Mari kita berhenti sejenak di sini! Kita sudah relatif jauh berjalan bersama dalam kereta dakwah. Banyak sudah yang kita lihat dan yang kita raih. Tapi, banyak juga yang masih kita keluhkan; rintangan yang menghambat laju kereta, goncangan yang melelahkan fisik dan jiwa, suara-suara gaduh yang memekakkan telinga dari mereka yang mengobrol tanpa ilmu di gerbong kereta ini, dan tikungan-tikungan tajam yang menegangkan. Sementara, banyak pemandangan indah yang terlewatkan dan tak sempat kita potret, juga banyak kursi kosong dalam kereta dakwah ini yang semestinya bisa ditempati oleh penumpang-penumpang baru tapi tidak sempat kita muat. Dan masih banyak lagi.
Jadi, marilah kita berhenti sejenak di sini! Kita memerlukan saat-saat itu; saat di mana kita membebaskan diri kita dari rutinitas yang mengurangi kepekaan spiritual, saat di mana kita melepaskan sejenak beban dakwah selama ini kita pikul yang mungkin menguras stamina kita. Kita memerlukan saat-saat seperti itu karena kita perlu membuka kembali peta perjalanan dakwah kita, melihat-lihat jauhnya jarak yang telah kita tempuh dan sisa perjalanan yang masih harus kita lalui; menengok kembali hasil-hasil yang telah kita raih; meneliti rintangan yang mungkin akan menghambat laju pertumbuhan dakwah kita; memandang ke alam sekitar karena banyak aspek dari lingkungan strategis kita telah berubah.
Sesungguhnya, bukan hanya kita, para dai, yang perlu berhenti. Para pelaku bisnis pun punya kebiasaan itu. Orang-orang yang mengurus dunia itu memerlukannya untuk menata ulang bisnis mereka. Mereka menyebutnya penghentian. Tapi, para sahabat-sahabat Rasulullah SAW –generasi pertama yang telah mengukir kemenangan-kemenangan dakwah dan karenanya berhak meletakkan kaidah-kaidah dakwah- menyebutnya majlis iman. Maka, Ibnu Mas’ud berkata, “Duduklah bersama kami, biar kita beriman sejenak.”
Majlis iman kita butuhkan untuk dua keperluan. Pertama, untuk memantau keseimbangan antara berbagai perubahan pada lingkungan strategis dengan kondisi internal dakwah serta laju pertumbuhannya. Yang ingin kita capai dari upaya ini adalah memperbaharui dan mempertajam orientasi kita; melakukan penyelarasan dan penyeimbangan berkesinambungan antara kapasitas internal dakwah, peluang yang disediakan lingkungan eksternal, dan target-target yang dapat kita raih.
Kedua, untuk mengisi ulang hati kita dengan energi baru sekaligus membersihkan debu-debu yang melekat padanya selama menapaki jalan dakwah. Yang ingin kita raih adalah memperbarui komitmen dan janji setia kita kepada Allah SWT bahwa kita akan tetap teguh memegang janji itu; bahwa kita akan tetap setia memikul amanat dakwah ini; bahwa kita akan tetap tegar menghadapi semua tantangan; bahwa yang kita harap dari semua ini hanyalah ridhaNya. Hari-hari panjang yang kita lalui bersama dakwah ini menguras energi jiwa yang kita miliki, maka majils iman adalah tempat kita berhenti sejenak untuk mengisi hati dengan energi yang tercipta dan kesadaran baru, semangat baru, tekad baru, harapan baru, dan keberanian baru.
Karena itu, majlis iman harus menjadi tradisi yang semakin kita butuhkan ketika perjalanan dakwah sudah semakin jauh. Pertama, karena tahap demi tahap dari keseluruhan marhalah yang kita tetapkan dalam grand strategy dakwah perlahan-lahan kita lalui. Mulai dari perekrutan dan pengaderan qiyadah dan junud dakwah yang kita siapkan untuk memimpin umat meraih kejayannya kembali, kemudian melakukan mobilisasi sosial untuk menyiapkan dan mengkondisikan umat untuk bangkit, sampai akhirnya kita membentuk partai sebagai wadah untuk merepresentasikan dakwah di tingkat institusi.
Kedua, karena kita hidup di sebuah masa dengan karakter tidak stabil. Perubahan-perubahan besar di lingkungan strategis berlangsung dalam durasi dan tempo yang sangat cepat. Dan perubahan-perubahan itu selalu menyediakan peluang dan tantangan yang sama besarnya. Dan, apa yang dituntut dari kita, kaum dai, adalah melakukan pengadaptasian, penyelarasan, penyeimbangan, dan –pada waktu yang sama- meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan momentum. Ketiga, karena kita mengalami seleksi dari Allah SWT secara kontinu sehingga banyak duat yang berguguran, juga banyak yang berjalan bertatih-tatih.
Semua itu membutuhkan perenungan yang dalam. Maka, dalam majlis iman ini, kita mengukuhkan sebuah wacana bagi proses pencerahan pikiran, penguatan kesadaran, penjernihan jiwa, pembaruan niat dan semangat jihad. Dan inilah yang dibutuhkan oleh dakwah kita saat ini.
Tradisi penghentian atau majlis iman semacam ini harus kita lakukan dalam dua tingkatan; individu atau jamaah. Pada tingkatan individu, tradisi ini dikukuhkan melalui kebiasaan merenung, menghayati, dan menyelami telaga akal kita untuk menemukan gagasan baru yang kreatif, matang, dan aktual di samping kebiasaan muhasabah memperbaharui niat, menguatkan kesadaran dan motivasi, serta memelihara kesinambungan semangat jihad. Hasil-hasil inilah yang kemudian kita bawa ke dalam majlis iman untuk kita bagi kepada yang lain sehingga akal individu melebur dalam akal kolektif, semangat individu menyatu dalam semangat kolektif, dan kreatifitas individu menjelma menjadi kreatifitas kolektif.
Kalau ada pemaknaan yang aplikatif terhadap hakikat kehusyuan yang disebutkan Al-Qur’an, maka inilah salah satunya. Pengehentian seperti inilah yang mewariskan kemampuan berpikir strategis, penghayatan emosional yang menyatu secara kuat dengan kesadaran dak keterarahan yang senantiasa terjaga di sepanjang jalan dakwah yang berliku dan curam. Maka, Allah SWT mengatakan, “Belumkah datang saat bagi orang-orang yang beriman untuk mengkhusyukkan hati dalam mengingat Allah dan dalam (menjalankan) kebenaran yang diturunkan. Dan bahwa hendaklah mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang telah diberikan Al-Kitab sebelumnya (di mana) ketika jarak antara mereka (dengan sang Rasul) telah jauh, maka hati-hati mereka menjadi keras, dan banyak dari mereka yang menjadi fasik.” (QS. Al-Hadid : 16)
Beginilah akhirnya kita memahami mengapa Rasulullah SAW menyunahkan umatnya melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan; atau mengapa Allah SWT menanamkan kegemaran berkhalwat pada diri Rasulullah SAW tiga tahun sebelum diangkat menjadi Rasul; atau bahkan mengapa Umar bin Khattab mempunyai kebiasaan i’tikaf di Masjid Haram sekali sepekan di masa jahiliyah. Begini pula akhirnya kita memahami mengapa majelis –majelis kecil para shahabat Rasulullah SAW di masjid atau di rumah-rumah berubah menjadi wacana yang melahirkan gagasan-gagasan besar atau tempat merawat kesinambungan iman dan semangat jihad. Maka ucapan mereka, kata Ali bin Abi Thalib, adalah dzikir, dan diam mereka adalah perenungan.
Tradisi inilah yang hilang di antara sehingga diam kita berubah jadi imajinasi yang liar, ucapan kita kehilangan arah dan makna. Maka, dakwah kehilangan semua yang ia butuhkan; pikiran-pikiran baru yang matang dan brilian, kesadaran yang senantiasa melahirkan kepekaan, dan semangat jihad yang tak pernah padam di sepanjang jalan dakwah yang jauh dan berliku.
0 komentar:
Posting Komentar