Mungkin pula ia telah menjadi bagian terpenting dalam hidup anda. Atau mungkin ia telah memakan waktu harian anda. Mungkin anda bekerja di lingkungan tarbiyah. Mungkin anda berbisnis di lingkungan tarbiyah. Berolahragapun di lingkungan tarbiyah. Mungkin anda berkeluarga di keluarga tarbiyah.
Mungkin anda mengajar di halaqoh tarbiyah. Mungkin anda memimpin di lembaga-lembaga tarbiyah. Mungkin saja kita menjadi kaya dengan pengaruh tarbiyah. Mungkin saja kita berpengaruh karena kesempatan yang diberikan tarbiyah. Bisa saja kita memimpin dengan rekayasa tarbiyah. Atau kita menjadi tokoh dengan toleransi tarbiyah. Tetapi apakah sesungguhnya kita telah tarbiyah?
‘Sudahkah saya tarbiyah?. Sebuah pertanyaan yang tidak saja penting untuk dijawab, melainkan juga – bahkan – menentukan sebagian masa depan saya. Masa depan tarbiyah saya dan masa depan saya secara umum.
Sekian tahun menikmati tarbiyah sampai saatnya sampai pada satu titik. Satu titik yang mempertanyakan apakah sesungguhnya saya sudah tarbiyah. Saya menggunakan kata ‘sesungguhnya’ karena saya kira saya memang harus menggunakannya. Apakah saya sudah tarbiyah bukan karena saya telah memiliki murabbi. Bukan pula karena saya telah memiliki halaqoh. Bukan juga karena saya telah menjadwal liqo pekanan. Dan bukan karena aspek ‘formal’ lainnya. Namun lebih kepada apakah saya telah berubah? Apakah saya telah memiliki kemampuan mengubah? Sejauh apakah saya telah merasakan sakitnya perubahan? Sejauh apa kerelaan saya untuk berubah? Atau saya tetaplah saya yang dulu? Tak berubah karena tarbiyah dan tak mengubah dengan tarbiyah. Benarkah tarbiyah saya? Dan benarkah saya sudah tarbiyah?
Mempertanyakan apakah saya telah tarbiyah adalah sesuatu yang tak terhindarkan pada saat materi tarbiyah relatif telah kumpul, ketika pengalaman telah cukup mewarnai cara pandang, ketika murabbi telah beberapa kali berganti, dan ketika halaqoh telah bervariasi. Dan yang terpenting adalah ketika saya mencoba menatap masa depan. Benarkah saya telah tarbiyah?
Pernah ada satu ‘materi’ dalam diskusi kecil-kecilan antara seorang pelatih dengan salah satu pemain senior sebuah kesebelasan sepakbola. Diskusi kecil itu mencoba membuat analisis sebab-sebab seorang pemain sepak bola tidak mampu menjalankan instruksi pelatih. Menurut salah seorang pemain yg sudah senior – yang diiyakan oleh pelatih - ada tiga sebab mengapa seorang pemain tidak mampu menerjemahkan instruksi pelatih di lapangan. Sebab pertama, seorang pemain tidak faham dengan apa yang dimaui pelatih. Ketidaktahuan seorang pemain membuatnya banyak membuat kesalahan. Sebab kedua adalah seorang pemain sudah mengalami kelelahan. Sehingga meski ia tahu apa yang harus dikerjakannya, ia tetap tidak mampu menunaikan tugas dan perannya dengan baik. Sebab ketiga adalah seorang pemain malas atau menentang instruksi pelatih dengan berbagai alasan. Misalnya karena perbedaan persepsi, perbedaan pendapat atau perbedaan tujuan. Ketidakmampuan jenis ini dilakukan oleh pemain dengan kesadaran penuh untuk membangkang instruksi pelatih. Disebabkan oleh satu, dua atau ketiga hal di atas seorang pemain potensial melakukan kesalahan di lapangan.
Dalam kompetisi sepakbola, pemain yang bersinar hanyalah mereka yang cerdas, kuat dan bertanggungjawab. Dunia da’wah kita juga merupakan dunia kompetisi. Hanya mereka yang terberdayakan yang akan senantiasa siap memikul beban da’wah. Beban da’wah hanya sanggup dipikul oleh mereka yang mengerti tentang apa dan bagaimananya da’wah. Tim da’wah ini membutuhkan anggota tim yang cerdas, qowwi, matin dan bertanggungjawab. Karakter tersebut hanya didapatkan dengan cara tarbiyah.
Tarbiyah yang kita jalani memiliki kesempatan untuk memperbaiki, mengembangkan, dan mengokohkan kita. Artinya kita memiliki kesempatan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Tetapi, Sudahkah Kita Tarbiyah?
http://www.facebook.com/note.php?note_id=202500053133
0 komentar:
Posting Komentar