki-laki sering dipanggil dengan sebutan ibnu, sedang perempuan dipanggil dengan bintu.

Demikian pula kata-kata "dzurriyah" yang mencakup laki-laki dan juga perempuan. Hal ini sebagai mana tersebut dalam hadist :
"Artinya : Apabila anak Adam (manusia) meninggal, terputus amalnya kecuali tiga perkara ; shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan atau anak shalih yang mendo'akannya".
Anak atau al-walad, termasuk di dalamnya adalah anak laki-laki atau perempuan, hal ini sebagaimana penjelasan di depan. Allah mempertegas hal ini dalam firman-Nya :
"Artinya : Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami)...." (Al-Furqan : 74).
Yakni, dzurriyah (generasi) yang menyejukkan pandangan mata. Hal itu disebabkan karena kondisi anak keturunan yang taat kepada Allah dan istiqamah di atas syari'at-Nya. Demikianlah kondisi kehidupan suami istri, seorang suami misalnya, apabila melihat istrinya taat kepada Allah, maka pastilah sejuk matanya (senang hatinya). Demikian pula istri, apabila melihat suaminya taat kepada Allah tentulah senang hatinya. Ini terjadi manakala istri adalah sosok wanita mukminah. Suami yang shalih adalah penyejuk mata bagi istrinya, demikian pula istri shalihah adalah penyejuk mata bagi suaminya yang mukmin. Generasi yang baik (dzuriyatan thayyibah) adalah penyejuk mata bagi ayahnya, ibunya dan seluruh kerabat mukminin dan mukminat. Allah berfirman :
"Artinya : Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa". (Al-Furqan : 74).
Imam bagi orang-orang yang bertaqwa, yakni ; imam dalam kebaikan yang mampu membimbing manusia. Kemudian Allah menegaskan balasan yang bakal diperoleh mereka, yaitu :
"Artinya : Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam jannah)". (Al-Furqan : 75).
Ghurfah adalah jannah. Disebut ghurfah karena ketinggiannya, sebab ia berada di tempat yang sangat tinggi, yaitu di atas langit dan di bawah 'Arsy. Jannah itu berada di tempat yang sangat tinggi, oleh karena itu Allah berfirman :
"Artinya : Mereka itulah orang-orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam jannah)". (Al-Furqan : 75).
Ghurfah (balasan yang tinggi) yakni, al-jannah. Hal ini diperoleh karena kesabaran mereka (bimaa shabaruu). Maksudnya adalah kesabaran dalam mentaati Allah, kesabaran menahan yang diharamkan Allah dan kesabaran atas musibah yang menimpa. Ketika mereka menerima dengan sabar, maka Allah membalasi mereka dengan al-jannah yang tinggi dan agung. Manakala mereka sabar menunaikan kewjibannya terhadap Allah, sabar terhadap yang diharamkan Allah, sabar menerima musibah yang memedihkan, misalnya ; sakit, kemiskinan dan selainnya, maka Allah akan membalasi mereka dengan sebaik-baik balasan.

Allah berfirman :
"Artinya : Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam jannah), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Jannah itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman". (Al-Furqan : 75-76).
Inilah cerminan sifat-sifat Ahlul Iman yang utuh, baik kalangan laki-laki atau wanita. Mereka pula yang Ahlus Sa'adah wan Najah (pemilik kemuliaan dan kesuksesan). Di dalam Al-Qur'an Allah Subhanahu wa Ta'ala banyak menyebutkan sifat-sifat mukminin dan mukminat serta akhlak mereka yang mulia. Di antaranya sebagaimana tersebut dalam surat Al-Baqarah, Allah berfirman :
"Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta ; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat ; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa". (Al-Baqarah : 177)
Inilah keadaan orang-orang yang bertaqwa dari baik laki-laki maupun perempuan. Allah telah menjelaskan sifat-sifat mereka dalam ayat yang mulia ini.
"Artinya : ..... akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah ..".
Makna ayat tersebut ialah : akan tetapi, pemilik kebajikan yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi. Iman kepada Allah dalam pengertian, Allah sebagai Rabb dan Ilah yang Maha Suci lagi Maha Agung. Mereka juga mengimani Allah sebagai tempat pengabdian yang sebenar-benarnya, bahwa sesungguhnya Allah adalah Dzat Pencipta, dan Dzat Pemberi rezeki. Dialah yang Maha Suci dan disifati dengan Asma'ul Husna dan sifat-sifat yang tinggi. Tidak ada yang sebanding dengan-Nya, tidak ada tandingan bagi-Nya. Dialah yang Maha Sempurna dalam dzat, dalam sifat-sifat, dalam nama-nama dan dalam perbuatan-Nya. Dialah dzat yang tidak terdapat pada-Nya kekurangan dari berbagai seginya, bahkan Dialah yang mempunyai kesempurnaan yang mutlak dari berbagai segi.

Allah berfirman :
"Artinya : Katakanlah :'Diallah Allah, Yang Maha Esa'. Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (Al-Ikhlas : 1-4).

0 komentar

Mengelola Ketidaksetujuan Terhadap Hasil Syuro

Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah. Mereka yang tidakbisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak ke permukaan: apakah kita matang secara tarbawi atau tidak?"
--------------
RASANYA PERBINCANGAN kita tentang syuro tidak akan lengkap tanpa membahas masalah yang satu ini. Apa yang harus kita lakukan seandainya tidak menyetujui hasil syuro? Bagaimana "mengelola" ketidaksetujuan itu?

Kenyataan seperti ini akan kita temukan dalam perjalanan dakwah dan pergerakan kita. Dan itu lumrah saja. Karena, merupakan implikasi dari fakta yang lebih besar, yaitu adanya perbedaan pendapat yang menjadi ciri kehidupan majemuk.

Kita semua hadir dan berpartisipasi dalam dakwah ini dengan latar belakang sosial dan keluarga yang berbeda, tingkat pengetahuan yang berbeda, tingkat kematangan tarbawi yang berbeda. Walaupun proses tarbawi berusaha menyamakan cara berpikir kita sebagai dai dengan meletakkan manhaj dakwah yang jelas, namun dinamika personal, organisasi, dan lingkungan strategis dakwah tetap saja akan menyisakan celah bagi semua kemungkinan perbedaan.



Di sinilah kita memperoleh "pengalaman keikhlasan" yang baru. Tunduk dan patuh pada sesuatu yang tidak kita setujui. Dan, taat dalam keadaan terpaksa bukanlah pekerjaan mudah. Itulah cobaan keikhlasan yang paling berat di sepanjang jalan dakwah dan dalam keseluruhan pengalaman spiritual kita sebagai dai. Banyak yang berguguran dari jalan dakwah, salah satunya karena mereka gagal mengelola ketidaksetujuannya terhadap hasil syuro.

Jadi, apa yang harus kita lakukan seandainya suatu saat kita menjalani "pengalaman keikhlasan" seperti itu? Pertama, marilah kita bertanya kembali kepada diri kita, apakah pendapat kita telah terbentuk melalui suatu "upaya ilmiah" seperti kajian perenungan, pengalaman lapangan yang mendalam sehingga kita punya landasan yang kuat untuk mempertahankannya? Kita harus membedakan secara ketat antara pendapat yang lahir dari proses ilmiah yang sistematis dengan pendapat yang sebenarnya merupakan sekedar "lintasan pikiran" yang muncul dalam benak kita selama rapat berlangsung.

Seadainya pendapat kita hanya sekedar lintasan pikiran, sebaiknya hindari untuk berpendapat atau hanya untuk sekedar berbicara dalam syuro. Itu kebiasaan yang buruk dalam syuro. Namun, ngotot atas dasar lintasan pikiran adalah kebiasaan yang jauh lebih buruk. Alangkah menyedihkannya menyaksikan para duat yang ngotot mempertahankan pendapatnya tanpa landasan ilmiah yang kokoh.

Tapi, seandainya pendapat kita terbangun melalui proses ilmiah yang intens dan sistematis, mari kita belajar tawadhu. Karena, kaidah yang diwariskan para ulama kepada kita mengatakan, "Pendapat kita memang benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka memang salah, tapi mungkin benar."

Kedua, marilah kita bertanya secara jujur kepada diri kita sendiri, apakah pendapat yang kita bela itu merupakan "kebenaran objektif" atau sebenarnya ada "obsesi jiwa" tertentu di dalam diri kita, yang kita sadari atau tidak kita sadari, mendorong kita untuk "ngotot"? Misalnya, ketika kita merasakan perbedaan pendapat sebagai suatu persaingan. Sehingga, ketika pendapat kita ditolak, kita merasakannya sebagai kekalahan. Jadi, yang kita bela adalah "obsesi jiwa" kita. Bukan kebenaran objektif, walaupun —karena faktor setan— kita mengatakannya demikian.

Bila yang kita bela memang obsesi jiwa, kita harus segera berhenti memenangkan gengsi dan hawa nafsu. Segera bertaubat kepada Allah swt. Sebab, itu adalah jebakan setan yang boleh jadi akan mengantar kita kepada pembangkangan dan kemaksiatan. Tapi, seandainya yang kita bela adalah kebenaran objektif dan yakin bahwa kita terbebas dari segala bentuk obsesi jiwa semacam itu, kita harus yakin, syuro pun membela hal yang sama. Sebab, berlaku sabda Rasulullah saw., "Umatku tidak akan pernah bersepakat atas suatu kesesatan." Dengan begitu kita menjadi lega dan tidak perlu ngotot mempertahankan pendapat pribadi kita.

Ketiga, seandainya kita tetap percaya bahwa pendapat kita lebih benar dan pendapat umum yang kemudian menjadi keputusan syuro lebih lemah atau bahkan pilihan yang salah, hendaklah kita percaya mempertahankan kesatuan dan keutuhan shaff jamaah dakwah jauh lebih utama dan lebih penting dari pada sekadar memenangkan sebuah pendapat yang boleh jadi memang lebih benar.

Karena, berkah dan pertolongan hanya turun kepada jamaah yang bersatu padu dan utuh. Kesatuan dan keutuhan shaff jamaah bahkan jauh lebih penting dari kemenangan yang kita raih dalam peperangan. Jadi, seandainya kita kalah perang tapi tetap bersatu, itu jauh lebih baik daripada kita menang tapi kemudian bercerai berai. Persaudaraan adalah karunia Allah yang tidak tertandingi setelah iman kepada-Nya.

Seadainya kemudian pilihan syuro itu memang terbukti salah, dengan kesatuan dan keutuhan shaff dakwah, Allah swt. dengan mudah akan mengurangi dampak negatif dari kesalahan itu. Baik dengan mengurangi tingkat resikonya atau menciptakan kesadaran kolektif yang baru yang mungkin tidak akan pernah tercapai tanpa pengalaman salah seperti itu. Bisa juga berupa mengubah jalan peristiwa kehidupan sehingga muncul situasi baru yang memungkinkan pilihan syuro itu ditinggalkan dengan cara yang logis, tepat waktu, dan tanpa resiko. Itulah hikmah Allah swt. sekaligus merupakan satu dari sekian banyak rahasia ilmu-Nya.

Dengan begitu, hati kita menjadi lapang menerima pilihan syuro karena hikmah tertentu yang mungkin hanya akan muncul setelah berlalunya waktu. Dan, alangkah tepatnya sang waktu mengajarkan kita panorama hikmah Ilahi di sepanjang pengalaman dakwah kita.

Keempat, sesungguhnya dalam ketidaksetujuan itu kita belajar tentang begitu banyak makna imaniyah: tentang makna keikhlasan yang tidak terbatas, tentang makna tajarrud dari semua hawa nafsu, tentang makna ukhuwwah dan persatuan, tentang makna tawadhu dan kerendahan hati, tentang cara menempatkan diri yang tepat dalam kehidupan berjamaah, tentang cara kita memandang diri kita dan orang lain secara tepat, tentang makna tradisi ilmiah yang kokoh dan kelapangan dada yang tidak terbatas, tentang makna keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Allah swt yang tidak terbatas, tentang makna tsiqoh (kepercayaan) kepada jamaah.

Jangan pernah merasa lebih besar dari jamaah atau merasa lebih cerdas dari kebanyakan orang. Tapi, kita harus memperkokoh tradisi ilmiah kita. Memperkokoh tradisi pemikiran dan perenungan yang mendalam. Dan pada waktu yang sama, memperkuat daya tampung hati kita terhadap beban perbedaan, memperkokoh kelapangan dada kita, dan kerendahan hati terhadap begitu banyak ilmu dan rahasia serta hikmah Allah swt. yang mungkin belum tampak di depan kita atau tersembunyi di hari-hari yang akan datang.

Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah. Mereka yang tidak bisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak ke permukaan: apakah kita matang secara tarbawi atau tidak ?
---------------
sumber: Menikmati Demokrasi
0 komentar

Komitmen dalam Perjuangan

Sebelum seorang manusia bekerja dan beramal, sebelum seorang muslim melakukan amal-amal yang banyak dalam kehidupannya; pertama-tama yang harus dimiliki adalah al-fahmu. Sebuah pemahaman yang benar tentang ad-dien, tentang agama ini. Sesudah itu, dia harus punya komitmen untuk melaksanakannya. Dia pun merawat amal itu dengan kesabaran dan memilih yang terbaik dari segala kemungkinan yang terbuka di depannya.

Ketika Allah membebaskan seseorang dari semisal kewajiban berperang, mempertahankan dan memperjuangkan Islam, seperti Rasulullah melaksanakannya, 27 kali pertempuran beliau pimpin langsung, 35 kali dipimpin oleh para sahabat, 62 kali perang besar, dengan belasan perang-perang kecil, semua bukan dilandasi nafsu, tapi semata-mata pelaksanaan perintah Allah swt. Bahkan untuk nafsu itu adalah hal yang tidak menyenangkan. Ada beberapa kelompok yang dibebaskan (tidak wajib) bertempur, yaitu perempuan, ibu-ibu, kakek-kakek, jompo-jompo, dan bayi-bayi. Barulah nanti menjadi fardu ‘ain kalau musuh masuk kota, sudah masuk di celah-celah rumah, isteri tidak perlu izin suami untuk bertempur, pembantu, budak tidak perlu izin tuannya untuk bertempur, semua sudah menjadi fardu ‘ain yang tidak bisa dihindari.

Nah, di antara orang-orang yang dihindari, tidak boleh dituduh desertir, melarikan diri dari kewajiban dan tidak mereka disebut berdosa lantaran tidak berperang, adalah orang-orang sakit, orang-orang lemah, dan orang-orang yang tidak punya biaya, tidak punya senjata, tidak punya kendaraan untuk berperang, karena ini bukan membantu tapi malah merepotkan dalam pertempuran. Allah menyebutkan dalam surat at-taubah ayat 91-92.



Tidak ada dosa, tidak ada halangan, tidak boleh mereka dituduh malas, tidak boleh mereka dituduh desertir melarikan diri dari kewajiban membela Islam. Siapa mereka? Pertama, dhuafa’. Para ahli tafsir di antaranya Imam al-Qurthubi, Imam Ibnu Katsir, dan Syekh Jamaluddin al-Qassimi, dan beberapa ahli tafsir sepakat bahwa ad-dhuafa’ itu an-nisaa wal ajaaiz, wa syuyukh, wa sibyan. Perempuan-perempuan, kakek-kakek, nenek-nenek, dan anak-anak. Yang tidak mungkin bekerja berat, apalagi yang namanya berperang, yang logikanya hanya dua: membunuh atau dibunuh.

Karena memang Quraisy sesudah ditinggalkan Muslimin yang hijrah ke Madinah, tidak puas kota Makkah ditinggalkan begitu saja oleh kaum muslimin. Mereka mengejar dan selalu melakukan tindakan-tindakan. Dan begitulah watak karakter abadi kekuatan kafir terhadap kekuatan beriman dengan cara apapun; dengan surat kabar, dengan majalah, dengan partai, dengan kekuatan apa saja. Karenanya, kita disyariatkan untuk shalat khauf kalau lagi perang, shalat dua rakaat Imamnya dia berdiri rakaat pertama, makmumnya tasyahud, untuk apa? Dia pergi yang lagi piket jaga gantian. Semua disebabkan Allah mengatakan yang artinya: “Orang-orang kafir sangat ingin kamu lalai, tidak memelihara, tidak menjaga senjata-senjata kamu dan barang-barang bawaan kamu, bahan makanan.”

Kita tahu dalam perang modern ini dua pos yang selalu diincar musuh: tentara dan perekonomian. Amerika mengembargo senjata untuk negeri semacam Indonesia, tentaranya lemah, pesawatnya kuno, tank-nya gampang mogok. Ekonominya dikelola orang-orang lain yang memusuhi Islam. Dan setiap muncul kekuatan baru yang akan menguasai negeri ini dengan jalan siyasah seperti demokrasi, partai dan sebagainya, mereka tetap akan mencoba menghalangi jalan ke sana.

Nah, ketika golongan-golongan ini dibebaskan, pertama dhuafa’, dan yang kedua al-mardho’ orang-orang sakit. Yang ketiga, orang-orang yang tidak punya biaya, tidak punya alat-alat untuk membela dalam pertempuran. Tidak boleh mereka disebut melarikan diri dari kewajiban dan mereka tidak berdosa. Cuma, ayat ini tidak berhenti di sini. Apakah oleh karena orang sudah bebas, tidak lagi wajib bertempur kayak kakek-kakaek, nenek-nenek, anak-anak, perempuan-perempuan, lalu mereka senang-senang. Seolah mereka mengatakan: kita sudah tidak wajib berperang, enak.

Di sinilah letak perbedaan: mana mental munafikin dan mana mental orang beriman. Kalau munafikin selalu senang, orang-orang yang selalu absen dan maunya di belakang. Betul-betul senang apabila mereka tidak tercatat di buku induk pasukan, tidak dimasukkan ke dalam pasukan yang ikut membela Islam. Begitulah fakta yang terungkap dalam perang Badar, Uhud, Hunain, Khandak, dan bermacam-macam perang yang lain.

Di sinilah terlihat perbedaan munafik dan mukmin. Mereka bisa siapa saja, di mana saja; kalau mereka benar-benar beriman, sedih hatinya kalau tidak bisa ikut membela Islam. Sedih, sungguh-sungguh kesedihannya kalau dia tidak bisa membela agamanya dengan apa yang bisa dia bela. Mungkin di Indonesia ini 99 persen umat Islam Indonesia bisa berkata saya tidak bisa haji karena miskin. 95 persennya mengatakan, “Saya tidak bisa membayar zakat lantaran saya miskin”, “Saya tidak bisa keluarkan infaq dan sedekah, untuk diri saja sudah berat”. Semua bisa diterima secara syar’an wa aqlan, secara akal menurut standar syariat agama kita bisa diterima alasan itu. Dan secara logika juga masuk akal kalau mereka tidak bayar zakat dan tidak pergi haji, karena makan pun sulit umpamanya.

Tapi tidak 1 persen pun, tidak 2 persen pun bisa diterima alasan orang mengatakan “Saya tidak bisa berdoa, saya tidak bisa simpati, saya tidak bisa suka kepada perjuangan Islam”. Ini sudah di ambang batas. Kelewat batas orang yang mengatakan cinta saja tidak bisa, simpati saja pada perjuangan tidak bisa, berdoa saja tidak bisa, menggerakkan hati dan bibir untuk meminta kepada Allah, ”Ya Allah, saya tidak bisa berjuang, saya tidak mempunyai ilmu yang cukup untuk mewakili perjuangan ini, di front-front perjuangan.” Kalau di Palestina perjuangannya langsung dengan jasad dengan nyawa, kalau di tempat lain mungkin dengan pena dia menulis di surat kabar, majalah, buku-buku, ada yang di mimbar-mimbar, ada yang di gedung parlemen, ada yang menyelamatkan uang negara kalau dia menjadi menteri yang baik. Sekali lagi tidak bisa mereka mengatakan, “Saya tidak bisa berbuat apa-apa!”

Maka Allah mengatakan atas 3 hal ini dalam firman yang tadi saya sampaikan, orang lemah, orang sakit, dan tidak memiliki biaya, mereka tidak berdosa bila tidak ikut dalam pertempuran, tapi syarat: “idzaa nashohu lillahi wa rasulih.” Apabila mereka mempunyai nashohu (ketulusan hati, punya azam yang kuat, punya cinta dan kesetiaan, punya tekad). Seandainya dia bisa, dia harus melakukan perjuangan itu. Barulah orang-orang lemah, orang sakit, perempuan, yang tidak wajib perang itu lepas dari kewajiban. Karena tidak semua amal digerakkan oleh badan saja, karena ada amal lisan namanya dzikir, ucapan, amar ma’ruf nahi munkar, ada amal jasad seperti haji, umroh, sa’i , thawaf, ada amal hati seperti niat yang baik, menjaga diri dari riya’, mengikhlaskan, memaafkan saudara kita, memasang niat yang kuat untuk memperjuangkan agama Allah, maka Allah mensyaratkan itu “idzaa nashohu lillahi wa rasulih”, himpunan yang berjalin antara tekad, ketulusan hati, kecintaan, kemauan berbuat seandainya punya modal untuk itu.

Kalau ada orang yang mengatakan “biarain aja, ini urusan dunia, nggak ada urusannya dengan urusan akhirat.” Tetapi, ketika orang-orang yang sudah bercokol di parlemen kebanyakan orang kafirnya, dibantailah rakyat; siapa yang bertanggung jawab? Rakyat itu bertanggung jawab atas masa depan dan kondisi mereka.

Nah, memang tidak ada jalan untuk menghukum orang-orang yang berbuat baik di antara muhsinin itu orang yang punya nashohu, orang yang memiliki ketulusan hati, kekuatan azam, kesucian niat, kecintaan, tekad yang kuat untuk berbuat. Apa tandanya? “Walaa alallladzina…….” [QS. At-Taubah (9): 92] tidak juga berdosa, tidak boleh disebut malas atau melarikan diri dari kewajiban. Siapa? Orang-orang yang sudah datang kepadamu, nggak punya modal, nggak punya apa-apa, tapi punya kekuatan tenaga, punya niat yang baik. Mereka berharap Rasulullah bisa memberikan kuda atau unta, membekalinya dengan tombak, pedang dan panah supaya bisa ikut berjihad.

Namun, ketika mereka datang, engkau hanya bisa mengatakan kalau sudah habis semua kuda, semua unta sudah habis, tombak panah sudah terbagikan, engkau hanya bisa menjawab “Saya tidak menemukan apa-apa lagi, saya tidak punya apa-apa lagi, kuda, unta, tombak, panah, sudah habis. Saya tidak bisa bawa kamu ikut berperang.” Terpaksa mereka pergi dengan air mata yang berlinang. Menangis karena tidak bisa bergabung dalam sebuah perang yang mungkin akan menjadikan mereka cacat, buntung tangannya, atau mati syahid di sana. Itulah tanda kesungguhan orang-orang beriman. Mereka pun berlalu dengan duka yang teramat dalam. Semua itu lantaran mereka tidak punya biaya sedikit pun untuk membeli perlengkapan perang.

Kalau sekarang, orang berlomba-lomba cari modal jutaan hingga milyaran untuk jadi polisi, jadi camat, jadi tentara, jadi menteri. Dulu, di masa sahabat, orang mencari duit sendiri untuk setor nyawa (syahid). Itulah bedanya zaman di mana hedonisme, orang berkiblat kepada kesenangan dunia sehingga lupa kepada niat akhirat. Oleh karena itu, Rasulullah saw. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Tarmidzi “dunia itu isinya cuma empat kelompok saja.”

Jumlah manusia milyaran, tapi kualitas manusia cuma empat. Yang pertama “rajulun attaahullahu ‘ilman wa maalan.” Seseorang yang Allah berikan ilmu dan harta. Fahuwa ya’malu bihi waya’lamu annalillahi fiihii haqqan wa yasilu bihi rahimah. Dia laksanakan kewajiban berharta kalau dia kaya, dia tahu Allah memiliki hak dalam harta itu, ada zakat, ada infaq, shadaqah. Dan dengan harta yang Allah berikan itu dia menyambung silaturahim.

Dulu semasa orang belum punya motor, cita-cita kalau sudah ke Jakarta mau silaturahim kepada kerabat, minimal sebulan sekali. Ternyata setelah punya motor, setahun sekali pun tidak. Alasannya, “Nanti setelah punya mobil.” Sudah punya mobil silaturahim tidak jalan juga, telepon pun tidak diangkat. Orang lebih suka kumpul dengan kolega dagang, dengan teman-teman bisnis. Kalau memberi orang tua seratus ribu, terasa berat, tapi untuk traktir teman ratusan ribu tidak berat. Inilah di masa orang memuja kesenangan.

Golongan yang kedua, orang yang diberi ilmu tidak dapat harta. Miskin, tapi punya ilmu. Apa dia bilang dalam hatinya, “Kalau saja Allah memberi saya harta dan kekayaan seperti yang diberikan kepada si fulan yang saleh dan baik itu di mana dengan ilmunya dia beramal, sungguh saya juga akan beramal, saya iri, saya ingin seperti dia.” Yang satu beramal karena kaya dan berilmu, yang satu berilmu saja tidak punya harta. Dua-duanya ini sama dalam satu derajat kebaikan.

Di masa lalu ada orang saleh bernama ‘Ali Al-Fatah. Ketika orang menggiring kambing-kambing qurban. Ali Al-Fatah memang miskin, tapi berilmu, akhlaqnya bagus. Dia bilang, “Ya Allah sekarang saya mau mendekatkan diriku dengan-Mu. Tapi dengan apa? Kambing tak punya. Aku hanya bisa mendekat denganMu melalui duka-dukaku dan kesedihanku.” Para komentator kisah ini mengatakan apa artinya mendekatkan diri dengan Allah dengan kesedihan? Artinya adalah ikut bersedih dengan kesedihan umat, ikut prihatin dengan keprihatinan umat, ikut senang kalau umat senang, ikut berduka kalau umat berduka. Itulah kita maksud dengan selalu memikirkan keadaan dan nasib umat.

Yang ketiga ialah seseorang yang Allah berikan harta, tapi tidak memiliki ilmu. Siang malam kerjaannya maksiat. Tidak mau menunaikan hak-hak Allah. Dan dia tidak menyambung silaturahmi. Salah satu bentuk memutuskan silaturahmi adalah zina. Kelompok yang ketiga ini Rasulullah berkata adalah kelompok yang paling buruk kedudukannya. Punya harta tapi tidak memiliki ilmu, dia gunakan harta itu sebagai sarana untuk maksiat. Melakukan maksiat apa saja yang bisa memuaskan nafsu rendahnya.

Kelompok berikutnya, orang yang tidak diberikan ilmu juga tidak memiliki harta. Sudah miskin, bodoh. Dia bilang kalau Allah memberikan saya kekayaan seperti orang ini (orang yang kaya tapi bodoh), saya akan berbuat kayak dia. Saya akan maksiat. Saya akan berzina. Saya akan mabuk. Walaupun dia tidak melakukan kedudukannya sama dengan orang yang melakukan maksiat, menikmati maksiat karena dia kaya, sementara yang keempat ini miskin tapi bodoh.

Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, kitab paling shahih setelah Al-Qur’an, memberikan judul bab dalam hadits beliau yang shahih, bab al-ilmu qablal qauli wal amal, bab ilmu dulu sebelum banyak bekerja dan beramal. Dalilnya fa’lam annahu laailaaha illallah (QS. 47: 19) “Ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan selalin Allah,” kemudian “wastaghfiruhu” barulah amal, barulah kata, beristighfarlah atas dosa dan kesalahan-kesalahanmu.

Awal modal kita adalah ilmu. Karena tidak berilmu, walau belum berbuat dosa; orang yang bercita-cita maksiat tadi sudah memiliki derajat yang sama dengan para pemaksiat itu. Orang yang kelompok kedua walaupun belum beramal karena dia miskin, namun dia berilmu, dia bisa menset niatnya sehingga mendapat kedudukan yang sangat terhormat dan mulia.

Yang kedua ada kemauan. Seperti beberapa sahabat Nabi yang tidak ikut berperang, tapi pergi dengan air mata berlinangan, betul-betul sungguh kesedihannya. Itu namanya punya komitmen, punya ketulusan hati, punya kecintaan. Karena itu, selalulah pasang niat untuk berbuat baik.

Orang mengatakan kalau soal pergi haji bukan soal punya duit. Mungkin ini benar. Betapa banyak orang yang uangnya milyaran, tapi tidak pergi-pergi haji juga. Bahkan penduduk Saudi sendiri, tidak semuanya sudah berhaji. Tidak semuanya karena uang, tapi yang terpenting adalah niat dan juga azzam. Seperti itulah yang kerap dilakukan nenek-nenek dan kakek-kakek kita supaya bisa berangkat haji. Setiap hari mereka menabung. Berapa pun, yang penting menabung supaya bisa berangkat haji. Subhanallah! Kenapa hal itu jarang dilakukan generasi sekarang? Ini semua karena orang pada zaman ini, yang makan pendidikan modern, tapi kalah dalam soal niat, kalah dalam soal komitmen. Mengapa? Karena kesenangan hari ini adalah kiblat orang modern, hedonisme.

 

simkuring

Foto saya
orang biasa yang mempunyai mimpi luar biasa

barudak