Da'wah ini tidak mengenal sikap ganda ia hanya mengenal satu sikap TOTALITAS. Siapa yang bersedia untuk itu maka ia harus hidup bersama da'wah dan da'wah pun melebur dalam dirinya. Sebaliknya, barang siapa yang lemah dalam memikul beban ini ia terhalang dari pahala besar mujahid dan tinggal bersama orang-orang duduk. Lalu Allah SWT akan menggantikan mereka dengan generasi lain yang lebih baik dan sanggup memikul beban dakwah ini

Kamis, 01 Oktober 2009

0 komentar

Generasi pemikir strategi


Snouck Hourgronje mungkin orang paling berjasa bagi pemerintah Hindia Belanda. Jasanya terbesar adalah usulan kebijakan tentang bagaimana seharusnya pemerintah Hindia Belanda “menghadapi” umat Islam di Indonesia, yang kemudian terbukti efektif dan berhasil memperpanjang usia “penjajahan” di negeri ini.

Yang menarik diantara sekian banyak rekomendasi kebijakannya adalah peringatannya kepada pemerintah Hindia Belanda untuk tidak mengganggu tiga hal dalam kehidupan umat Islam. Pertama, jangan ganggu umat Islam melaksanakan semua jenis ibadahnya, bahkan fasilitasi mereka untuk itu. Kedua, jangan ganggu kaum perempuan. Ketiga, jangan ganggu para ulama. Kebijakan ini benar-benar tepat untuk sebuah komunitas muslim dengan pola keberagamaan yang simbolik dan harfiah sehingga selama simbol-simbol yang disakralkan agama tidak terganggu, mereka merasa agama ini masih baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dicemaskan.

Setelah berdirinya Israel tahun 1948, para pemikir strategi Israel memunculkan sebuah gagasan tentang “perang periodik”. Gagasan ini mengatakan bahwa karena secara finansial Israel sangat tergantung dari bantuan internasional, khususnya dari Amerika Serikat dan Inggris, maka bantuan-bantuan itu selalu perlu dirasionalisasi dari waktu ke waktu kepada publik dunia. Jadi, Israel perlu melakukan usaha-usaha yang sistematis untuk “mengekspor” persoalan-persoalannya kepada dunia, ancaman-ancaman terhadap eksistensi dan kelangsungan hidupnya. Sesuatu yang membuatnya tampak perlu dikasihani dan ditolong serta diselamatkan. Dengan cara itu mereka mendapatkan simpati dunia. Salah satu bentuknya adalah bantuan finansial.

Strategi yang paling tepat untuk itu adalah perang. Dan, dirancanglah sebuah perang periodik dengan negara-negara Arab, Mesir, Syria, dan Lebanon. Perang itu berlangsung itu antara setiap lima sampai sepuluh tahun. Perang 1948 disusul Perang 1956, lalu perang 1967, kemudian Perang 1973, selanjutnya Perang 1982. perang periodik itu perlu dilakukan untuk me-maintaincongressman di Washinton, saya mendapatkan informasi dari mereka bahwa 80% bantuan luar negeri Amerika memang diberikan kepada Israel dan “Mesir”. memori publik terhadap Israel yang perlu diselamatkan. Ketika saya berkunjung ke Amerika Serikat, Juli 2000 lalu, dan sempat bertemu dengan beberapa senator dan

Strategi perang periodik itu ternyata berhasil melaksanakan beberapa fungsi. Pertama, mempertahankan semangat perang prajurit Israel. Kedua, merealisasi prinsip ekspansionisme yang merupakan bagian inheren dalam falsafah Zionisme internasional. Ketiga, mendapatkan uang. Sekarang kita melihat betapa efektifnya strategi itu, baik dalam menciptakan soliditas internal dalam struktur masyarakat Israel yang baru berdiri maupun dalam menciptakan image Israel sebagai raja yang paling berkuasa di kawasan Timu Tengah. Istilah Timur Tengah ini sendiri merupakan bagian dari strategi Israel untuk mengisolasi Dunia Arab dari Dunia Islam, untuk kemudian mengisolasi Palestina dari Dunia Arab.

Itu hanya dua contoh tentang bagaimana pemikiran strategis telah membantu memperpanjang usia sebuah penjajahan dalam kasus pertama dan memeperkokoh posisi politik-militer penjajah baru dalam kasus kedua. Kehadiran kelompok pemikir strategi telah menjadi sebuah keniscayaan, bukan saja bagi negara, tapi juga bagi semua kelompok yang mempunyai misi besar. Para konsultan memainkan peran sebagai pemikir strategi dalam dunia bisnis, sementara lembaga-lembaga pengkajian strategi memeainkan peran yang sama untuk komunitas sosial, politik, dan militer.


Generasi Pemikir Strategi

Kalau dakwah ini merupakan sebuah proyek peradaban, sesungguhnya dakwahlah yang lebih membutuhkan kehadiran kelompok pemikir strategi. Saat ini di hampir seluruh negara Islam, dakwah sedang dalam proses “menegara”. Mark Juergensmeyer bahkan menyebut fenomena ini sebagai gejala kebangkitan global dari “nasionalisme religius”. Di kalangan para pengamat politik internasional, seperti Kinechi Ohmae, Naisbit, dan Huntington, ada anggapan kuat bahwa era konsep negara-bangsa (nation state) –dipelopori oleh Perancis dan Amerika pada abad ke-18 sebagai model negara pasca negara-dinasti yang bertumpu pada feodalisme- yang menjadikan nasionalisme sebagai ruhnya kini telah berakhir. Sebagai gantinya muncul konsep negara-etnis dan konsep negara-agama.

Saya tidak sedang ingin membahas masalah itu. Yang ingin saya katakan adalah dakwah kita saat ini sangat membutuhkan kehadiran kelompok pemikir strategi. Karena itu saya merasa bahwa generasi para “ideolog” telah melakukan tugas mereka dengan baik. Sayyid Quthub, Muhammad Quthub, Muhammad Al-Ghazali, dan Yusuf Al-Qardhawi di Mesir, Al-Maududi di Pakistan, dan Al-Nadawi di India. Mereka telah membangun sebuah basis pemikiran yang kokoh bagi kebangkitan Islam di seluruh dunia. Kini tiba saatnya peran mereka dilanjutkan oleh generasi baru, generasi pemikir strategi yang bertugas menyusun langkah-langkah strategis untuk mencapai cita-cita dakwah. Saya tidak mengatakan generasi itu belum ada. Tapi, saya ingin mengatakan bahwa pustaka dunia Islam masih dipenuhi oleh tulisan para ideolog tersebut, dibanding generasi baru yang kita harapkan.

Yang kita perlukan adalah kehadiran sejumlah pemikir strategi dengan kualifikasi yang baik dan terinstitusikan serta bekerja dengan metodologi yang handal. Para pemikir strategi adalah orang-orang yang berpikir dalam kerangka kesisteman, menggabungkan banyak disiplin ilmu, dan meramunya menjadi sebuah struktur pemikiran yang utuh, menjelaskan bagaimana tujuan, cara dan sarana terintegrasi menjadi satu kesatuan. Strategi bukanlah sebuah disiplin ilmu. Ia adalah seni tentang bagaimana memanfaatkan berbagai disiplin ilmu untuk mencapai tujuan tertentu. Itulah yang menjelaskan mengapa metode merupakan salah satu bagian inti dari strategi. Tapi, para pemikir strategi itu, beserta pemikiran-pemikiran mereka, perlu diinstitusikan. Karena, ini bukan pekerjaan yang bisa diselesaikan sendiri oleh seorang pemikir.

Dalam konteks kita saat ini, ada setidak-tidak dua bidang garap yang harus dilakukan oleh kleompok pemikir strategi. Pertama, strategi gerakan, yaitu merumuskan strategi untuk mengembangkan dakwah dari partai menuju negara, termasuk di dalamnya merumuskan strategi pengembangan institusi, kader kepemimpinan, basis massa, pola penetrasi sosial, tahapan ekspansi, tema dan agenda politik partai pada setiap tahapannya. Kedua, merumuskan berbagai kebijakan publik yang sebagiannya untuk dijadikan landasan bagi penyusunan berbagai perundang-undangan dan sebagiannya lagi untuk diusulkan sebagai kebijaksanaan pemerintah.

Para pemikir strategi harus mempunyai basis yang kuat pada dua lingkaran pengetahuan. Pertama, basis ilmu-ilmu keislaman. Kedua, basis ilmu-ilmu sosial humaniora. Selama ini ada kesan bahwa para aktivis dakwah justru menghindarti ilmu-ilmu sosial dengan alasan muatannya yang sangat sekuler. Saya tidak menafikan hal itu. Tapi, itu bukan alasan untuk tidak menggelutinya. Karena, basis ilmu-ilmu keislaman dan pengalaman tarbiyah bukan saja akan memberikan imunitas kultural dan pemikiran, tapi juga kemampuan memilah dan mencipta sesuatu yang baru. Sebagaimana cerita Al-Qur’an tentang susu: datangnya dari kotoran dan darah.


0 komentar

Mari kita berhenti sejenak


Mari kita berhenti sejenak di sini! Kita sudah relatif jauh berjalan bersama dalam kereta dakwah. Banyak sudah yang kita lihat dan yang kita raih. Tapi, banyak juga yang masih kita keluhkan; rintangan yang menghambat laju kereta, goncangan yang melelahkan fisik dan jiwa, suara-suara gaduh yang memekakkan telinga dari mereka yang mengobrol tanpa ilmu di gerbong kereta ini, dan tikungan-tikungan tajam yang menegangkan. Sementara, banyak pemandangan indah yang terlewatkan dan tak sempat kita potret, juga banyak kursi kosong dalam kereta dakwah ini yang semestinya bisa ditempati oleh penumpang-penumpang baru tapi tidak sempat kita muat. Dan masih banyak lagi.

Jadi, marilah kita berhenti sejenak di sini! Kita memerlukan saat-saat itu; saat di mana kita membebaskan diri kita dari rutinitas yang mengurangi kepekaan spiritual, saat di mana kita melepaskan sejenak beban dakwah selama ini kita pikul yang mungkin menguras stamina kita. Kita memerlukan saat-saat seperti itu karena kita perlu membuka kembali peta perjalanan dakwah kita, melihat-lihat jauhnya jarak yang telah kita tempuh dan sisa perjalanan yang masih harus kita lalui; menengok kembali hasil-hasil yang telah kita raih; meneliti rintangan yang mungkin akan menghambat laju pertumbuhan dakwah kita; memandang ke alam sekitar karena banyak aspek dari lingkungan strategis kita telah berubah.

Sesungguhnya, bukan hanya kita, para dai, yang perlu berhenti. Para pelaku bisnis pun punya kebiasaan itu. Orang-orang yang mengurus dunia itu memerlukannya untuk menata ulang bisnis mereka. Mereka menyebutnya penghentian. Tapi, para sahabat-sahabat Rasulullah SAW –generasi pertama yang telah mengukir kemenangan-kemenangan dakwah dan karenanya berhak meletakkan kaidah-kaidah dakwah- menyebutnya majlis iman. Maka, Ibnu Mas’ud berkata, “Duduklah bersama kami, biar kita beriman sejenak.”


Majlis iman kita butuhkan untuk dua keperluan. Pertama, untuk memantau keseimbangan antara berbagai perubahan pada lingkungan strategis dengan kondisi internal dakwah serta laju pertumbuhannya. Yang ingin kita capai dari upaya ini adalah memperbaharui dan mempertajam orientasi kita; melakukan penyelarasan dan penyeimbangan berkesinambungan antara kapasitas internal dakwah, peluang yang disediakan lingkungan eksternal, dan target-target yang dapat kita raih.

Kedua, untuk mengisi ulang hati kita dengan energi baru sekaligus membersihkan debu-debu yang melekat padanya selama menapaki jalan dakwah. Yang ingin kita raih adalah memperbarui komitmen dan janji setia kita kepada Allah SWT bahwa kita akan tetap teguh memegang janji itu; bahwa kita akan tetap setia memikul amanat dakwah ini; bahwa kita akan tetap tegar menghadapi semua tantangan; bahwa yang kita harap dari semua ini hanyalah ridhaNya. Hari-hari panjang yang kita lalui bersama dakwah ini menguras energi jiwa yang kita miliki, maka majils iman adalah tempat kita berhenti sejenak untuk mengisi hati dengan energi yang tercipta dan kesadaran baru, semangat baru, tekad baru, harapan baru, dan keberanian baru.

Karena itu, majlis iman harus menjadi tradisi yang semakin kita butuhkan ketika perjalanan dakwah sudah semakin jauh. Pertama, karena tahap demi tahap dari keseluruhan marhalah yang kita tetapkan dalam grand strategy dakwah perlahan-lahan kita lalui. Mulai dari perekrutan dan pengaderan qiyadah dan junud dakwah yang kita siapkan untuk memimpin umat meraih kejayannya kembali, kemudian melakukan mobilisasi sosial untuk menyiapkan dan mengkondisikan umat untuk bangkit, sampai akhirnya kita membentuk partai sebagai wadah untuk merepresentasikan dakwah di tingkat institusi.

Kedua, karena kita hidup di sebuah masa dengan karakter tidak stabil. Perubahan-perubahan besar di lingkungan strategis berlangsung dalam durasi dan tempo yang sangat cepat. Dan perubahan-perubahan itu selalu menyediakan peluang dan tantangan yang sama besarnya. Dan, apa yang dituntut dari kita, kaum dai, adalah melakukan pengadaptasian, penyelarasan, penyeimbangan, dan –pada waktu yang sama- meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan momentum. Ketiga, karena kita mengalami seleksi dari Allah SWT secara kontinu sehingga banyak duat yang berguguran, juga banyak yang berjalan bertatih-tatih.

Semua itu membutuhkan perenungan yang dalam. Maka, dalam majlis iman ini, kita mengukuhkan sebuah wacana bagi proses pencerahan pikiran, penguatan kesadaran, penjernihan jiwa, pembaruan niat dan semangat jihad. Dan inilah yang dibutuhkan oleh dakwah kita saat ini.

Tradisi penghentian atau majlis iman semacam ini harus kita lakukan dalam dua tingkatan; individu atau jamaah. Pada tingkatan individu, tradisi ini dikukuhkan melalui kebiasaan merenung, menghayati, dan menyelami telaga akal kita untuk menemukan gagasan baru yang kreatif, matang, dan aktual di samping kebiasaan muhasabah memperbaharui niat, menguatkan kesadaran dan motivasi, serta memelihara kesinambungan semangat jihad. Hasil-hasil inilah yang kemudian kita bawa ke dalam majlis iman untuk kita bagi kepada yang lain sehingga akal individu melebur dalam akal kolektif, semangat individu menyatu dalam semangat kolektif, dan kreatifitas individu menjelma menjadi kreatifitas kolektif.

Kalau ada pemaknaan yang aplikatif terhadap hakikat kehusyuan yang disebutkan Al-Qur’an, maka inilah salah satunya. Pengehentian seperti inilah yang mewariskan kemampuan berpikir strategis, penghayatan emosional yang menyatu secara kuat dengan kesadaran dak keterarahan yang senantiasa terjaga di sepanjang jalan dakwah yang berliku dan curam. Maka, Allah SWT mengatakan, “Belumkah datang saat bagi orang-orang yang beriman untuk mengkhusyukkan hati dalam mengingat Allah dan dalam (menjalankan) kebenaran yang diturunkan. Dan bahwa hendaklah mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang telah diberikan Al-Kitab sebelumnya (di mana) ketika jarak antara mereka (dengan sang Rasul) telah jauh, maka hati-hati mereka menjadi keras, dan banyak dari mereka yang menjadi fasik.” (QS. Al-Hadid : 16)

Beginilah akhirnya kita memahami mengapa Rasulullah SAW menyunahkan umatnya melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan; atau mengapa Allah SWT menanamkan kegemaran berkhalwat pada diri Rasulullah SAW tiga tahun sebelum diangkat menjadi Rasul; atau bahkan mengapa Umar bin Khattab mempunyai kebiasaan i’tikaf di Masjid Haram sekali sepekan di masa jahiliyah. Begini pula akhirnya kita memahami mengapa majelis –majelis kecil para shahabat Rasulullah SAW di masjid atau di rumah-rumah berubah menjadi wacana yang melahirkan gagasan-gagasan besar atau tempat merawat kesinambungan iman dan semangat jihad. Maka ucapan mereka, kata Ali bin Abi Thalib, adalah dzikir, dan diam mereka adalah perenungan.

Tradisi inilah yang hilang di antara sehingga diam kita berubah jadi imajinasi yang liar, ucapan kita kehilangan arah dan makna. Maka, dakwah kehilangan semua yang ia butuhkan; pikiran-pikiran baru yang matang dan brilian, kesadaran yang senantiasa melahirkan kepekaan, dan semangat jihad yang tak pernah padam di sepanjang jalan dakwah yang jauh dan berliku.

0 komentar

Dari gerakan ke negara


Rencana itu terlalu halus untuk dideteksi secara dini oleh para pemimpin musyrik Quraisy.Tiba-tiba saja Makkah terasa lengang dan sunyi. Ada banyak wajah yang terasa perlahan-lahan enghilang dari lingkungan pergaulan. Tapi tidak ada berita. Tidak ada yang tahu secara pasti apa yang sedang terjadi dalam komunitas Muslim di bawah pimpinan Rasulullah SAW. Ini memang bukan rencana yang bisa dirahasiakan dalam waktu lama. Orang-orang musyrik Makkah akhirya memang mengetahui bahwa kaum Muslimin telah berhijrah ke Madinah. Tapi setelah proses hijrah hampir selesai.

Maka gemparlah penduduk Makkah. Tapi. Sebuah episode baru dalam sejarah telah dimulai: sebuah gerakan telah berkembang menjadi sebuah negara, dan sebuah negara telah bergerak menuju peradabannya; sebuah agama telah menemukan “orang-orangnya”, setelah itu mereka akan menancapkan “bangunan peradaban” mereka.

Tanah, dalam agama ini, adalah persoalan kedua. Sebab yang berpijak di atas tanah adalah manusia maka di sanalah Islam pertama kali menyemaikan dirinya; dalam ruang pikiran, ruang jiwa, dan ruang gerak manusia. Tanah hanya akan menjadi penting ketika komunitas “manusia baru” telah terbentuk dan mereka membutuhkan wilayah teritorial untuk bergerak secara kolektif, legal, dan diakui sebagai sebuah entitas politik.



Karena tanah hanya merupakan persoalan kedua maka tidaklah heran bila pilihan daerah tempat hijrah diperluas oleh rasulullah SAW. Dua kali sebelumnya, kaum Musimin, dalam jumlah yang lebih kecil, berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), baru kemudian berhijrah keseluruhan ke Madinah. Tapi, ketika kaum Muslimin sudah berhijrah seluruhnya ke madinah, mereka yang sebelumnya telah berhijrah ke Habasyah tidak serta merta dipanggil oleh Rasulullah SAW. Mereka baru menyusul ke Madinah lima atau enam tahun kemudian.

Ketika mereka tiba di Madinah, di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib, kaum Muslimin baru saja memenangkan perang Khaibar, sebuah peperangan yang sebenarnya mirip dengan sebuah pengusiran, menyusul pengkhianatan kaum Yahudi dalam perang Khandaq. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Aku tidak tahu dengan apa aku digembirakan oleh Allah; apakah dengan kemenangan dalam perang Khaibar atau dengan kedatangan Ja’far?”

Dari Gerakan Ke Negara

Hijrah, dalam sejarah dakwah Rasulullah SAW adalah sebuah metamorfosis dari “gerakan” menjadi negara. Tiga belas tahun sebelumnya, Rasulullah SAW melakukan penetrasi sosial yang sangat sistematis, di mana Islam menjadi jalan hidup individu; di mana Islam “memanusia” dan kemudian “memasyarakat”. Sekarang, melalui hijrah, masyarakat itu bergerak linear menuju negara. Melalui hijrah, gerakan itu “menegara”, dan Madinah adalah wilayahnya.

Kalau individu membutuhkan aqidah maka negara membutuhkan perangkat sistem. Setelah komunitas Muslim menegara, dan mereka memilih Madinah sebagai wilayahnya, Allah SWT menurunkan perangkat sistem yang mereka butuhkan. Turunlah ayat-ayat hukum dan berbagai kode etik sosial, ekonomi, politik, keamanan dan lain-lain. Lengkaplah sudah susunan kandungan sebuah negara: manusia, tanah, dan sistem.

Apa yang kemudian dilakukan Rasulullah SAW sebenarnya relatif mirip dengan semua yang mungkin dilakukan para pemimpin politik yang baru mendirikan negara. Pertama, membangun infrastruktut negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat utamanya. Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antarkomunitas darah yang berbeda tapi menyatu sebagai komunitas agama, antara sebagian komunitas “Quraisy” dan “Yatsrib” menjadi komunitas “Muhajirin” dan “Anshar”. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama dengan komunitas lain yang berbeda, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui piagam Madinah. Keempat, merancang sistem pertahanan negara melalui konsep Jihad fi Sabilillah.

Lima tahun pertama setelah hijrah kehidupan dipenuhi oleh kerja keras Rasulullah SAW beserta para shahabat beliau untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidup negara Madinah. Dalam kurun waktu itu, Rasulullah SAW telah melakukan lebih dari 40 kali peperangan dalam berbagai skala. Yang terbesar dari semua peperangan itu adalah perang Khandaq, di mana kaum Muslimin keluar sebagai pemenang. Setelah itu tidak ada lagi yang terjadi di sekitar Madinah karena semua peperangan sudah bersifat ekspansif. Negara Madinah membuktikan kekuatan dan kemandiriannya, eksistensinya, dan kelangsungannya. Di sini, kaum Muslimin telah membuktikan kekuatannya, setelah sebelumnya kaum Muslimin membuktikan kebenarannya.

Jadi, yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada tahapan ini adalah menegakkan negara. Sebagai sebuah bangunan, negara membutuhkan dua bahan dasar: manusia dan sistem. Manusialah yang akan mengisi suprastruktur. Sedangkan sistem adalah perangkat lunak, sesuatu dengan apa negara bekerja.

Islam adalah sistem itu. Oleh karena itu Islam bersifat given. Tapi, manusia adalah sesuatu yang dikelola dan dibelajarkan sedemikian rupa hingga sistem terbangun dalam dirinya, sebelum kemudian mengoperasikan negara dalam sistem tersebut. Untuk itulah Rasulullah SAW memilih manusia-manusia terbaik yang akan mengoperasikan negara itu.

Selain kedua bahan dasar negara itu, juga perlu ada bahan pendukung lainnya. Pertama, tanah. Tidak ada negara tanpa tanah. Tapi, dalam Islam, hal tersebut merupakan infrastruktur pendukung yang bersifat sekunder sebab tanah merupakan benda netral, yang akan mempunyai makna ketika benda tersebut dihuni oleh manusia dengan cara hidup tertentu. Selain berfungsi sebagai ruang hidup, tanah juga merupakan tempat Allah menitip sebagian kekayaan-Nya yang menjadi sumber daya kehidupan manusia.

Kedua, jaringan sosial. Manusia sebagai individu hanya mempunyai efektifitas ketika ia terhubung dengan individu lainnya secara fungsional dalam suatu arah yang sama.

Itulah perangkat utama yang diberikan untuk menegakkan negara; sistem, manusia, tanah, dan jaringan sosial. Apabila ke dalam unsur-unsur utama itu kita masukkan unsur ilmu pengetahuan dan unsur kepemimpinan maka keempat unsur utama tersebut akan bersinergi dan tumbuh secara lebih cepat. Walaupun, secara implisit, sebenarnya unsur ilmu pengetahuan sudah masuk ke dalam sistem dan unsur kepemimpinan sudah masuk ke dalam unsur manusia.

Itulah semua yang dilakukan oleh Rasulullah SAW selama tiga belas tahun berdakwah dan membina sahabat-sahabatnya di Makkah; menyiapkan semua perangkat yang diperlukan dalam mendirikan sebuah negara yang kuat. Hasil dakwah dan pembinaan itulah yang kemudian tumpah ruah di Madinah dan mengkristal secara sangat cepat.

Begitulah transformasi itu terjadi. Ketika gerakan dakwah menemui kematangannya, ia menjelma jadi negara; ketika semua persyaratan dari sebuah negara kuat telah terpenuhi, negara itu tegak di atas bumi, tidak peduli di belahan bumu manapun ia tegak. Proses transformasi ini memang terjadi sangat cepat dan dalam skala yang sangat besar. Tapi, proses ini sekaligus mengajari kita dua hakikat besar: pertama, tentang hakikat dan tujuan dakwah serta strategi perubahan sosial. Kedua, tentang hakikat negara dan fungsinya.


Perubahan Sosial

Tujuan dakwah adalah mengejawantahkan kehendak-kehendak Allah SWT –yang kemudian kita sebut agama, tau syariah- dalam kehidupan manusia. Syariah itu sesungguhnya merupakan sistem kehidupan yang integral, sempurna, dan universal. Karena manusia yang akan melaksanakan dan mengoperasikan sistem tersebut maka manusia harus disiapkan untuk peran itu. Secara struktural, unit terkecil yang ada dalam masyarakat manusia adalah individu. Itulah sebabnya, perubahan sosial harus dimulai dari sana; membangun ulang susunan keribadian individu, mulai dari cara berpikir hingga cara berperilaku. Setelah itu, individu-individu itu harus dihubungkan satu sama lain dalam suatu jaringan yang baru, dengan dasar ikatan kebersamaan yang baru, identitas kolektif yang baru, sistem distribusi sosial ekonomi politik yang juga baru.

Begitulah Rasulullah SAW memulai pekerjaannya. Beliau melakukan penetrasi ke dalam masyarakat Quraisy dan merekrut orang-orang terbaik di antara mereka. Menjelang hijrah ke Madinah, beliau juga merekrut orang-orang terbaik dari penduduk Yatsrib. Maka terbentuklah sebuah komunitas baru di mana Islam menjadi basis identitas mereka, aqidah menjadi dasar ikatan kebersamaan mereka, ukhuwah menjadi sistem jaringan mereka, dan keadilan menjadi prinsip dstribusi sosial-ekonomi-politik mereka. Tapi, perubahan itu bermula dari sana; dari dalam individu, dari dalam pikiran, jiwa dan raganya.

Model perubahan sosial seperti itu mempunyai landasan pada sifat natural manusia, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Perubahan mendasar akan terjadi dalam diri individu jika ada perubahan mendasar pada pola pikirnya karena pikiran adalah akar perilaku. Masyarakat juga begitu. Ia akan berubah secara mendasar jika individu-individu dalam masyarakat itu berubah dalam jumlah yang relatif memadai. Tapi, model perubahan ini selalu gradual dan bertahap. Prosesnya lebih cenderung evolusioner, tapi dampaknya selalu bersifat revolusioner. Inilah makna firman Allah SWT “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d:11)


Fungsi Negara

Dalam konsep politik Islam, syariat atau kemudian kita sebut sistem atau hukum, adalah sesuatu yang sudah ada, given. Negara adalah institusi yang diperlukan untuk menerapkan sistem tersebut. Inilah perbedaan mendasar dengan negara sekuler, di mana sistem atau hukum mereka adalah hasil dari produk kesepakatan bersama karena hal tersebut sebelumnya tidak ada.

Sebagai institusi, bentuk negara selalu berubah mengikuti perubahan-perubahan struktur sosial dan budaya masyarakat manusia. Dari bentuk negara kerajaan, parlementer, hingga presidensiil. Skala negara juga berubah mengikuti perubahan struktur kekuatan antarnegara, dari imperium besar ke negara bangsa, dan barangkali, yang sekarang jadi mimpi pemerintahan George W. Bush junior di Amerika: negara dunia atau global state. Struktur etnis dan agama dalam sebuah negara juga bisa tunggal dan majemuk.

Oleh karena itu semua merupakan variabel yang terus berubah, dinamis, dan tidak statis, maka Islam tidak membuat batasan tertentu tentang negara. Bentuk boleh berubah, tapi fungsinya tetap sama; institusi yang mewadahi penerapan syariat Allah SWT. Itulah sebabnya bentuk negara dan pemerintahan dalam sejarah Islam telah mengalami berbagai perubahan; dari sistem khilafah ke kerajaan dan sekarang berbentuk negara bangsa dengan sistem yang beragam dari monarki, presidensiil, dan parlementer. Walaupun tentu saja ada bentuk yang lebih efektif menjalankan peran dan fungsi tersebut, yaitu sistem khilafah yang sebenarnya lebih mirip dengan konsep global state. Tapi, efektifitasnya tidaklah ditentukan semata oleh bentuk dan sistem pemerintahannya, tapi terutama oleh suprastrukturnya, yaitu manusia.

Namun demikian, kita akan melakukan kesalahan besar kalau kita menyederhanakan makna negara Islam dengan membatasinya hanya dengan pelaksanaan hukum, pidana dan perdata, serta etika sosial politik lainnya. Persepsi ini yang membuat negara Islam lebih berciri moral ketimbang ciri lainnya. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa syariat Allah itu bertujuan memberikan kebahagiaan kepada manusia secara sepurna; tujuan hidup yang jelas, yaitu ibadah untuk mendapatkan ridha Allah SWT serta rasa aman dan kesejahteraan hidup.

Hukum-hukum Islam dalam bidang pidana dan perdata sebenarnya merupakan sub-sistem. Tapi, dampak penerapan syariah tersebut pada penciptaan keamanan dan kesejahteraan hanya dapat muncul di bawah sebuah pemerintahan yang kuat. Hal itu bertumpu pada manusia. Hanya “orang kuat yang baik” yang bisa memberikan keadilan dan menciptakan kesejahteraan, bukan orang yang baik. Bagaimanapun, hanya orang kuat dan baik yang dapat menerapkan sistem Allah secara sempurna. Inilah makna hadits Rasulullah SAW “laki-laki mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada laki-laki mukmin yang lemah.”

Alangkah dalamnya penghayatan Umar bin Khattab tentang masalah ini ketika berdoa, “Ya Allah lindungilah kami dari orang yang bertaqwa yang lemah dan tidak bertaqwa yang lemah dan tidak berdaya, dan lindungilah kami dari orang-orang jahat yang perkasa dan tangguh.” Inilah sesungguhnya misi gerakan Islam: melahirkan orang-orang baik yang kuat atau orang-orang kuat yang baik. [Anis Matta]

0 komentar

Misi dakwah kita :perubahan dan perbaikan (At-taghyir wal ishlah)


Ikhwan wa akhawat fiddin rahimakumullah…
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari penaklukan kota dan negeri di era dakwah Rasulullah SAW? Mungkin banyak sekali. Di situ ada pelajaran tentang keberanian, ketaatan, pengorbanan, konsistensi, dan masih banyak hal lain.

Namun, ada satu hal menarik untuk kita simak. Yaitu, di hampir setiap penaklukan kota dan negeri, cara kekerasan selalu pada pilihan terakhir. Tidak ada politik bumi hangus, asal hukum, dan sebagainya. Setidaknya, hal itu terlihat pada penaklukan terbesar pada sejarah dakwah rasulullah SAW, yaitu Fathu Makkah.


“Siapa yang masuk ke Masjidil Haram, ia selamat. Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, ia juga selamat.” Begitulah kira-kira hawa perdamaian dan keselamatan yang ditebarkan Rasulullah SAW pada penduduk Makkah. Sebuah komunitas yang pernah begitu besar melakukan permusuhan terhadap diri dan misi Nabi SAW.

Inilah pola baru dalam penaklukan yang dikenal masyarakat waktu itu. Karena umumnya, penaklukan selalu berujung pada penghancuran, balas dendam, dan sejenisnya. Logika ini pula yang pernah disampaikan Ratu Bailqis ketika mengomentari strategi apa untuk menghadapi dakwah Nabi Sulaiman.
قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ [النمل/34]
“Dia berkata, “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang muia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.” (QS. An-Naml : 34)

Ali bin Abi Thalib RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW soal strategi jitu menaklukkan Khaibar. Saat itu, ia memang dapat amanah memimpin Perang Khaibar.
يا رسول الله أقاتلهم حتى يكونوا مثلنا ؟ فقال ( انفذ على رسلك حتى تنزل بساحتهم ثم ادعهم إلى الإسلام وأخبرهم بما يجب عليهم من حق الله فيه فوالله لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من أن يكون لك حمر النعم
“Ya Rasulullah, apakah mereka langsung kita perangi sampai mau (masuk Islam) seperti kami? Rasulullah SAW bersabda, “Berlaku tenanglah sampai di kawasan mereka, lalu dakwahilah mereka kepada Islam. Kabarkanlah kepada mereka hal-hal yang wajib mereka lakukan atas hak-hak Allah. Demi Allah, jika Allah menunjuki seseorang lewat dakwahmu, maka yang demikian itu lebih baik bagimu, melebihi ghanimah besar yang terdiri dari hewan ternak terbaik.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Saudaraku yang dirahmati Allah…
Pelajaran itu adalah: dakwah Islam tidak sekadar melakukan perubahan, tapi juga perbaikan. Hal itulah yang pernah diungkapkan Nabi Syu’aib AS soal dakwahnya. Firman Allah SWT:
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ [هود/88]
“…Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku, melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nyalah aku kembali.” (QS. Hud : 88)

Perubahan dan perbaikan itu seolah-olah dua muka pada sebuah koin. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Perubahan tanpa perbaikan seperti orang yang berjalan tanpa arah, dan perbaikan tanpa perubahan seperti menuangkan air ke dalam ember yang bocor.

Bukanlah perubahan tanpa perbaikan, dan tak ada perbaikan tanpa diiringi perubahan.

Ayyuhal ikhwah…
Dengan kata lain, perubahan yang kita inginkan bukan perubahan artifisial. Bukan sekadar ganti kulit, sementara isinya masih tetap ular. Karena itulah, syumuliyatud da’wah harus terus kita jaga. Baik dari segi objek, bentuk, sarana, maupun pengembangannya.

Sebelum kita mengarahkan objek dakwah kepada orang lain, terlebih dahulu diri sendiri, istri, dan anak harus menjadi objek utama. Jangan seperti calo bus di sebuah terminal, berteriak-teriak supaya orang lain naik bus, tapi ketika bus berangkat, ia tetap saja diam di terminal.

Allah SWT mengingatkan kita untuk tidak seperti orang Yahudi yang kehilangan konsistensi terhadap diri sendiri.
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ [البقرة/44]
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri. Padahal kamu membaca Alkitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?" (QS. Al-Baqarah : 44)

Saudaraku yang dicintai Allah…
Allah SWT memberikan kita begitu banyak pengalaman soal bentuk dakwah yang cocok di lahan Indonesia ini. Mulai dari gerilnya yang memunculkan begitu banyak pengalaman kewaspadaan, era kelembagaan yang mengajarkan kita cara efektif bersosialisasi, dan era politik yang membuka begitu banyak pintu peluang.

Allah SWT begitu memudahkan kita melalui bentuk-bentuk dakwah itu, memberikan kepada kita khazanah pengalaman yang begitu mahal. Bahkan, teramat mahal, yang mungkin tidak dialami negeri-negeri lain yang juga mengusung dakwah ini. Dari situ, kita bisa menimbang dan menakar seperti apa mestinya dakwah yang produktif untuk negeri ini.

Ikhwati fillah…
Kita semua yakin bahwa tak seorang pun dari kita yang ingin mengecilkan partai dakwah ini. Tak seorangpun dari kita yang ingin mengecilkan peran dakwah ini. Tak seorang pun dari kita yang antipolitik seraya ingin tetap dalam bentuk dakwah gerilya. Sebagaimana tak seorang pun dari kita yang ingin melupakan bentuk dakwah di masa awal dulu dengan asyik duduk menikmati kemewahan panggung politik. Namun, parsialisasi dakwah kadang muncul bersamaan dengan dominasi subjektivitas dakwah.

Ketika kebersamaan tergilas oleh obsesi individu, ketika amal jama’i terpinggirkan oleh superioritas orang per orang, ketika keputusan atau ijtihad pribadi bisa mengalahkan hasil syura yang penuh berkah; saat itulah dakwah menjadi begitu kerdil, parsial, dan artifisial.

Bahkan mungkin, na’udzubillah, sesama satu gerakan dakwah bisa saling meniadakan antara sati pelaksana dengan pelaksana yang lain. Antara satu program dengan program yang lain.

Ikhwan fiddin rahimakumullah…
Imam Syahid Hasan Al-Banna pernah memberi nasihat kepada kita “Dakwah ini tidak menerima persekutuan. Sebab, tabiatnya adalah keterpaduan. Maka, siapa yang siap, ia harus hidup bersama dakwah dan dakwah pun hidup bersamanya.”

“Sebaliknya, siapa yang tidak sanggup memikul beban ini, ia akan terhalang dari pahala para mujahidin, tertinggal bersama orang-orang yang tertinggal, duduk bersama orang-orang yang hanya duduk-duduk. Dan, Allah SWT akan mengganti dengan generasi lain yang sanggup memikul beban dakwah ini.”

Saudaraku yang dicintai Allah…
Fathu Makkah adalah diantara buah dakwah Nabi SAW yang didahului dengan keringat, darah, dan air mata. Namun beratnya perjalanan itu tidak menjadikan dakwah kehilangan kebijaksanaan dan kasih sayang. Justru melahirkan dakwah begitu matang dan dewasa.

Dalam hala apa pun: kepemimpinan, keterpaduan, kesolidan, program perubahan dan perbaikan, serta keteladanan adalah untuk generasi dakwah yang akan datang.

0 komentar

Murabi saleh, halaqah muntijah

Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembaku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata), “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya, dan (tidak wajar pulan baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah(menganut agama) Islam?” (QS. Ali Imran : 79-80)

Ayyuhal ikwah wal akhawat rahimakumullah…
“Kader adalah rahasia kehidupan dan kebangkitan. Sejarah umat adalah sejarah para kader militan dan memiliki kekuatan jiwa dan kehendak. Sesungguhnya kuat lemahnya suatu umat diukur dari sejauh mana umat tersebut mampu menghasilkan kader-kader yang memiliki sifat ksatria…” (Risalah Hal Nahnu Qaumun ‘Amaliyun)


Ayyuhal ikwah wal akhawat rahimakumullah…
“Kader adalah rahasia kehidupan dan kebangkitan. Sejarah umat adalah sejarah para kader militan dan memiliki kekuatan jiwa dan kehendak. Sesungguhnya kuat lemahnya suatu umat diukur dari sejauh mana umat tersebut mampu menghasilkan kader-kader yang memiliki sifat ksatria…” (Risalah Hal Nahnu Qaumun ‘Amaliyun)

Dunia dakwah kita tengah memasuki era yang sangat kompetitif, era yang akan menentukan kita bertahan, maju, atau terkikis zaman. Pada situasi seperti ini, dakwah membutuhkan mereka yang berdaya guna, yang senantiasa siap memikul dakwah. Beban dakwah hanya sanggup dipikul oleh mereka yang mengerti tentang apa dan bagaimana tabiat dakwah itu. Junud ad-dakwah yang cerdas, penuh semangat dan bertanggungjawablah yang siap berada di medan dakwah ini. Kehadiran kader seperti inilah yang menjadi obsesi Khalifah Umar r.a.:

Umar r.a berkata kepada para sahabatnya, “Berobsesilah!” Mulailah mereka menyampaikan obsesinya. Umar berkata, “Aku ingin ada sebuah rumah yang penuh kader sejati seperti Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. Hakim)

Kader dengan karakter tersebut hanya bisa diwujudkan melalui pembinaan diri yang intensif dan berkesinambungan. Artinya, kita memiliki kesempatan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Pada era politik dakwah sekrang inilah jamaah sangat membutuhkan kejelasan komitmen yang tinggi dari para kadernya. Yang mengharuskan kita membelanya sampai titik darah penghabisan. Jamaah ini harus sampai kepada ahdaf-nya yang telah dirancang untuk ‘Izzul Islam wal muslimin. Kita beriltizam pada jalan dakwah, bukan dengan figur, melainkan dengan dakwah itu sendiri. Karena persoalan pribadi tidak semestinya mengeliminasi kecintaan dan pembelaan kita kepada jalan dakwah ini.

Menjadi orang yang saleh dan mushlih adalah buah yang kita harapkan dari proses tarbiyah yang kita jalani selama ini. Saleh secara pribadi dan mengupayakan tumbuh kembangnya kesalehan pada orang lain merupakan teladan dari Rasulullah SAW dan para salafussaleh yang sepatutnya kita ikuti. Alhamdulillah, saat ini sangat banyak diantara kita yang mendapatkan kesempatan menjadi dai atau murabbi, baik di lingkungan tempat kita tinggal, kampus, sekolah, maupun perkantoran. Sesungguhnya yang kita inginkan bukanlah semata banyaknya jumlah mad’u atau murabbi kita.

Akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah bagaimana agar kuantitas dan kualitas selalu merupkaan fungsi yang bergradien positif. Atau menurut slogan seorang ikhwah, “Daripada berjuang bersama 20 orang tapi tidak berkualitas, lebih baik berjuang bersama 2000 orang yang berkualitas.”

Kunci utama peningkatan kualitas umat ini terletak di tangan para penyeru Islam. Atau dalam konteks ini, penentu pemeliharaan dan peningkatan kualitas kesalehan para mad’u atau mutarabbi menjadi tanggung jawab para dai atau murabbi itu sendiri.

Ayyuhal ikhwah wal akhawat rahimakumullah…
Berikut ini adalah beberaoa karakteristik yang harus kita usahakan agar melakat pada diri para dai atau murabbi sehingga terbentuk halaqah muntijah:

1. Al-fahm asy-syaamil al-kaamil
Yaitu pemahaman yang sempurna dan menyeluruh terhadap dasar-dasar keislaman dan rambu-rambu petunjuknya, juga terhadap apa yang didakwahkannya, karena seorang murabbi akan mentarbiyah seseorang yang memiliki akal, perasaan dan pemahaman, dan orang tersebut akan merefleksikan apa yang didengar dan diperhatikan dari sang dai atau murabbi. Maka, apabila seorang dai dan murabbi tidak memiliki level pengetahuan yang memadai dan wawasan pemahaman yang menyeluruh tentang dasar-dasar keislaman, hal itu akan memindahkan sebuah kebodohan kepada mutarabbinya, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah dalam pembentukan kepribadian Muslim seorang mutarabbi.

2. Waqi’ ‘Amaly
Yaitu keteladanan sang murabbi dengan amal perbuatannya yang secara riil tampak jelas pada perilakunya. Seperti geraknya, diamnya, bicaranya, atributnya, pandangannya, dan ibrah-nya. Seluruh keteladanan itu adalah buah refleksi dari pengaruh keimanan dan pemahaman dalam kehidupan seorang murabbi, dalam rangka memberikan pengaruh keteladanan yang baik (qudwah salehah) di tenga-tengah masyarakat.

Pendiri jamaa Ikhwan, Hasan Al-Banna menyifati murabbi dengan sebutan dai mujahid. Lebih jelasnya beliau menyebutkan bahwa dai mujahid adalah, “Sosok dai yang telah mempersiapkan segala sesuatunya, terus menerus berpikir, penuh perhatian dan siap siaga selalu.” Begitulah seharusnya seorang murabbi, iman dan keyakinannya tercermin pada perilaku dan amalnya. Berdasarkan penelitian pada perjalanan kehidupan seorang murabbi, bahwa pengaruh mereka terhadap banyak orang lebih banyak berasal dari perilaku dan akhlaknya yang istiqamah di setiap keadaan.

Sudah menjadi pemaaman umum bahwa manthiqul af’al aqwa min manthiqil aqwal (logika amal/perbuatan lebih kuat dari logika kata-kata). Dikatakan pula oleh ulama salafusshalih, “Man lam tuhadzdzibka ru’yatuhu, fa’lam annahu ghairu /muhadzdzab.” (Barangsiapa yang tidak mendidikmu ketika engkau melihatnya maka ketahuilah bahwa orang itu juga tidak terdidik)

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Man wa’azha akhaahu bifi’lihi, kaana haadiyan.” (Barangsiapa yang menasihati saudaranya dengan amal perbuatannya maka berarti ia telah menunjukinya). Oleh karena itu, keteladanan adalah fokus yang sangat sensitif dan halus, karena apa yang tampak pada dirinya jauh lebih besar pengaruhnya dari apa yang diucapkannya (al-manzhar a’zhamu ta’tsiiran minal qaul).

3. Al-Khibrah binnufus
Yaitu berpengalaman dalam memahami aspek kejiwaan, karena sesungguhnya lapangan kerja seorang murabbi tidak lain adalah jiwa, bergumul dengannya, dan menjadikannya sasaran yang pertama dan terakhir dalam proses tarbiyah; sedangkan jiwa tidak seperti gigi sisir, akan tetapi jiwa orang berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang peka dan oversensitif. Ada yang lembut, ada yang keras, bebal, dan sebagainya.

Oleh karena itu, seorang murabbi hendaknya menyikapi seseorang sesuai dengan kejiwaannya dan berhati-hati dalam berinteraksi dengannya, maka jangan bersikap terlalu tegas dan keras kepada orang yang jiwanya halus dan peka, melainkan harus dihadapi dengan lemah lembut. Sebaliknya, orang yang jiwanya keras harus dihadapi dengan ketegasan jika ia lalai dan menyimpang. Adala Rasulullah SAW sosok murabbi pertama yang berpengalaman dalam ilmu jiwa, beliau tidak memperlakukan para sahabatnya dengan sikap yang sama antara yang satu dan lainnya, karena beliau sangat tahu akan tabiat manusia dan kejiwaan mereka.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata :
Rasulullah SAW perna beberapa hari lamanya tidak memberikan nasihat kepada kami, karena beliau takut kami menjadi bosan. (HR. Ahmad)

Berkaitan dengn al-khibrah binnufus, banyak contoh keteladanan dari murabbi zaman ini, diantara mereka adalah Hasan Al-Banna, di mana tela terjadi dialog antara beliau dengan salah seorang ikhwah. Ikhwah tersebut berkata, “Sesungguhnya saya lagi banyak masalah dan ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.” Maka kata Hasan Al-Banna, “Sudahlah, jangan bebani dirimu dengan masalah itu. Serahkan urusanmu kepada Allah.” “Tapi, saya ingin Anda tahu,” sergah akh tersebut. “Sesungguhnya saya sudah tahu,” kata Al-Banna seraya meyakinkan akh tersebut. “Jadi saya bahagia kalau Anda mau tahu,” balas akh tersebut.

Akan tetapi, belum sempat saya memulai curhat, beliau suda mendahuluiku dengan rentetan masalah dan keluhan yang dialaminya sendiri bahkan yang mengerankan apa yang diutarakannya sama dengan apa yang saya rasakan. Setelah beliau selesai berbicara, maka sayapun berkata kepadanya, “Ustadz, demi Allah, sungguh saya sangat bahagia, dan saya tidak akan mengeluh lagi.” Saya mengatakan semua itu sambil terisak dan bercucuran air mata.”

Ayyuhal ikhwah wal akhawat rahimakumullah…
Agar sebuah halaqah dapat dikategorikan sebagai halaqah muntija (produktif) tentunya ada aturan-aturan yang arus ditaati oleh semua komponen halaqah, dalam hal ini adalah murabbi dan mutarabbi. Dr. Abdullah Qadiri dalam buku Adab Halaqah menyebutkan adab-adab pokok yang harus ada dalam sebuah halaqah, yaitu sebagai berikut :
1. Serius dalam segala urusan dan menjauhi sendau gurau serta orang-orang yang banyak bergurau. Yang dimaksudkan serius dan tidak bersendau gurau tentu saja bukan berarti suasana halaqah menjadi kaku, tegang, dan gersang, melainkan tetap diwarnai keceriaan, kehangatan, kasih sayang, dan gurauan yang tidak melampuai batas atau berlebihan. Jadi, canda dan gurauan hanya menjadi unsur selingan yang menyegarkan suasana dan bukan merupakan porsi utama halaqah.
2. Berkemauan keras untuk memahami aqidah salafussalih dari kitab-kitabnya, seperti kitab Al-‘Ubudiyah. Sehingga semua peserta halaqa akan terhindar dari segala bentuk penyimpangan aqidah.
3. Istiqamah dalam berusaha memahami kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya dengan jalan banyak membaca, mentadabburi ayat-ayat-Nya, membaca buku tafsir dan ilmu tafsir, buku hadits dan ilmu hadits, dan lain-lain
4. Menjauhkan diri dari sifat ta’asub (fanatisme buta) yang membuat orang-orang yang taqlid terhadap seseorang atau golongan telah terjerumus ke dalamnya karena tidak ada manusia yang ma’shum (bebas dari kesalahan) kecuali Rasulullah yang dijaga Allah. Sehingga jika ada perbedaan pendapat hendaknya dikembalikan kepada dalil-dalil yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Hanya kebenaranlah yang wajib diikuti, oleh karenanya tidak boleh menaati makhluk dalam hal bermaksiat kepada Allah.
5. Menghindari ghibah. Majelis halaqah hendaknya dibersihkan dari kebusukan ghibah dan namimah terhadap seseorang atau jamaah tertentu. Adab-adab Islami haruslah diterapkan, antara lain dengan tidak memburuk-burukkan seseorang.
6. Melakukan ishlah (koreksi) terhadap murabbi atau mutarabbi secara tepat dan bijak karena tujuannya untuk mengingatkan dan bukan mengadili.
7. Tidak menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menetapkan skala prioritas bagi pekerjaan-pekerjaan yang akan dilaksanakan berdasarkan kadar urgensinya.

Selain adab-adab pokok tersebut, secara lebih spesifik ada adab yang harus dipenuhi oleh peserta/anggota halaqah terhadap diri mereka sendiri, terhadap murabbi, dan sesama peserta halaqah. Mula-mula seorang peserta halaqah hendaknya memiliki kesiapan jasmani, rohani dan akal saat menghadiri liqo’ halaqah. Ia semestinya membersihkan hati dari aqidah dan akhlak yang kotor, kemudia memperbaiki dan membersihkan niat, bersahaja dalam hal cara berpakaian, makanan, dan tempat pertemuan. Selain itu, juga bersemangat menuntut ilmu dan senantiasa menghiasi diri dengan akhlak yang mulia.

Selanjutnya terhadap murabbi hendaknya ia tsiqah (percaya) dan taat selama sang murabbi tidak melakukan maksiat. Lalu berusaha konsultatif atau selalu mengomunikasikan dan meminta saran-saran tentang urusan-urusan dirinya kepada murabbi. Selain itu, ia juga berupaya memenuhi hak-hak murabbi dan tidak melupakan jasanya, sabar atas perlakuannya yang boleh jadi suatu saat tidak berkenan, meminta izin, serta bertutur kata yang sopan dan santun.

Dan akhirnya adab ikhwah sesama peserta halaqah dengan mendorong peserta lain untuk giat dan bersungguh-sungguh dalam mengikuti tarbiyah. Lalu tidak memotong pembicaraan teman tanpa izinnya, selalu hadir tidak terlambat dan dengan wajah berseri, memberi salam, bertegur sapa, dan tidak menyakiti perasaan. Selain itu, terhadap lingkungan di sekitar tempat halaqah berlangsung, hendaknya semua peserta halaqah selalu menunjukkan adab-adab kesantunan, mengucapkan salam, meminta izin ketika melewati mereka, dan pamit bila akan pulang serta melewati mereka lagi.

Demikian, ayyuhal ikhwah wal akhawat taujih singkat, semoga kita semua bisa melaksanakan adab-adab halaqah dengan baik, sehingga halaqah tidak sekedar rutinitas yang menjemukan. Namun kegiatan liqa’ halaqah atau usrah menjadi sangat dirindukan dan mampu menghasilkan kader-kader dakwah yang tangguh. Amiin…

0 komentar

Dakwah adalah cinta


Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu.


Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yg kau cintai.


Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu.
Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yg menempel di tubuh rentamu. Tubuh yg luluh lantak diseret-seret. .. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.


Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yg diturunkan Allah.

Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya
sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi
orang miskin yg bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak.
Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang
segar bugar itu sampai rontok. Hanya dalam 2 tahun ia sakit parah
kemudian meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai
jiwa yang tenang.

Dan di etalase akhirat kelak, mungkin tubuh Umar bin Khathab juga
terlihat tercabik-cabik. Kepalanya sampai botak. Umar yang perkasa
pun akhirnya membawa tongkat ke mana-mana. Kurang heroik? Akhirnya
diperjelas dengan salah satu luka paling legendaris sepanjang
sejarah; luka ditikamnya seorang Khalifah yang sholih, yang sedang
bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat sholat.

Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah
bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah
bukannya sepi dari godaan kefuturan.

Tidak… Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama
mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan
segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih “tragis”.

Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu
menemani… justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana
pun mereka pergi… akhirnya menjadi adaptasi. Kalau iman dan godaan
rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus
mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk
mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada.

Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka.
Hingga “hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda
dibandingkan jihad yang begitu cantik.

Begitupun Umar. Saat Rasulullah wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar
wafat, ia tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada abu Bakar.
Tapi saking seringnya “ditinggalkan” , hal itu sudah menjadi
kewajaran. Dan menjadi semacam tonik bagi iman..

Karena itu kamu tahu. Pejuang yg heboh ria memamer-mamerkan amalnya
adalah anak kemarin sore. Yg takjub pada rasa sakit dan
pengorbanannya juga begitu. Karena mereka jarang disakiti di jalan
Allah. Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya
besar. Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya hal itu
mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang besar. Dan mereka justru
jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “ya Allah, berilah
dia petunjuk… sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha Penyayang… “

Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak. Jasadnya
dikoyak beban dakwah. Tapi iman di hatinya memancarkan cinta…
Mengajak kita untuk terus berlari…

“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”

(alm. Ust Rahmat Abdullah)

Kalau iman dan syetan terus bertempur. Pada akhirnya salah satunya
harus mengalah.

In memoriam Ust. Rahmat Abdullah

0 komentar

Sifat-sifat Aktivis Dakwah

Wahai saudaraku aktivis da’wah, keberadaan antum dalam menyebarkan da’wah Islam bukanlah perbuatan bid’ah, namun seperti pohon rindang nan lebat daun dan buahnya, memiliki akar yang kokoh dan cabang yang tinggi;

أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ

“Yang akarnya kokoh sedang cabangnya menjulang tinggi kelangit”
(QS. Ibrahim: 24)

Aktivis dakwah adalah orang yang menyebarkan kebaikan dan cahaya kepada orang yang berada disekelilingnya melalui gerak dan perbuatan, melalui cahaya yang mengharap ridlo Allah dan petunjuknya, dan dengan itu kebaikan dan pahala akan menghampiri diantara mereka, dan bagi mereka yang mengikutinya, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa yang menyeru kepada hidayah maka baginya ganjaran seperti ganjaran orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun ganjaran mereka”. (HR. Muslim)

Wahai para aktivis da’wah, hendaknya kita selalu mengenang sabda Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan oleh ka’ab bin Malik –semoga Allah meridloinya- yang mana beliau menceritakan bagaimana terjadinya baiat Aqabah kedua –baiat yang mampu menghalau syaitan, dan menggetarkan orang-orang Quraisy- dia berkata: “ … setelah sekelompok orang dari Aus dan Khajraz berkumpul bersama Rasulullah saw, dan mengecek setiap orang dari mereka keteguhan agama dan dirinya, Rasulullah saw bersabda kepada mereka: “Keluarlah kalian bersama saya 12 orang wakil ini untuk menjadi penyeru diartara kaumnya”. (HR. Ishaq dan Ahmad)




Jadi, tangga da’wah dan jalan pergerakan serta arah tarbiyah rabbaniyah terlaksana melalui pengambilan baiat para penda’wah yang memiliki kemampuan dalam diri mereka melakukan pembinaan dan meluruskannya atas apa yang dicintai Allah dan diridloi-Nya.

Tanggungjawab ini merupakan bagian dari perjanjian yang memiliki syarat-syarat dan ganjaran seperti yang telah Allah jelaskan tentang kisah Bani Israil dalam surat Al-Maidah, dimana Allah SWT berfirman:

وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرائيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيباً وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلاةَ وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً لَأُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلَأُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيل

“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari ) Bani Israil dan telah kami angkat diantara mereka 12 oran gpemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan sholat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu Bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, sesungguhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan kumasukkan ke dalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir diantaramu sesudah itu, sesungguhnya ia talah tersesat dari jalan yang lurus.” (Al-Maidah: 12)

Dari ayat tersebut Allah menjelaskan perjanjiannya bersama Bani Israil, perjanjian dalam dua sisi ; syarat dan ganjaran, adapun perjanjan bersama para pemimpin pilihan yang merupakan keturunan dari nabi Ya’kub yang berjumlah 12 orang, sedangkan perjanjian dengan para pemimpin dan orang-orang yang berada dibelakang mereka sebagai perjanjian atas setiap individu, dan perjanjian ini seperti yang dikenal dalam ilmu usul; ibrahnya bukan karena pengkhususan suatu sebab namun karena keuniversalitas lafadz, yaitu perjanjian atas seluruh manusia yang memiliki hubungan yang erat dengan Allah.

Adapun syarat-syaratnya adalah: Mendirikan sholat dan mencakup seluruh substansinya, menunaikan zakat harta dan hati, zakat ilmu dan pengetahuan, kemudian beriman kepada para rasul dan mengakui mereka dan sesuatu yang dibawa oleh mereka dengan perintah untuk beribadah kepada Allah, menjauhi Thoghut, dan tidak cukup hanya beriman dalam ucapan saja namun harus diaplikasikan dalam menolong mereka, manhaj mereka, jejak mereka dan da’wah mereka yang mereka bawa yaitu dengan bentuk pinjaman dan pengorbanan harta dan jiwa, dan bahkan tidak hanya memberikan pinjaman namun juga mencakup pada melakukan ihsan dalam berinfak dan bersedekah, karena yang demikian merupakan pokok utama dalam setiap permasalahan sampai pada proses penyembelihan dan penumpahan darah dalam berkorban.

Kemudian setelah itu ganjaran sebagai manifestasi dari syarat

وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً

“Kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik”

Karena konsekwensi pinjaman adalah kembali kepada pemiliknya, maka bagaimana pinjaman ini akan kembali dan kapan terjadinya? tentunya pinjaman tersebut akan kembali di dalam dunia dan di Akhirat, karena ia merupakan sebab terhapusnya dosa dan masuknya surga-surga, hal ini merupakan ganjaran yang paling sempurna dengan perjanjian, adapau bagi yang mengkhianatinya maka hasilnya sangatlah jelas yaitu kerugian di dunia dan di Akhirat,d an yang demikian merupakan kerugian yang sangat jelas.

Kemudian setelah pemaparan yang singkat ini wahai para aktivis da’wah, bersegeralah untuk selalu berbaik sangka kepada dirimu sendiri, karena sebaik-baik peninggalan adalah sebaik-baik warisan, yaitu melalui tarbiyah dengan pemahaman yang mendalam, iman yang kokoh, dan amal yang berkesinambungan.

Setidaknya ada beberapa sifat yang harus dimiliki oleh para aktivis da’wah, yang mana telah kami klasifikasikan pada tiga bagian:

1. Sifat yang mesti dimiliki oleh setiap individu (sifat fardiyyah).
2. Sifat yang mesti dimiliki dalam berinteraksi dengan masyarakat dan komitmen terhadapnya (sifat kolektif).
3. Sifat yang mesti dimiliki dalam rangka meningkatkan kualitas da’wah dan jihad fi sabilillah.

PERTAMA:
SIFAT-SIFAT FARDIYYAH

Adapun sifat-sifat fardiyyah yang mesti dimiliki oleh seorang aktivis da’wah adalah sebagai berikut:

1. Setiap individu hendaknya mengetahui jati dirinya dan bersungguh-sungguh meningkatkan diri hingga mencapai tingkat ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya, tunduk kepada segala sesuatu yang datang kepadanya, baik berupa perintah dan larangan. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya: “Yang disebut mujahid adalah orang yang bersungguh dalam taat kepada Allah”, maksudnya adalah sebelum kalian keluar ingin berhadapan dengan musuh dan memerangi mereka, hendaknya kalian menyiapkan diri semampu kalian dengan bersungguh-sungguh dan kontinyu memerangi musuh yang menguasai jiwa kalian yang selalu mengajak kalian berbuat ma’siat kepada Allah dan Rasul-Nya dan membangkang dari hukum yang telah di syari’atkan. Selama musuh ini masih melekat dalam diri kalian, sehingga menjatuhkan martabat kalian dan jauh dari ridla Allah SWT, maka kalian tidak akan mungkin mampu mengalahkan dan menguasai musuh Allah. Contoh yang lebih dekat adalah saat kalian memerangi manusia dari meminum khamar, namun dalam rumah kalian terdapat minuman tersebut, tentunya kenyataan seperti itu merupakan kontradiksi yang sangat gamblang antara perkataan dan perbuatan, dan akan menjadi penghancur wibawa kalian, penghalang aktivitas kalian, dan pembatas ruang lingkup kalian ditengah masyarakat umum.

Maka pertama kali yang harus kalian lakukan adalah menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah SWT dan melepasnya dari segala kebebasan yang bertentangan dengan syari’at Allah, baru setelah itu berda’wah kepada orang lain.

2. Setelah tingkatan jihad adalah tingkatan hijrah. Hijrah yang dimaksud disini bukanlah dalam arti dzahir; meninggalkan tempat tinggal dari kebisingan dan kesemrawutan, namun yang diinginkan adalah hijrah dari berbuat ma’siat kepada Allah menuju ketaatan dan ridla Allah SWT. Seorang muhajir hakiki adalah jika ia keluar dari tempat tinggalnya, karena dilingkungannya ia tidak menemui tempat yang layak untuk mempraktekkan secara leluasa hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Namun jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya bukan dalam rangka meningkatkan ketaatan kepada Allah tapi untuk berbuat ma’siat kepada-Nya; sungguh ia telah melakukan kesalahan yang sangat besar dan tidak akan memberikan manfaat sama sekali akan hijrahnya dari ujian dan musibah. sabagaimana yang telah dijelaskan oleh Raslullah saw dalam sabdanya saat ditanya tentang ma’na hijrah yang paling utama: “Adakah hijrah yang paling utama wahai Rasulullah? Rasul bersabda: hijrah dari sesuatu yang tidak disukai oleh Tuhanmu”. Dari sini jelas bahwa seseorang yang selalu melakukan ma’siat kepada Allah, maka hijrahnya dari tempat tinggalnya ketempat lain tidak ada nilainya sama sekali disisi Allah SWT, maka dari itu, saya mengingatkan kepada para aktivis untuk segera memerangi kekuatan besar yang berada dalam tubuh kalian sebelum kalian melakukan da’wah di alam luar, meencermati kondisi hati dan selalu memobilisasinya dengan ketaatan kepada Allah, baik dalam kadaan susah atau senang, sebelum berhadapan dangan kaum kuffar yang memerangi Islam. Hendaknya kalian -dengan kalimat sederhana- seperti seekor kuda yang diikat kuat dengan tali yang ditambatkan dibumi, walaupun begitu kuatnya mampu malepaskan diri dari ikatan tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Perumpamaan seorang mumin dan iman seperti seekor kuda yang memiliki berbagai perbedaan dari kuda liar yang selalu berkeliling mengitari lapangan, dan masuk kesetiap kebun, dengan gagah berani masuk kesuatu tempat yang terdapat tumbuhan/rumput yang hijau”.

Hendaknya sifat aktivis dakwah seperti seekor kuda liar dan melatihnya menjadi kuda peliharaan yang tertambat dengan tali.

3. Berusaha mendisiplinkan dan menertibkan aturan hidup, yaitu dengan lebih dahulu memerangi kebejatan lingkungan terdekat. Maksudnya disini adalah rumah tangga, hendaknya kalian memperbaiki rumah tangga kalian, kerabat, sahabat dekat dan lingkungan, bukan berarti dengan mencela, mencaci dan membantah mereka, namun dengan melakukan -secara individu dan interaksi sosial- sosialisasi akan keabsahan misi, prinsip dan ajaran Islam. Karena masyarakat yang terbiasa dengan melewati kehidupannya tanpa tujuan dan maksud yang jelas seperti halnya seekor binatang tidak mau mengikuti alur kehidupan kalian kecuali mereka telah melihat langsung gambarannya yaitu dengan memperlihatkan diri kalian kepada istri-istri, anak-anak, bapak-bapak, ibu-ibu, kerabat-kerabat dan sahabat kalian prilaku yang baik, walaupun pada awalnya kalian orang asing ditengah-tengah keluarga dan tempat tinggal kalian. Kursi jabatan yang selalu diimpikan kebanyakan orang dalam mimpi indahnya adalah tampuk kekuasaan dan jabatan yang enak, seakan seperti lampu yang penuh bara api yang panas bagi kalian. Ala kuli hal, kalian wajib melakuan perubahan kepada setiap orang yang kalian anggap paling dekat, dan katakanlah kapada saya: Demi Allah, adakah orang yang telah melakukan perbaikan dalam rumah tangganya, tidak mesti melakukan hal yang sama kepada orang lain? sungguh saya sangat gembira sekali dan tentram mendengar kabar adanya pergulatan dan perdebatan antara anggota jamaah dan kerabat mereka dalam rangka mempertahankan aqidah Islamiyah. Namun pada sisi lain saya merasa cemas sekali jika mendengar ada suatu tempat yang belum terjamah sama sekali oleh anggota jamaah sampai sekarang.

Yang perlu diperhatikan disini adalah seseorang jangan melakukan pertentangan atau jihad kecuali membekali diri dengan logika, seperti halnya dokter saat memeriksa pasiennya, karena pada hakikatnya seorang dokter tidak mengobati sipasien namun mengobati apa yang dalam dirinya, dengan segala daya dia memberikan nasehat dan motivasi, sehingga saat si dokter memberikan obat yang pahit sekalipun atau melakukan operasi pada bagian anggota badannya, maka pasien akan menerimanya dengan senang hati. Begitulah hendaknya para aktivis da’wah dalam mengarahkan saudaranya yang sedang terbuai kelalaian dan kesesatan menuju jalan yang lurus dan hidayah, mereka tidak merasa bahwa kalian menggurui mereka sehingga tidak timbul sikap permusuhan dari mereka. Sesungguhnya da’wah ini tidak akan tegak -sebagaimana yang telah saya utarakan dengan singkat dalam seminar sebelumnya- dengan perdebatan, baik lisan maupun tulisan, walaupun yang demikian merupakan hal mendasar dalam da’wah, namun jalan terbaik dan mulia adalah dengan menampakkan diri menjadi tauladan. Jika mereka memandang dan mengenal kalian dari kemuliaan perjalanan hidup, kesucian akhlak, dan memiliki semangat juang dijalan Allah, merekapun akan mudah menuruti perkataan dan ucapan kalian, tentunya hal tersebut merupakan cerminan dari sifat Rasulullah saw sebagaimana beliau pernah bersabda tentang karakteristik orang beriman: “Jika dipandang mereka selalu berdzikir kepada Allah “.

Saya tidak menyeru kalian untuk merubah diri kalian dengan serta merta, karena yang demikian tidak akan mudah kecuali dengan bertahap. Saat kalian ingin memerangi lingkungan dekat, berjuang dan berkorban demi mencapai tujuan, maka cara pengorbanan yang dilakukan secara tidak langsung akan membentuk pribadi baik, dan pada saatnya nanti akan menjadi suri tauladan yang baik dalam da’wah.

Hendaknya kalian mengiringinya dengan mempelajari al-Quran dan sunnah dalam da’wah dengan penuh keseriusan dan kejelian hingga dapat memahami cara yang tepat mencari jalan hidup yang diinginkan Islam dan tipe macam apa yang dicintai Allah SWT atau yang diidamkan oleh Rasulullah saw. Sifat, karakteristik dan akhlak apakah yang dituntut Islam kepada para aktivis gerakan Islam hingga mampu mengangkat bendera da’wah dan jihad setelahnya? tentunya diantara banyak proses dalam menyiapkan kelompok yang memiliki kecerdasan dan kesiapan menghadapi perang membutuhkan 15 tahun yang berkesinambungan dalam marhalah tatsqif dan tadrib (pelatihan). Maka hendaknya kalian mempelajari secara rinci periode persiapan ini dan memahami fase-fasenya, sehingga dapat mengetahui sifat yang bagaimana yang diutamakan oleh Rasullullah saw dalam membentuk para pengikutnya sebelum mempersiapkan yang lainnya, mana yang lebih dahulu diutamakan dan mana yang diakhirkan? dan batas amal apakah yang perlu dikembangbangkan? kapan pujian kepada mereka diberikan? Tauladan inilah yang mesti dijadikan sandaran dalam rangka membersihkan diri. Kalaulah bukan karena waktu yang terbatas, saya akan menjelaskan secara detail apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw: “Barangsipa yang cintanya karena Allah, murka karena Allah, memberi karena Allah, dan mencela karena Allah maka telah sempurnalah keimanannya“.

Bahwa manusia tidak akan sempurna keimanannya kecuali ia melandasi segala kecintaan, kemurkaan/kebencian, celaan dan pemberiannya karena Allah SWT semata, tidak ada sedikitpun motivasi dan dorongan serta ambisi pribadi apalagi duniawi yang melekat dalam dirinya. Dalam hadits lain Rsulullah saw bersabda: “Allah memerintahkan kepada saya 9 perkara: takut kepada Allah saat sunyi dan ramai, menegakkan keadilan saat marah dan suka, merasa puas saat miskin dan kaya, menyambung silaturrahim saat terputus, memberi kepada orang yang mengharamkannya kepadaku, memaafkan orang yang mendzalimiku, menjadikan diam sebagai bahan perenungan, lidah sebagai dzikir, dan pandangan sebagai ibrah (pelajaran)”. Setelah itu beliau melanjutkan: “Dan memerintahkan kapada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar”. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan “wasatan” adalah jika memfokuskan diri kepada melakukan amar am’ruf nahi mungkar, wajib bagi setiap individu memiliki sifat demikian, karenanya tidak akan mungkin terlaksana da’wah ini kecuali dengan merealisasikan tuntutan yang urgen ini.

KEDUA:
SIFAT-SIFAT KOLEKTIF

Setelah membahas sifat-sifat personal, kita membutuhkan bagian lain yaitu sifat-sifat kolektif sebagai penopang pembangunan kehidupan bersama dan melakukan konsolidasi sistem gerakan serta menambah kekokohan jamaah agar terjalin sesama anggota saling cinta, gotong royong dan tolong menolong, saling memberi nasehat dan wasiat pada kebaikan dan kesabaran serta bersama-sama melaju dalam jalan da’wah.

Sifat-sifat ini juga dibutuhkan oleh jamaah lainnya dimuka bumi ini karena jika tidak, akan terjadi diantara mereka saling mengedepankan kepentingan pribadi sehingga tidak memiliki hubungan yang erat dan pada akhirnya mereka tidak mampu melawan kebatilan dan memberantasnya. Saya tidak memungkiri kebenaran yang ada dalam tubuh umat sifat yang mulia dan akhlak yang terpuji, namun yang sangat disayangkan adanya keinginan menonjolkan sifat individualnya karena jika yang demikian masih melekat dalam tubuh suatu jamaah maka akan sulit menolak tantangan yang lebih besar, kecuali hanya berkisar kepada perbaikan pribadi.

Misi yang harus dilakukan setelah memperbaiki diri, perjalanan hidup setiap anggota adalah bertawakkal (menyerahkan segala urusannya) kepada Allah sehingga menghasilkan keharuman citra dan sejarah yang mulia dan diirngi dengan kesempurnaan amal jama’i (kolektif). Bahwa akrobat, sekalipun ia berani, kuat dan mampu mengangkat beban yang berat dan dapat melawan beberapa orang dalam satu pertandingan, namun ia tidak akan mampu menandingi sekelompok tentara yang tertata rapi. Demikianlah banyak diantara kita yang terpecah-pecah dalam mensosialisasikan kebajikan namun tidak memiliki ikatan hati dan ukhuwah, ibaratnya mereka seperti pemain akrobat yang tidak mau bekerja sama dengan kelompoknya secara teratur namun ia mau menghadapi musuh yang bersatu dalam barisan yang rapi. Kebaikan individu umat islam, kepribadian yang baik dan terpuji, baik ketinggian akhlak dan perjalanan hidup yang suci adalah merupakan keniscayaan, namun kami akan merasa tenang dan tentram jika hal tersebut diiringi dengan kebaikan kolektif.

Al-Quran telah menjelaskan permasalahan ini dalam beberapa ayat-ayatnya, sebagaiman telah dijelaskan dalam hadits Rasulullah saw secara gamblang pada sekian banyak sabdanya. Jika kita mau menelaah Al-Quran dan sirah Rasulullah saw dan sejarah para sahabat -semoga Allah melimpahkan ridla-Nya kepada mereka- akan kita dapati suri tauladan yang baik yang tidak terhitung jumlahnya tentang akhlak kolektif yang menakjubkan, karena itu kalian hendaknya menelaah kembali kitab-kitab yang berkenaan dengannya secara teliti dan cermat hingga melahirkan pertanyaan: apa dan dari segi mana kekurangan akhlak tersebut, kemudian apa kiat-kiat untuk mengetahui akhlak tersebut.
Fenomena yang dapat dilihat dari kehidupan kita adalah bahwa setiap individu tidak bisa hidup dalam kesendirian tapi mesti berinteraksi dengan orang lain, jika ada dalam setiap individu memiliki sifat berbaik sangka, sikap terpuji, akhlak mulia, itsar, dan berkorban, maka perbedaan karakter tidak akan menjadi penghalang dalam membangun kebersamaan diantara mereka, karana suatu jamaah tidak akan dapat terbentuk kecuali berdiri diatas prinsip ; membuang buruk sangka terhadap orang lain, sebagaimana ia mampu membuang buruk sangka yang ada dalam jiwanya sendiri. Jika tidak dapat menemui sifat itsar dan berkorban dalam jiwa kalian, maka janganlah berfikir mampu akan melakukan revolusi (perubahan) dalam kehidupan sosial.

KETIGA:

Sifat yang mesti dimiliki dalam rangka meningkatkan kualitas da’wah dan jihad fi sabilillah.

1. MUJAHADAH DI JALAN ALLAH

Adapun sifat ketiga adalah mujahadah (bersungguh-sungguh) dalam barjuang di jalan Allah SWT, hal ini telah disebutkan dalam Al-Quran dan sunnah Rasul secara detail dan terperinci. Pertanyaannya adalah: Bagaimana dan tingkatan mana yang harus diaplikasikan lebih dahulu? untuk menjawabnya kita harus mencermati sesuatu yang tersirat dalam Al-Quran dan sunnah, baik dari segi hukum dan pendidikan, dan meneliti kembali dari segi mana yang dapat kita jadikan senjata untuk berperang dijalan Allah SWT? dari sini secara singkat saya akan jelaskan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh setiap aktivis dalam bermujahadah di jalan Allah SWT.

2. SABAR

Sabar merupakan konsekwensi dari sifat pertama.

Sifat ini bukan hanya merupakan salah salah konsekwensi logis yang harus diterapkan dalam bermujahadah di jalan Allah, namun juga merupakan bagian dari sifat dalam segala hal, perbedaannya adalah ; bahwa dalam mujahadah di jalan Allah (jihad) membutuhkan kesabaran yang begitu kuat sehingga tidak mudah lentur dan lemah keimanannya, sedang jihad dalam arti bekerja dan berusaha juga membutuhkan kesabaran namun dalam ukuran yang berbeda.

Sabar dalam jihad dijalan Allah memiliki berbagai macam cara: diantaranya adalah kehati-hatian dan tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu kegiatan, atau step by step (selangkah demi langkah). Selain itu adalah al-istiqamah dan gigih dalam beramal sehingga tidak mudah futur saat menjumpai kesulitan, ujian dan rintangan. Atau juga tidak mudah berputus asa, jauh dari sifat al-wahn (cinta dunia dan takut mati) walaupun tanda-tanda keberhasilan yang diharapkan belum tampak jelas tapi terus bekerja walau dalam keadaan bagaimanapun. Adapaun ciri lainnya ; tidak mudah goyah saat berhadapan dengan bahaya, kesulitan, rintangan yang akan mengancam jiwanya. Tidak mudah kehilangan keseimbangan walau dalam keadaan yang sangat kritis dan genting, baik yang menyangkut dengan gejolak hati. Tidak gegabah. Tidak hanya mengandalkan perasaan sebelum mengerahkan nalar dan penelitian (cek dan ricek) terlebih dahulu. Dan selalu melakuakn kegiatannya dengan penuh ketenangan, kecermatan akal, ketegaran dan kegigihan.

Perlu diketahui bahwa kalian tidak hanya diperintahkan untuk bersabar saja namun juga deperintahkan untuk mengokohkan dan meneguhkan kesabaran tersebut didalam lubuk hati kalian. Menghadapi kekuatan musuh yang mamiliki persenjataan lengkap harus dengan senjata yang lebih unggul dari mereka, sehingga dapat dengan mudah menghancurkan dan menundukkan mereka, Allah SWT berfirman: “dan kuatkanlah kesabaran kalian“ setelah sebelumnya diperintahkan: “wahai orang-orang yang beriman bersabarlah kalian”.

Sesungguhnya saat berperang dengan mereka guna meninggikan bendera kebenaran harus diimbangi dengan kesabaran, karena kalian mungkin tidak dapat menemui diri kalian yang layak dengan asumsi bahwa mempersenjatai diri dengan sepuluh macam kesabaran sudah cukup. Bacalah sejarah peristiwa perang dunia kedua, bagaimana kesabaran yang ditampakkan oleh bangsa Jerman, Jepang dan Amerika dalam menegakkan kebatilan, mereka menghancurkan pusat laboratorium, pabrik-pabrik, rumah-rumah dan terminal-terminal dengan tangan mereka sendiri, padahal dengan susah payah mereka membangunnya dan memakan waktu yang begitu lama. Jika memang harus terjadi peperangan, kenapa harus tega membantai manusia dengan tank-tank yang dikendarai prajurit yang kekar diatas roda-roda yang terbuat dari besi yang kuat? Kenapa mereka begitu sabar dan istiqamah melakukan penyerangan dengan pesawat tempur, padahal mereka juga terancam kematian? selama kesabaran tidak mencapai 105 % dibanding kesabaran mereka, kita tidak akan mungkin bisa melawan dan mengalahkan mereka.

Selama dari segi kekuatan dan jumlah kita tidak diperhitungkan oleh mereka, maka kalian tidak boleh merasa rendah diri namun tanamkanlah kekuatan diri dan jiwa dengan kesabaran, tsabat (keteguhan hati), dan istiqamah.

3. ITSAR

Memiliki sifat itsar (mendahulukan kebutuhan/kepentingan orang lain) dan jiwa berkorban; baik terhadap waktu, tenaga, fikiran dan masa depan, dan berkorban terhadap cita-cita dan harapan.

Selama kita masih terus dianggap terbelakang dibandingkan dengan kekuatan mereka dan untuk melengkapi kekurangan -dari segi senjata dan personil- untuk mengalahkan mereka agak sulit dan membutuhkan waktu lama, maka kita harus memiliki keunggulan lain; jiwa berkorban dan itsar (mementingkan hajat orang lain). Namun yang membuat hati saya sedih dan meneteskan air mata; ada diantara kita yang sudi menjual diri mereka kepada musuh-musuh Allah hanya karena ingin mendapatkan harta yang sedikit.

Hal tersebut merupakan fenomena yang dapat menghilangkan gairah umat untuk berjuang sehingga tidak ada lagi harapan yang ingin di capai. Ada diantara mereka yang berat mengorbankan diri untuk berkhidmah kepada agama Allah walau dengan imbalan yang minim. Jika diantara kita tidak ada yang mau berkorban dan tidak berusaha memompa diri dalam berjihad dijalan Allah, maka bagaimana mungkin sebuah gerakan Islam akan maju dan berkembang ditengah arus globalisasi yang kian gencar ini. Padahal tidak ada suatu gerakanpun didunia ini yang bisa maju dan berkembang jika hanya bergantung kepada personilnya, hanya mengandalkan kekuatan tangan dan kaki saja. Karena keduanya tidak akan mungkin memberikan manfaat jika tidak diiringi dengan hati yang bersih dan akal yang cerdas. Dengan kata lain kami membutuhkan pemimpin dan jendral yang berilyan agar dapat dimanfaatkan dalam da’wah … namun ironisnya; mereka yang memiliki potensi ideologi dan kecerdasan akal, memiliki kecerdasan dalam meningkatkan kesejahteraan hidup di dunia, gigih dalam bekerja siang dan malam dan memiliki prestise yang tinggi, namun tidak memiliki perhatian terhadap da’wah, apalagi mereka tidak mau mengorbankan karirnya maka akan sulit mewujudkan impian dan harapan guna membangun Islam dan bangkit dari keterpurukan.

Jika kalian tetap mengharapkan kepada mereka yang kering akan jiwa berkorbannya guna memenangkan peperangan kepada mereka yang suka berbuat kerusakan dimuka bumi ini, yang gencar menginfakkan harta mereka demi menegakkan kebatilan, maka tidak ada yang dapat kalian raih dan capai kecuali hanyalah kehinaan belaka.

4. SEMANGAT DALAM MENGGAPAI CITA-CITA

Jika ada yang memahami misi gerakan ini hanya sekedar pemberian jaminan kehidupan yang tentram sementara tidak ada dalam dirinya tanggung jawab untuk menyebarkannya, maka pada hakikatnya pemahaman tersebut tidak akan memberikan kontribusi positif dalam gerakan da’wah ini, ibaratnya tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan rasa lapar.

Sesungguhnya kewajiban kita semua adalah memiliki hati yang bergelora dan menyala yang bisa disumbangkan demi kemaslahatan da’wah. Paling tidak harus ada dalam diri kita jiwa semangat memajukan da’wah ini. Jika anak anda sakit, maka jangan dibiarkan begitu saja, tapi bawalah ia ke dokter. Saat anda tidak menemui solusi akan kebejatan moral anak anda dan membuat kekhawatiran yang mendalam sehingga mendorong anda untuk berusaha dan bekerja keras untuk memperbaikinya, maka lakukanlah sesegera mungkin.

Kita harus memiliki perasaan yang jujur dalam setiap keadaan guna mencapai misi ini, bersikap tenang, ikhlas dan bersih dari keinginan duniawi, dan selalu berkeinginan untuk meningkatkan kesungguhan, sehingga urusan pribadi dan keluarga dinomor duakan, bahkan tidak menolehnya kecuali dengan sikap pasif. Kita tidak melakukan usaha untuk urusan pribadi saja kecuali hanya sedikit waktu atau tenaga yang dialokasikan, sehingga pekerjaan yang kita lakukan tidak hanya tertuju pada kesenangan hidup duniawi saja. Perasaan ini jika tidak bersumber dari lubuk hati yang murni, dan diiringi dengan ruh dan jiwa bergelora, maka akan sulit memberikan kewibawaan terhadap perkataan yang kita ucapkan. Apakah kalian tidak melihat, mayoritas manusia yang mendukung dan memberikan motivasi melalui opini yang mereka sampaikan, namun sedikit diantara mereka yang mau berpartisipasi dalam gerakan ini dan berkorban dengan harta dan jiwa mereka.

Kalau saja pada tiap diri kita memiliki pemikiran yang demikian, dan berusaha mengevaluasi apakah kita termasuk anggota jamaah ini dalam bentuk ideologi saja atau secara keseluruhan, atau ada dalam jiwa ini keinginan yang bergelora untuk merealisasikan misi da’wah dan berusaha semampunya membentuk perasaan ini dalam jiwa walaupun tidak memiliki hubungan yang erat dengan da’wah? padahal sejatinya, jika hati manusia memiliki ikatan yang erat dengan misi da’wah, maka ia mesti membutuhkan motivasi dan mobilisasi dari pihak lain, karena merupakan hal yang mustahil, adanya kekuatan di pusat namun dicabangnya ada kelemahan dan kelalaian dalam tugas menyebarkan da’wah sehingga penyakit incapabiliti dan paralizati terjangkit, hanya bisa memberikan solusi dengan memindahkan sebagian anggotanya dari suatu tempat ketempat lainnya atau menonaktifkannya dari da’wah.

Jika ada diantara kalian anaknya sakit, janganlah kalian serahkan hidup dan mati anak itu kepada orang lain, jangan anda tinggalkan begitu saja dengan alasan tidak ada yang mampu menyembuhkannya, tidak ada yang memberikannya obat atau tidak ada dokter. Jika kalian tidak menemukan orang yang mampu menngobatinya maka hendaknya kalian melakukannya sendiri, karena anda lebih berhak daripada orang lain. Tidak mustahil ada orang yang memiliki perhatian terhadap anak orang lain dan berusaha ingin mencampuri urusannya, namun sangat tidak mungkin ada orang yang tega menutup matanya terhadap urusan anaknya sendiri dan tidak mau berusaha mengobati anaknya jika jatuh sakit.

Demikian juga hubungan kalian dengan da’wah ini yang bersumber dari lubuk hati kalian, bagaimana mungkin kalian rela acuh terhadap da’wah ini, sibuk dengan urusan lain, sebagaimana tidak mungkin jika kalian hanya bersantai dan duduk-duduk dirumah, sibuk dengan pekerjaan pribadi, dengan alasan tidak ada yang membantu dalam meningkatkan ruhiyah atau menegurnya jika melakukan kesalahan. Jika hal ini tidak menunjukkan sesuatu pada diri kalian kecuali karena lemahnya hubungan diri kalian dengan Allah dan kurangnya semangat berkorban untuk meninggikan kalimat Allah dimuka bumi.

Jika saja hubungan kalian dengan Allah sangat kuat, maka tentu kalian akan melupakan diri kalian sendiri, tidak akan takut terhadap kematian dan kehidupan yang penuh hambatan. Maka perkenankan kepada saya mengatakan sesuatu ; jika kalian melangkahkan kaki dalam da’wah ini dengan hati yang dingin, maka pasti kalian akan menemui kegagalan yang dahsyat, kegagalan yang tidak akan memancarkan keberanian para generasi selanjutnya untuk bergelut dalam gerakan da’wah hingga masa yang panjang. Hendaknya kalian memperlihatkan ketegaran hati dan akhlak terpuji sebelum memikirkan langkah berikutnya yang begitu besar, menyiapkan diri dengan keberanian dan kegigihan serta siap menghadapi bahaya yang siap menghadang dalam berjihad dijalan Allah SWT.

5. BERKESINAMBUNGAN DAN TERATUR

Hendaknya kaian membiasakan diri dalam melakukan kegiatan yang berkesinambungan dan teratur. Sungguh umat Islam sebelum kalian telah mengaplikasikan hal itu, dengan melakukan perbuatan yang mudah dan tidak melangkah kecuali jelas maksud dan tujuannya. Walaupun pekerjaan yang mereka lakukan sebelumnya termasuk sia-sia seperti debu yang berterbangan. Hendaknya kalian merubah kebiasaan kalian dan melatih diri kalian dengan pekerjaan yang tetap, memiliki prospek dan hasil dalam jangka panjang dengan teratur dan rapi. Karena setiap perbuatan walaupun nilainya rendah dalam pandangan kalian namun memiliki nilai yang strategis, hendaknya kalian melakukannya dengan itqan (propesional dan proporsional) tanpa menunggu hasil dengan tergesa-gesa, tanpa mengharapkan pujian dan ucapan terimakasih dari orang lain atas kerja keras kalian.

Karena medan jihad tidak hanya satu periode dan setiap prajurit dalam berperang tidak semuanya maju kebarisan depan, namun dalam bahasa jihad perang hanya sekali dan karenanya membutuhkan persiapan yang matang dan waktu yang panjang, jika ada beberapa ribu pasukan sedang berperang menghadapi musuh dibarisan terdepan, maka harus ada barisan dibalakang sepuluh ribu pasukan lain yang berdiri dan sibuk menyiapkan kebutuhan perang, walaupun pada kenyataanya nilai tidak sebanding dengan orang yang terjun langsung dalam perang.

Semoga kita semua menjadi aktivis dakwah yang mau memiliki sifat-sifat tersebut diatas sehingga mampu mengemban amanah dakwah secara maksimal dan mampu melakukan perbaikan di tengah masyarakat yang sedang dilanda sakit.

Allahu Akbar Walillahilhamdu…

 

simkuring

Foto saya
orang biasa yang mempunyai mimpi luar biasa

barudak