Da'wah ini tidak mengenal sikap ganda ia hanya mengenal satu sikap TOTALITAS. Siapa yang bersedia untuk itu maka ia harus hidup bersama da'wah dan da'wah pun melebur dalam dirinya. Sebaliknya, barang siapa yang lemah dalam memikul beban ini ia terhalang dari pahala besar mujahid dan tinggal bersama orang-orang duduk. Lalu Allah SWT akan menggantikan mereka dengan generasi lain yang lebih baik dan sanggup memikul beban dakwah ini

Jumat, 06 Mei 2011

0 komentar

Abu Hanifah An-Nu’man


Wajahnya tampan dan ceria, fasih bicaranya dan santun tutur katanya. Tidak terlalu tinggi badannya, tidak pula terlalu pendek sehingga enak dipandang mata. Di samping itu, beliau suka berpenampilan rapi, wajahnya ceria dan gemar memakai wewangian. Ketika muncul di tengah-tengah manusia, mereka bisa menebak kedatangannya dari bau wanginya sebelum melihat orangnya.

Itu lah dia Nu’man bin Tsabit Al-Marzuban yang dikenal dengan Abu Hanifah, orang pertama yang meletakkan dasar-dasar fikih dan mengajarkan hikmah-hikmah yang baik.


Abu Hanifah masih merasakan hidup sesaat sebelum berakhirnya khilafah bani Umayah dan awal kekuasaan bani Abasiyah. Beliau hidup pada suatu masa di mana para khalifah dan para gubernur memanjakan para ilmuwan dan ulama hingga rejeki datang kepada mereka dari segala arah tanpa mereka sadari.

Meski demikian, Abu Hanifah senantiasa menjaga martabat jiwa dan ilmunya dari semua itu. Sesampainya di istana beliau disambut ramah dengan penuh hormat, dipersilakan duduk di samping khalifah Al-Manshur kemudian khalifah bertanya tentang banyak persoalan yang menyangkut agama maupun dunia.

Ketika beliau bermaksud untuk pulang, Amirul Mukminin mengulurkan sebuah wadah yang di dalamnya terdapat tiga puluh ribu dirham, padahal Al-Manshur dikenal kikir dibanding yang lain. Lalu Abu Hanifah berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saya adalah orang asing di Baghdad ini dan tidak memiliki tempat untuk menyimpannya. Maka aku titipkan di baitul maal, kelak jika aku memerlukannya, saya akan meminta kepada Anda.” Maka Al-Manshur mengabulkan permohonannya. Hanya saja, masa hidup Abu Hanifah tak begitu lama setelah peristiwa itu. Ketika beliau wafat, ternyata didapatkan di rumahnya harta titipan orang-orang yang jauh lebih besar daripada pemberian Amirul Mukminin.

Tatkala Al-Manshur mendengar berita tersebut, dia berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah. Dia telah mengelabuhi kita, dia tidak ingin mengambil sesuatu pun dari kita, dia menolak pemberianku dengan cara halus.”

Ini tidaklah aneh, karena Abu Hanifah memiliki prinsip bahwa tidak ada yang lebih bersih dan lebih mulia daripada orang yang makan dari hasil tangannya sendiri. Oleh sebab itu, beliau menyediakan waktu khusus untuk berdagang. Beliau berdagang kain dan pakaian, kadang-kadang pulang pergi antar kota-kota di Irak. Di samping itu beliau juga memiliki toko pakaian yang terkenal dan banyak dikunjungi orang. Mereka mendapatkan kejujuran dalam bermuamalah dan amanah dalam memberi dan mengambil. Tidak diragukan lagi bahwa mereka merasakan kesenangan tersendiri dari cara muamalah Abu Hanifah, perniagaan beliau maju berkat karunia Allah hingga banyak keuntungan yang beliau dapat.

Beliau mendapatkan harta dengan cara yang halal lalu membelanjakan di tempat yang semestinya. Telah menjadi kebiasaan beliau, setiap sampai haul (satu tahun), beliau menghitung laba yang beliau dapat. Lalu menyisihkan sekedarnya untuk mencukupi kebutuhannya, sisanya dibelikan barang untuk diberikan kepada para penghafal Al-Qur’an, ahli hadits, ahli fikih dan murid-muridnya baik berupa makanan ataupun pakaian. Beliau memberikan hal itu sembari berkata, “Ini adalah laba dari hasil perniagaanku dengan kalian, Allah melancarkannya di tanganku. Demi Allah, aku tidak memberi kalian dengan hartaku sendiri, melainkan karunia Allah untuk kalian yang diberikan-Nya melalui aku. Pada tiap-tiap rezeki tidak ada suatu kekuatan dari seseorang kecuali dari Allah.”

Berita tentang kedermawanan dan kebijaksanaan Abu Hanifah masyhur di belahan bumi timur maupun barat. Terutama di kalangan para sahabat dan orang-orang yang biasa bertemu dengan beliau.

Sebagai contohnya, pernah seorang pelanggannya datang ke toko beliau seraya berkata, “Saya membutuhkan baju “khaz”, wahai Abu Hanifah.” Beliau menjawab, “Apa warna yang Anda kehendaki?” dia menjawab, “Yang berwarna ini dan ini.” Beliau berkata, “Bersabarlah sampai saya menemukannya dan akan aku berikan kepada Anda.”

Pada kasus yang lain, ada seorang wanita tua yang mencari baju “khaz”, kemudian beliau menunjukkanbarang yang dimaksud. Lalu wanita itu berkata, “Saya adalah seorang wanita yang lemah, tidak pula tahu menahu soal harga, sedangkan ini hanyalah titipan. Maka juallah baju itu dengan harga yang sama ketika Anda membelinya, lalu ambillah sedikit untung darinya, karena saya adalah wanita lemah.”

Abu Hanifah berkata, “Saya membeli baju ini dua potong dalam satu harga. Saya sudah menjual yang sepotong hingga kurang empat dirham saja dari modal saya. Belialah baju ini seharga empat dirham karena saya tidak ingin mendapatkan laba dari Anda.”

Suatu hari beliau mendapatkan pakaian usang dan lusuh yang dikenakan seorang yang menghadiri majlisnya. Ketika orang-orang telah bubar dan tak ada seorang pun selain beliau dan laki-laki itu, beliau berkata, “Angkatlah alas shalat itu lalu ambillah sesuatu di bawahnya.” Orang itu mengangkat alas yang dimaksud, ternyata ada uang seribu dirham. Abu Hanifah berakta, “Ambillah dan perbaikilah penampilan Anda.” Orang itu menjawab, “Saya adalah orang yang mampu. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melimpahkan nikmat-Nya untuk saya. Saya tidak membutuhkannya.” Abu Hanifah berkata, “Jika Allah telah memberikan nikmatnya kepada Anda, lantas manakan bekas nikmat yang engkau tampakkan? Belum sampaikah sabda Nabi saw, “Allah suka melihat bekas-bekas nikmat-Nya atas para hambanya,” sudah sepantasnya Anda memperbagus penampilan Anda agar tidak menyusahkan teman Anda.”

Kedermawanan Abu Hanifah dan perlakuan baiknya kepada orang lain mencapai klimaksnya, hingga setiap kalia beliau memberikan belanja kepada keluarganya, beliau juga menginfakkan jumlah yang sama kepada orang-orang yang membutuhkan. Setiap kali beliau memakai baju baru, beliau juga membelikan baju-baju untuk orang miskin sebesar harga bajunya. Jika diletakkan makanan di hadapannya, beliau sisihkan separuhnya untuk diberikan kepada orang-orang fakir.

Diriwayatkan pula bahwa beliau bertekad setiap kali bersumpah kepada Allah di tengah pembicaraannya, beliau akan bersedekah dengan satu dirham perak. Berikutnya ditingkatkan lagi, beliau berjanji untuk bersedekah satu dinar emas setiap kali bersumpah di tengah pembicaraanya. Namun jika sumpahnya menjadi kenyataan, dia sedekah lagi sebanyak satu dinar.

Salah satu rekan bisnis Abu Hanifah adalah Hafs bin Abdurrahman. Abu Hanifah biasa menitipkan kain-kain kepadanya untuk dijual ke sebagian kota-kota di Irak. Suatu kali Abu Hanfiah memberikan dagangan yang banyak kepada Hafsh sambil memberitahukan bahwa pada barang ini dan itu ada cacatnya. Beliau berkata, “Jika Anda bermaksud menjualnya, maka beritahukanlah cacat barang kepada orang yang hendak membelinya.”

Akhirnya Hafsh berhasil menjual seluruh barang, namun dia lupa memberitahukan cacat barang-barang tertentu tersebut. Dia berusah mengingat-ingat orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, namun hasilnya nihil. Tatkala Abu Hanifah mengetahui duduk perkaranya, juga tidak mungkin diketahui siapa yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, beliau merasa tidak tenang hingga kahirnya beliau sedekahkan seluruh hasil penjualan yang dibawa Hafsh.

Di samping itu, Abu Hanifah juga pandai bergaul. Majelisnya dipenuhi orang dan dia bersusah hati bila ada yang tidak hadir meski dia orang yang memusuhinya. Salah seorang sahabatnya mengisahkan, “Aku mendengar Abdullah bin Mubarak berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah alangkah jauhnya Abu Hanifah dari ghibah. Akut ak pernah medengarnya menyebutkan satu keburukan pun tentang musuhnya.” Sufyan Ats-Tsauri menjawab, “Abu Hanifah cukup berakal sehingga tidak akan membiarkan kebaikannya lenyap karena ghibahnya.”

Di antara kegemaran Abu Hanifah adalah mencukupi kebutuhan orang yang menarik simpatinya. Sering ada orang lewat kemudian ikut duduk di majelisnya tanpa sengaja. Ketikadia hendak beranjak pergi, beliau segera menghampirinya dan bertanya tentang kebutuhannya. Bila dia punya kebutuhan, maka Abu Hanifah akan memberinya, kalau sakit maka akan beliau antarkan dan jika memiliki hutang maka beliau akan membayarkan sehingga terjalinlah hubungan yang baik antara keduanya.

Dengan segala keutamaan yang disandang Abu Hanifah tersebut, beliau juga termasuk orang yang rajin shaum di siang hari dan shalat tahajud di malam harinya. Akrab dengan Al-Qur’an dan istighfar di waktu ashar. Ketekunannya dalam beribadah di latar belakangi oleh peristiwa di mana beliau mendatangi suatu kaum lalu mendengar mereka berkomentar tentang Abu Hanifah. “Orang yang kalian lihat itu tidak pernah tidur malam.” Demi mendengar kata-kata itu, Abu Hanifah berkata, “Dugaan orang terhadapku ternyata berbeda dengan apa yang aku kerjakan di sisi Allah. Demi Allah jangan pernah orang-orang mengatakan sesuatu yang tidak aku lakukan. Aku tak akan tidur di atas bantal sejak hari ini hingga bertemu dengan Allah.”

Mulai hari itu Abu Hanifah membiasakan seluruh malamnya untuk shalat. Setiap kali malam datang dan kegelapan menyelimuti alam, ketika semua lambung merebahkan diri. Beliau bangkit mengenakan pakaian yang indah, merapikan jenggot dan memakai wewangian. Kemudian beridiri di mihrabnya, mengisi malamnya untuk ketaatan kepada Allah, atau membaca beberapa juz dari Al-Qur’an. Setelah itu mengangkat kedua tangan dengan sepenuh harap disertai kerendahan hati. Terkadang beliau mengkhatamkan Al-Qur’an penuh dalam satu rekaat, terkadang pula beliau menghabiskan shalat semalam dengan satu ayat saja.

Sebuah riwayat menyebutkan bahwa tatkala shalat malam secara berulang-ulang Abu Hanifah membaca membaca firman Allah Ta’ala:

“Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pasti,” (Al-Qamar: 46).

Beliau menangis karena takut kepada Allah dengan tangisan yang menyayat hati.

Telah diketahui banyak orang selama lebih dari empat puluh tahun beliau melakukan shalat fajar dengan wudhu shalat isya’. Hingga akhir wafat beliau pernah mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 7000 kali.

Setiap kali beliau membaca surat Al-Zalzalah, gemetar jasadnya, bergetar hatinya. Dengan memegang jenggotnya, beliau berkata, “Wahai yang membalas sebesar dzarrah kebaikan dengan kebaikan dan sebesar dzarrah keburukan dengan keburukan, selamatkanlah hamba-Mu Nu’man dari api neraka dan jauhkan ia dari apa-apa yang bisa mendekatkan dengan neraka, masukkanlah ia ke dalam luasnya rahmat-Mu, ya Arhamarrahimin.

Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 398-406.

Senin, 02 Mei 2011

0 komentar

Pandu Qurani (tamat)

Kekuatan

Banyaknya tugas yang diemban pandu qur’ani lebih banyak dari waktu yang dimiliki, serta beratnya beban, rintangan dan tantangan tidak hanya memerlukan kecerdasan namun juga kekuatan dan ketahanan fisik yang tinggi.Mungkin disinilah letak rahasia mengapa Allah lebih mencintai mukmin yang kuat daripada yang lemah.Allah menilai seseorang berdasarkan amal perbuatannya.Seorang mukmin yang kuat akan sanggup melakukan amal yang lebih banyak dibanding mukmin yang lemah. Rasulullah bersabda:
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, meskipun pada keduanya terdapat kebaikan”.

Tidak heran jika pemimpin yang dipilihkan Allah untuk memimpin Bani Israil melawan kezaliman adalah orang yang memiliki keluasan ilmu sekaligus kekuatan fisik yang lebih baik daripada yang lainnya.Allah berfirman:
“Dan Nabi mereka berkata; sesungguhnya Allah telah mengutus Thalut menjadi raja kalian.Mereka berkata bagaimana mungkin ia menjadi raja kami sementara kami lebih berhak menjadi raja dibanding ia, dan ia tidak tidak memiliki harta yang banyak.Ia (Nabi mereka) berkata; sesunguhnya Allah telah memilihnya (Thalut) diantara kalian dan memberinya kelebihan dalam ilmu dan fisik”.QS:2:247.

Keterampilan

Tidak diragukan lagi bahwa keterampilan sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap tugas dan persoalan yang dihadapi.Keterampilan sangat menentukan efisiensi dan efektifitas kerja, dua hal yang mendasari amal yang berkualitas. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam memerintahkan untuk membina keterampilan sejak dini.Beliau bersabda:
”Ajarilah anak-anak kalian memanah dan berenang”.
Demikian juga Umar bin Khaththab berkata:
”ajarilah anak-anak kalian menaiki kuda dengan sekali lompatan”.
Kecerdasan dan kekuatan seseorang yang dipadukan dalam latihan yang memadai menghasilkan keterampilan yang baik.

Keberanian
Kecerdasan, kekuatan, dan keterampilan akan menjadi sia-sia dihadapan tugas dan persoalan tanpa keberanian bertindak dan menanggung resiko.Keberanian adalah salah satu indikasi frekwensi iman seseorang.Rasulullah bersabda:”Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemunkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya.Jika tidak sanggup maka dengan lisannya.Jika tidak sanggup lagi maka dengan hatinya, dan itulah iman yang paling lemah”.Hanya diatas iman dapat terukir amal saleh yang menghindarkan dari berbagai kerugian.

Pandu Keadilan hanyalah bahagian dari Pandu Qur’ani.Siapakah yang termasuk Pandu Keadilan?Yaitu semua kader Partai Keadilan Sejahtera.Agar memenuhi karakter pandu Qurani semua anggota pria Pandu Keadilan berkewajiban mengikuti mukhayyam kepanduan yang diselenggarakan Departemen Kepanduan dan turunannya di daerah minimal sekali setahun.

Kita berharap melalui mukhayyam terbangun dan terasah kecerdasan, kekuatan, keterampilan, dan keberanian serta buah dari keempatnya berupa keikhlasan, kepahaman, amal, jihad, tha’ah, tadlhiyah, tsiqah, tsabat, tajarrud, dan ukhuwwah yang membawa kepada kejayaan Islam, ampunan dan rahmat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kita berlindung kepada Allah dari segala hal yang meruntuhkan karakter Pandu Qur’ani:”Ya Allah kami berlindung kepadamu dari berbuat syirik kepadamu secara sadar, dan kami memohohon ampunanmu terhadap (perbuatan syirik) yang tidak kami sadari.Ya Allah kami berlindung kepadamu dari kegundahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kepengecutan dan kekikiran, dan dari lilitan utang dan penindasan orang-orang yang kuat”.

Selain mukhayyam wajib ada LPK (Latsar Pandu Keadilan) untuk berkiprah dalam regu-regu Pandu yang berada di bawah payung besar BRIGADE 2009, baik regu Pandu Reguler, RSP (Regu Siaga Pemilu), KORSAD (Korps Satuan Tugas Keadilan), maupun SANTIKA (Barisan Putri Keadilan).Allahu Akbar! Allahu Akbar! Walillahilhamdu!!!

(tamat)
0 komentar

ABU DZAR AL-GHIFARI

Ia datang ke Mekah terhuyung-huyung letih tetapi matanya bersinar bahagia�..Memang, sulitnya perjalanan dan panasnya telah menyengat badannya dengan rasa sakit udara padang pasir dan lelah, tetapi tujuan yang hendak dicapainya telah meringankan penderitaan dan meniupkan semangat serta rasa gembira dalam jiwanya.

Ia memasuki kota dengan menyamar seolah-olah ia seorang yang hendak melakukan thawaf keliling berhala-berhala besar di Ka'bah atau seolah-olah musafir yang sesat dalam perjalanan atau lebih tepat orang yang telah menempuh jarak amat jauh, yang merlukan istirahat dan manambah perbekalan.

Padahal seandainya orang-orang Mekah mengetahui babwa kedatangannya itu untuk menemui Muhammad dan mendengar keterangannya, pastilah mereka akan membunuhnya!

Tetapi ia tak perduli akan dibunuh asal saja setelah melintasi padang pasir luas, ia dapat menjumpai laki-laki yang dicarinya dan menyatakan iman kepadanya. Kebenaran dan da'wah yang diberikan Muhammad dapat memuaskan hatinya.

Ia terus melangkah sambil memasang telinga, dan setiap didengarnya orang memperkatakan Muhammad , ia pun mendekat dan menyimak dengan hati-hati; hingga dari cerita yang tersebar di sana-sini, diperolehnya petunjuk yang dapat menunjukkan tempat persembunyian Muhammad , dan mempertemukannya dengan beliau.

Di pagi suatu hari ia pergi ke tempat itu, didapatinya Muhammad sedang duduk seorang diri. Didekatinya Rasulullah, katanya: "Selamat pagi wahai kawan sebangsa!" "Alaikum salam, wahai shahabat", ujar Rasulullah.

Kata Abu Dzar: "Bacakanlah kepadaku hasil gubahan anda!"
"Ia bukan sya'ir hingga dapat digubah, tetapi adalah Al Quran yang mulia!", Ujar Rasulullah.
dibacakanlah oleh Rasulullah, sedang Abu Dzar mendengarkan dengan penuh perhatian, hingga tidak berselang lama iapun berseru:

"Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh".

Anda dari mana, saudara sebangsa?", tanya rasulullah.
"Dari Ghitar'', ujarnya.
Maka terbukalah senyum lebar di kedua bibir Rasulullah, sementara wajahnja diliputi rasa kagum dan ta'jub. Abu dzar tersenyum pula, karena ia mengetahui rasa terpendam di balik rasa kagum Rasulullah demi mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam di hadapannya secara terus terang itu, seorang laki-laki dari Ghifar.

Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tak ada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi tamsil perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang kelam dan gelap gulita tak jadi soal bagi mereka, dan celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam!

Sekarang, dikala agama Islam yang baru saja lahir dan berjalan sembunyi-sembunyi, mungkinkah ada diantara orang-orang Ghifar itu seorang yang sengaja datang untuk masuk Islam? Berkatalah Abu Dzar dalam menceritakan sendiri kisah itu: "Maka pandangan Rasulullah pun turun naik, tak putus ta'jub memikirkan tabi'at orang-orang Ghifar, lalu sabdanya :

" Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada yang disukaiNya�!

Benar, Allah menunjuki,siapa yang Ia kehendaki ! Abu dzar salah seorang yang, dikehendaki Allah beroleh petunjuk , orang yang dipilihNya akan mendapat kebaikan

Dan memang, Abu Dzar ini seorang yang tajam pengamatannya tentang kebenaran. Menurut riwayat, ia termasuk salah seorang yang menentang pemujaan berhala di zaman jahiliyah, mempunyai kepercayaan akan Ketuhanan serta iman kepada Tuhan Yang Maha Esa lagi Perkasa, maka iapun menyiapkan bekal dan segera mengayunkan langkahnya.

Abu Dzar telah masuk Islam tanpa ditunda-tunda lagi�.! urutannya dikalangan Muslimin adalah yang kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk agam itu pada hari-hari pertama, bahkan pada saat-saat pertama agama Islam, hingga keIslamannya termasuk dalam barisan terdepan.

Ketika ia masuk Islam, Rasulullah masih menyampaikan da'wahnya secara berbisik-bisik. Dibisikkannya kepada Abu Dzar begitupun kepada lima orang lainya yang telah iman kepadanya. Dan bagi Abu Dzar, tak ada yang dapat dilakukannya sekarang selain memendam keimanan itu dalam dada, lalu meninggalkan kota Mekah secara diam-diam dan kembali kepada kaumnya.

Tetapi Abu Dzar yang nama aslinya Jundub bin Junadah, seorang kuat dan revolusioner. Telah menjadi watak dan tabi'atnya menentang kebathilan dimanapun ia berada. Dan sekarang kebathilan itu berada dihadapannya serta disaksikannya dengan kedua matanya sendiri�.Batu-batu yang ditembok, yang dibentuk oleh para pemujanya, disembah oleh orang-orang yang menundukkan kepala dan merendahkan akal mereka, dan diseru mereka dengan ucapan yang muluk : Inilah kami , kami datang demi mengikuti titahmu!

memang, ia melihat Rasulullah memilih cara bisik-bisik pada hari-hari tersebut, tetapi tidak dapat tidak harus ada suatu teriakan keras yang akan dikumandangkan pemberontak ulung ini sebelum ia pergi. Baru saja masuk Islam, ia telah menghadapkan pertanyaan kepada Rasulullah:

"Wahai Rasulullah, apa yang saya kerjakan menurut anda?"
"Kembalillah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!", ujar Rasulullah.
"Demi Tuhan yang menguasai nyawaku", kata Abu Dzar pula, "saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam dalam masjid!"

Bukankah telah saya katakan kepada kalian�..?

Jiwa yang kuat dan revolusioner! Apakah Abu Dzar pada saat terbukanya alam baru secara gamblang, yang jelas terlukis pada Rasulullah yang diimaninya, sertada'wah yang uraiannya disampaikan dengan lisannya�, apakah pada saat seperti itu ia mampu kembali kepada keluarganya dalam keadaan membisu seribu bahasa ? Sunguh, hal itu diluar kesanggupan dan kemampuannya!

Abu Dzar pergi menuju masjidil haram dan menyerukan dengan sekeras-kerasnya suaranya: "Asyhadu Alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah". Setahu kita, teriakan ini merupakan teriakan pertama tentang Agama Islam yang menentang kesombongan orang-orang Quraisy dan memekakkan telinga mereka�., diserukan oleh seorang perantau asing yang diMekkah tidak mempunyai bangsa, sanak keluarga maupun pembela. Dan sebagai akibatnya, ia mendapat perlakuan dari mereka yang sebetulnya telah dimaklumi akan ditemuinya�.

Orang-orang musyrik mengepung dan memukulnya hingga rubuh.

Berita mengenai peristiwa yang dialami Abu Dzar itu akhirnya sampai juga kepada paman Nabi, Abbas. Ia segera mendatangi tempat terjadinya peristiwa tersebut, tapi dirasanya ia tidak dapat melepaskan Abu Dzar dari cengkeraman mereka kecuali dengan menggunakan diplomasi halus, maka katanya kepada mereka :
"Wahai kaum Quraisy! Anda semua adalah bangsa pedagang yang mau tak mau akan lewat dikampung Bani Ghifar. Dan orang ini salah seorang warganya, bila ia bertindak akan dapat menghasut kaumnya untuk merampok kafilah-kafilahmu nanti!" merekapun sama menyadari hal itu, lalu pergi meniggalkannya.

Tetapi Abu Dzar yang telah mengenyam manisnya penderitaan dalam membela Agama Allah, tak hendak meninggalkan Mekkah sebelum beroleh tambahan dari darma baktinya.

Demikianlah pada hari berikutnya, tampak olehnya dua orang wanita sedang thawaf keliling berhala-berhala Usaf dan Na-ilah sambil memohon padanya. Abu Dzar segera berdiri menghadangnya, lalu dihadapan mereka berhala-berhala itu dihina sejadi-jadinya.

Kedua wanita itu memekik berteriak, hingga orang-orang gempar dan berdatangan laksana belalang, lalu menghujani Abu Dzar dengan pukulan hingga tak sadarkan diri. Ketika ia siuman, maka yang diserunya tiada lain hanyalah "bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu utusan Allah".

Maklumlah sudah Rasulullah akan watak dan tabi'at murid barunya yang ulung ini serta keberaniannya yang menakjubkan dalam melawan kebathilan. Hanya sayang saatnya belum lagi tiba, maka diulanginyalah perintah agar dia pulang, sampai bila telah didengarnya nanti Islam lahir terang-terangan ia dapat kembali dan turut mengambil bagian dalam percaturan dan aneka peristiwanya��

Abu Dzar kembali mendapatkan keluarga serta kaumnya dan menetapkan kepada mereka tentang Nabi yang baru diutus Allah, -yang menyeru agar mengabdi kepada Allah Yang Maha Esa dan membimbing mereka supaya berakhlaq mulia. Seorang demi seorang kaumnya masuk Islam; Bahkan usahanya tidak terbatas pada kaumnya semata, tapi dilanjutkannya pada,suku lain - yaitu suku Aslam:-di tengah-tengah mereka: dipancarkan cahaya islam.....

Hari-hari berlalu mengikuti peredaran , Rasulullah telah hijrah ke Madinah dan menetap di sana bersama Kaum Muslimin. Pada suatu hari, suatu barisan panjang yang, terdiri atas para pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran kota, meninggalkan kepulan debu belakang mereka, Kalau bukanlah bunyi suara takbir mereka yang gemuruh tentulah yang melihat akan menyangka mereka itu suatu pasukan tentara musyrik yang hendak menyerang kota.

Rombongan besar itu semakin dekat�.. lalu masuk ke dalam kota dan menujukan langkah mereka ke masjid Rasulullah dan tempat kediamannya.

Ternyata rombongan itu tiada lain dari kabilah-kabilah Ghifar dan Aslam yang dikerahkan semuanya oleh Abu Dzar dan tanpa kecuali telah masuk Islam; laki-laki, perempuan, orang tua, remaja dan anak-anak.

Sudah selayaknyalah Rasulullah semakin ta'jub dan kagum!

Belum lama berselang, ia ta'jub ada seorang Iaki-laki dari Ghifar yang menanyakan keislamannya di hadapannya. Sabdanya menunjukkan keta'juban itu:

"Sungguh Allah memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya"

Maka sekarang yang datang itu adalah seluruh warga Ghifar yang menyatakan keIslaman mereka. Telah beberapa tahun lamanya mereka menganut Agama itu, semenjak mereka diberi hidayah Allah di tangan Abu Dar. Dan ikut pula bersama mereka suku Aslam.

Raksasa garong dan komplotan syetan telah beralih rupa menjadi raksasa kebajikan dan pendukung kebenaran ! Nah, tidaklah sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ?Rasulullah melayangkan pandangannya kepada wajah-wajah yang berseri-seri, pandangan yang diliputi rasa haru dan cinta kasih. Sambil menoleh kepada suku Ghifar, ia bersabda:

" Suku Ghifar telah di-ghafar -- diampuni -- oleh Allah."
Kemudian sambil menghadap kepada suku Aslam, sabdanya
" Suku Aslam telah disalam - diterima dengan damai � oleh Allah."

Dan mengenai Abu Dzar, muballigh ulung yang berjiwa bebas dan bercita- cita mulia itu, tidakkah Rasulullah akan menyampaikan ucapan istimewa kepadanya? Tidak pelak lagi, pastilah ganjarannya tidak terhingga, serta ucapan kepadanya dipenuhi berkah! Dan tentulah pada dadanya akan tersemat bintang terfinggi, begitu pun riwayat hidupnya akan penuh dengan medali. Turunan demi turunan serta generasi demi generasi akan berlalu pergi, tetapi manusia akan selalu mengulang-ulang apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw. mengenai Abu Dzar ini:�

Takhan pernah lagi dijumpai cli bawah langit ini, orang yang lebih bencrr ucapannya dari Abu Dzar ...! Kemudian pula:
Lebih benarkah ucapannya dari Abu Dzar ...?

Sungguh, Rasulullah saw. bagai telah membaca hari depan shahabatnya itu, dan manyimpulkan kesemuanya pada kalimat tersebut. Kebenaran yang disertai keberanian, itulah prinsip hidup Abu Dzar secara keseluruhan!

Benar bathinnya, benar pula lahirnya.
Benar 'aqidahnya, benar pula ucapannya.

Ia akan menjalani hidupnya secara benar, tidak akan melakukan kekeliruan. Dan kebenarannya itu bukanlah keutamaan yang bisu, karena bagi Abu Dzar, kebenaran yang bisu bukanlah kebenaran! Yang dikatakan benar ialah menyatakan secara terbuka dan terus terang, yakni menyatakan yang haq dan menentang yang bathil, menyokong yang betul dan meniadakan yang salah.

Benar itu kecintaan penuh terhadap yang haq, mengemukakannya secara berani dan melaksanakannya secara terpuji.
Dengan penglihatannya yang tajam, bagai menembus ke alam ghaib yang jauh tidak terjangkau atau samudera yang tidak terselami, Rasulullah saw. menampakkan segala kesusahan yang akan dialami oleh Abu Dzar sebagai akibat dari kebenaran dan ketegasannya. Maka selalu dipesankan kepadanya agar melatih diri dengan keshabaran dan tidak terburu nafsu.

Pada suatu hari Rasulullah mengemukakan Irepadanya pertanyaan berikut ini:
"Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti untuk diri mereka pribadi?" Jawab Abu Dzar: "Demi yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!" Sabda Rasulullah pula: Maukah kamu aku beri jalan yang lebih baik dari itu�.? Ialah bershabar samapai kamu menemuiku "

Tahukah anda kenapa Rasulullah mengajukan pertanyaan seperti itu? Itulah persoalan pembesar dan harta ...!

Nah itulah persoalan pokok bagi Abu Dzar dan untuk itu ia harus membaktikan hidupnya, suatu kemusykilan menyangkut masyarakat ummat dan masa depan yang harus dipecahkannya!

Hal itu telah dimaklumi oleh Rasululiah, dan itulah sebabnya kepada beliau mengajukan pertanyaan seperti demikian, yaitu untuk membekalinya dengan nasihat yang amat berharga: "Bershabarlah sampai kamu menemuiku"

Maka Abu Dzar akan selalu ingat kepada wasiat guru dan Rasul ini. Ia tiadalah akan menggunakan ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengaut kekayaan dari harta rakyat sebagai ancamannya dulu ...,tetapi juga ia tidak akan bungkam atau berdiam diri walau agak sesaat pun terhadap mereka!

Memang, seandainya Rasulullah saw. melarangnya menggunakan senjata untuk menebas leher mereka, tetapi beliau tidak melarangnya menggunakan lidah yang tajam demi membela kebenaran. Dan wasiat itu akan dllaksanakannya ...!

Masa Rasulullah berlalulah sudah, disusul kemudian oleh masa Abu Bakar, kemudian masa Umar. Dalam kedua Khilafah ini masih dapat dijinakkan sebaik-baiknya godaan hidup dan unsur-unsur fitnah pemecah belah, hingga nafsu angkara yang haus dahaga tidak beroleh angin atau mendapatkan jalan.

Ketika itu tidak terdapat penyelewengan-penyelewengan yang akan mengakibatkan Abu Dzar bangkit menentang dengan suaranya yang lantang dan kecamannya yang pedas. Telah lama berlaku dalam pemerintahan Amirul Mu'minin Umar keharusan hidup sederhana dan menjauhi kemewahan serta menegakkan keadilan bagi setiap pejabat dan pembesar Islam. Begitu pun para hartawan di mana mereka berada, telah melaksanakan disiplin ketat yang hampir saja tidak terpikul oleh kemampuan manusia.

Tiada seorang pun di antara pejabatnya, baik di Irak, di Syria, Shan'a, atau di negeri yang jauh letaknya sekalipun, yang memakan panganan mahal yang tidak terjangkau oleh rakyat biasa, kecuali selang beberapa hari berita itu akan sampai kepada Umar dan perintah keras pun akan memanggil pejabat yang bersangkutan menghadap Khalifah di Madinah untuk menjalani pemeriksaan ketat.

Akan tenanglah Abu Dzar kalau demikian ...tenteram dan damai, selama al-Faruqul 'adhim') masih menjabat Amirul Mu'minin .... Dan selama Abu Dzar dalam kehidupannya tidak diganggu oleh kepincangan-kepincangan seperti penumpukan harta dan penyalahgunaan kekuasaan, maka dengan pengawasan Umar ibnul Khatthab' yang ketat terhadap fihak penguasa dan pembagian yang merata terhadap harta, berarti telah memberikan kepuasan dan kelegaan kepada dirinya .... Dan dengan demikian dapatlah ia memusatkan perhatiannya dalam beribadat kepada Allah penciptanya dan berjihad di jalan-Nya, tanpa sedikitpun hendak berdiam diri jika melihat kesalahan-kesalahan di sana-sini, yang ketika itu memang jarang terjadi ....

Akan tetapi setelah khalifah terbesar yang teramat adil dan paling mengagumkan di antara tokoh kemanusiaan telah pergi, terasa adanya kehampaan dalam kepemimpinan. Bahkan hal tersebut menimbulkan kemunduran yang tak dapat dikuasai dan dibatasi oleh tenaga manusia. Sementara itu meluasnya ajaran al-Islam ke berbagai pelosok dunia menumbuhkan kemakmuran hidup. Orang yang tidak dapat menahan godaan dunia banyak yang terjerwmus ke daiam kemewahan yang melebihi batas.

Abu Dzar melihat bahaya ini ....
Panji-panji kepentingan pribadi hampir saja menyeret dan mendepak orang-orang yang tugasnya sehari-hari menegakkan panji-panji Allah. Dan dunia, dengan daya tarik serta tipu muslihatnya yang mempesona, hampir pula memperdayakan orang-orang yang mengemban risalah untuk menpergunakannya sebagai wadah untuk menyemai dan menanamkan kebajikan!

Dan harta yang dijadikan Allah sebagai pelayan yang harus tunduk kepada manusia, cenderung berubah mupa, menjadi tuan yang mengendalikan manusia.
Al-Faruqul 'adhim, yakni pemisah antara haq dan bathil yang perkssa. Al-Faruq, ialah gelar kepahlawanan Umar ibnul Khatthab yang dianugerahkan oleh RasululIah saw.
Dan kepada siapa.. .?
Tiada lain kepada shahabat-shahabat Muhammad saw., yang di waktu wafatnya baju besinya sedang tergadai, sementara gundukan upeti dan harta rampasan perang bertumpuk di bawah telapak kakinya!

Hasil kekayaan bumi yang sengaja diperuntukkan Allah bagi semua ummat manusia, dengan menjadikan mereka mempunyai hak yang sama, hampir berubah menjadi suatu keistimewaan dan hak monopoli bagi mereka yang terbenam dalam kemewahan.

Dan jabatan, yang merupakan amanat untuk dipertanggungjawabkan kelak di hadapan pengadilan ilahi, beralih menjadi alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan dan kemewahan yang menghancur binasakan.

Abu Dzar melihat semua ini. Ia tidak memikirkan apakah itu menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya. Hanya ia langsung menghunus pedang, meletakkannya ke udara dan membedahnya.

Kemudian ia bangkit berdiri dan menantang masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran islam dengan pedangnya yang tak pernah tumpul itu. Tetapi secepatnya bergemalah dalam kalbunya bunyi wasiat yang telah disampaikan Rasulullah ke padanya dulu. Maka dimasukkannya kembali pedang itu ke dalam sarungnya, karena tiada sepantasnya ia akan mengacungkannya ke wajah seorang Muslim.

Dan tidak ada haq bagi seorang Mu 'min untuk membunuh Mu 'min lainnya kecuali karena keliru (tidak sengaja). (Q,S. an-Nisa )

Bukankah dulu Rasulullah telah menyatakan di hadapan para shakabatnya bahwa di bawah langit ini takkan pernah lagi muncul orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar?

Orang yang memiliki bemampuan seperti ini, berupa kata-kata tepat dan jitu, tidak memerlukan lagi senjata lainnya. Satu kalimat yang diucapkannya, akan lebih tajam dan banyak hasilnya daripada pedang walau sepenuh bumi.

Maka dengan senjata kebenarannya ia akan pergi mendapatkan para pembesar, kaum hartawan; pendeknya kepada dunia manusia yang cenderung menumpuk kekayaan yang membahayakan Agama, yakni Agama yang sengaja datang untuk memberikan bimbingan dan bukan untuk memungut upeti, sebab kenabian bukan suatu kerajaan, menjadi rahmat karunia bukan adab sengsara, mengajarkan kerendahan hati bukan kesombongan diri, persamaan bukan pengkastaan, kesahajaan bukan keserakahan, kesederhanaan bukan keborosan, kedamaian dan kebijaksanaan dalam menghadapi hidup bukan terpedaya dan mati-matian dalam mengejarnya�..!

Baiklah ia pergi mendapatkan mereka semua, dan biarlah Allah menjadi hakim diantaranya dengan mereka, dan dialah sebaik-baik hakim!.

Maka pergilah Abu Dzar menemui pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dan dengan lisannya yang tajam dan benar merubah sikap mental mereka satu persatu. Dalam beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri yang jauh yang penduduknya selama itu belum pernah melihatnya.

Nama Abu Dzar bagaikan terbang ke sana ..., dan tak satu daerah pun yang dilaluinya -- bahkan walau barn namanya yang sampai ke sans -- menimbulkan rasa takut dan ngeri hati fihak penguasa dan golongan berharta yang beulaku curang.

Seandainya penggerak hidup sederhana ini hendak mengambil suatu panji bagi diri pribadi dan gerakannya, maka lambang yang akan terpampang pada panji-panji itu tiada lain dari sebuah seterika dengan baranya yang merah menyala. Sedang yang akan menjadi semboyan dan lagi yang selalu diulang-ulangnya setiap waktu dan tempat, dan diulang-ulang pula oleh para pengikutnya seolah-olah suatu lagu perjuangan, ialah kalimat-kalimat ini:

"Beritakanlah kepada para penumpuk harta,
yang menumpuk emas dan perak,
mereka akan diseterika dengan seterika api neraka,
menyeterika hening dan pinggang mereka di hari qiamat"

Setiap ia mendaki bukit, menuruni lembah memasuki kota; dan setiap ia berhadapan dengan seorang pembesar, selalu kalimat itu yang menjadi buah mulutnya. Begitu pun setiap orang melihatnya datang berkunjung, mereka akan menyambutnya dengan ucapan: "Beritakan kepada para penumpuk harta...!"

Kalimat ini benar-benar telah menjadi panji-panji suatu missi yang menjadi tekad serta pendorong dalarfi membaktikan hidupnya, demi dilihatnya harta itu telah ditumpuk dan dimonopoli, serta jabatan disalahgunakan untuk memupuk kekuatan dan mengaut keuntungan; serta disaksikannya bahwa cinta dunia telah merajalela dan hampir saja melumari hasil yang telah dicapai di tahun-tahun kerasulan, berupa keutamaan dan keshalihan, kesungguhan dan keikhlasan.

Abu Dzar menujukan sasarannya yang pertama terhadap poros utama kekuasaan dan gudang raksasa kekayaan, yaitu Syria, tempat bercokolnya Mu'awiyah bin Abi Sufyan yang memerintah wilayali Islam paling subur, paling banyak hasil bumi dan paling kaya dengan barang upetinya. Mu'awiyah telah memberikan dan membagi-bagikan harta tanpa perhitungan, dengan tujuan untuk mengambil hati orang-orang terpandang dan berpengaruh, dan demi terjaminnya masa depan yang masih dirindukannya, didambakan oleh keinginannya yang luas tidak terbatas ....

Di sana tanah-tanah luas, gedung-gedung tinggi dan harta berlimpah telah menggoda sisa-sisa yang tinggal dari pemikul da'wah, maka Abu Dzar cepat mengatasinya, sebelum hal itu berlarut-larut, sebelum pertolongan datang terlambat hingga nasi telah menjadi bubur.
 

simkuring

Foto saya
orang biasa yang mempunyai mimpi luar biasa

barudak