Ikhwah fillah,
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika muhajirin tiba di Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’. Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separuh hartaku. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis, maka nikahilah ia.”
Abdurrahman berkata, “Semoga Allah memberkahi bagimu dalam keluarga dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian.”
Demikianlah sebagian potret ukhuwah dalam bangunan jama’ah dakwah yang ideal. Sa’ad benar-benar memahami keterbatasan Abdurrahman bin Auf. Meskipun di Makkah Abdurrahman bin Auf adalah sudagar yang kaya raya, toh ia datang ke Madinah tidak membawa apapun. Hijrah lebih ia cintai walaupun resikonya adalah meninggalkan seluruh harta kekayannya. Namun, Abdurrahman bin Auf juga seorang sahabat yang tahu betul bahwa ia sanggup melakukan hal yang lebih baik, tanpa bermaksud menolak kebaikan Sa’ad. Ia tetap memberi kesempatan Sa’ad untuk berbuat baik padanya sebagai konsekuensi sebuah ukhuwah; menunjukkan pasar Madinah.
Ukhuwah seperti itu tidak hanya terjadi antara Sa’ad bin Ar-Rabi’ dengan Abdurrahman bin Auf. Ukhuwah seperti itu terjadi pada semua sahabat muhajirin dan ansar. Gambaran mereka seperti firman Allah SWT:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [الحشر/9]
Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr : 9)
Dan bangunan kemasyarakatan mereka seperti penjelasan Sayyid Qutb saat mengomentari QS. Al-Hujurat ayat 11: “Implikasi dari ukhuwah ini adalah hendaknya rasa cinta, perdamaian, kerja sama, dan persatuan menjadi landasan utama masyarakat muslim."
Begitulah. jamaah dakwah yang telah bermetamorfosis menjadi negara di atas tanah Madinah itu menjadi solid dan kuat. Kekuatan utamanya bertumpu pada keimanan. Lalu kekuatan ukhuwah. Ukhuwah yang senantiasa terjaga inilah yang menjamin berlangsungnya fase konsolidasi negara. Bersama-sama, mereka siap mempertahankan Madinah dari segala ancaman yang datang. Ukhuwah yang selalu terpelihara inilah yang menjamin kokohnya eksistensi Madinah. Bersama-sama, mereka siap melindungi dakwah dengan apapun yang mereka miliki.
Ikhwah fillah,
Ukhuwah merupakan hal yang sangat penting setelah akidah, bagi jamaah dakwah. Karenanya Hasan Al-Banna menempatkan ukhuwah sebagai salah satu dari rukun baiat. Beliau mengatakan :
وأريد بالأخوة أن ترتبط القلوب والأرواح برباط العقيدة ، والعقيدة أوثق الروابط وأغلاها ، والأخوة أخت الإيمان ، والتفرق أخو الكفر ، وأول القوة : قوة الوحدة ، ولا وحدة بغير حب , وأقل الحب: سلامة الصدر , وأعلاه : مرتبة الإيثار
Yang saya maksud dengan al-ukhuwah adalah hendaknya berbagai hati dan ruh berpadu dengan ikatan akidah. Akidah adalah ikatan yang paling kokoh dan mahal. Ukhuwah merupakan saudara keimanan, sedang perpecahan adalah saudara kekufuran. Kekuatan yang pertama adalah persatuan. Tidak ada persatuan tanpa cinta kasih, sedangkan cinta kasih yang paling lemah adalah lapang dada dan puncaknya adalah itsar (mengutamakan orang lain dari pada dirinya sendiri).
Ukhuwah yang tulus, yang mendekati itsar atau bahkan mencapainya, akan menjadi faktor penyebab keteguhan serta kekokohan jamaah dakwah dalam menghadapi segala medan amal dan mihwar apapun. Sebaliknya, saat ukhuwah itu mulai pudar, bahkan salaamatush shadri pun tidak, akan membuat jamaah segera hancur, betapapun hebat slogannya dan betapapun tinggi cita-citanya.
Saat berada di mihwar tandzimi dan mihwar sya’bi, di mana jumlah kader dakwah tidak sebanyak sekarang, ukhuwah itu begitu terasa. Saat ada satu ikhwah sakit, semua ikhwah dalam satu daerah menjenguknya. Saat ada ikhwah yang tidak hadir sekali saja dalam halaqah, semua ikhwah dalam grup yang sama segera silaturahim padanya. Khawatir ada apa-apa dengannya atau keluarganya. Saat seorang ikhwah mendapatkan kebahagiaan, semuanya pun memberi selamat. Alat komunikasi masih sangat terbatas, tapi seakan-akan setiap kabar bisa begitu cepat sampai ke ikhwah yang lain. Apalagi saat ada yang menikah, subhaanallah. Luar biasa rasa ukhuwah itu.
Kini mihwar kita berbeda. Kita melangkah lebih jauh dalam perjalanan dakwah kita. Kita mengembangkan pengaruh dakwah yang lebih luas. Jumlah kader dakwah semakin banyak. Setiap waktu bertambah. Mihwar muassasi ini ditandai juga dengan penetrasi dakwah ke parlemen dan pemerintahan. Sebagian kader dakwah tersedot ke sana, dengan berbagai konsekuensinya.
Ukhuwah justru menjadi lebih penting pada mihwar ini. Ia sekaligus akan menjadi barometer kesiapan jamaah untuk memasuki fase berikutnya; mihwar daulah. Banyaknya kader dakwah dengan berbagai kesibukannya, seharusnya tidak menggerus nilai-nilai ukhuwah.
Ukhuwah dibangun di atas cinta dan kasih sayang
Ikhwah fillah,
Ukhuwah dalam berjamaah ini harus dibangun di atas cinta, di atas kasih sayang. Dalam bahasa Al-Qur’an disebut “ruhamaa’u bainahum” saling berkasih sayang dengan sesama mereka. Dengan ukhuwah yang dilandasi cinta inilah, orang mukmin dicemburui oleh nabi dan syuhada’; meskipun mereka bukan nabi dan buka syuhada’.
إن من عباد الله عبادا ليسوا بأنبياء يغبطهم الأنبياء والشهداء قيل : من هم لعلنا نحبهم ؟ قال : هم قوم تحابوا بنور الله من غير أرحام ولا انتساب وجوههم نور على منابر من نور لا يخافون إذا خاف الناس ولا يحزنون إذا حزن الناس ثم قرأ : { ألا إن أولياء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون
“Sesungguhnya, di kalangan hamba-hamba Allah ada beberapa orang yang bukan para nabi dan bukan syuhada, tetapi para nabi dan syuhada menginginkan kedudukan yang diberikan oleh Allah kepada mereka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kabarkanlah kepada kami, siapakah mereka itu?” Rasulullah SAW bersabda, “Mereka adalah orang yang saling mencintai karena Allah, bukan karena hubungan kekerabatan diantara mereka. Juga bukan karena harta yang saling mereka berikan. Demi Allah, wajah-wajah mereka adalah (seperti) cahaya dan mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak merasa takut tatkala manusia ketakutan dan tidak bersedih hati tatkala manusia bersedih hati.” Kemudian Rasulullah SAW membaca (ayat), “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus : 62) (HR. Ahmad)
Ukhuwah yang dibangun di atas cinta kepada Allah ini juga mendatangkan cinta-Nya. Imam Malik dalam Al-Muwatha’ meriwayatkan sebuah hadits qudsi:
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَجَبَتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ وَالْمُتَجَالِسِينَ فِيَّ وَالْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ وَالْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ
Allah SWT berfirman, “Kecintaan-Ku akan didapat oleh orang-orang yang saling mencintai dan saling (menemani) duduk karena Aku, saling berkunjung karena Aku, serta saling memberi karena Aku.” (Al-Muwatha’)
Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
أَنَّ رَجُلاً زَارَ أَخًا لَهُ فِى قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِى فِى هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لاَ غَيْرَ أَنِّى أَحْبَبْتُهُ فِى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ فَإِنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
Ada seseorang berkunjung kepada saudaranya di kampung lain, lalu Allah mengutus malaikat untuk menghadang perjalanannya. Malaikat bertanya saat bertemu dengan orang tersebut, “Hendak ke manakah kamu?” Orang itu menjawab, “Aku mau ke (tempat) seorang saudaraku di kampung ini.” Malaikat bertanya, “Apakah ada kenikmatan yang ingin kamu dapatkan darinya?” Ia menjawab, “Tidak, (aku berkunjung kepadanya karena) aku mencintainya karena Allah SWT.” Malaikat berkata, “Sesungguhnya, aku ini utusan Allah kepadamu (untuk mengabarkan), bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu karena kamu mencintai saudaramu karena-Nya.” (HR. Muslim)
Dengan dilandasi cinta, ukhuwah akan mendorong kaki kita melangkah silaturahim ke saudara kita. Terlebih ketika ia ada masalah atau terlihat mulai kendor tarbiyahnya. Dengan dilandasi cinta, ukhuwah akan menggerakkan lisan kita untuk mengingatkannya saat ia melakukan kekeliruan. Dengan dilandasi cinta, ukhuwah akan membawa diri kita untuk selalu mendoakan saudara-saudara kita; agar ikatan dakwah ini kekal dan agar segala problemnya mendapatkan solusi dari Allah.
Salaamatus shadr; tingkatan ukhuwah paling rendah
Tingkatan ukhuwah yang paling rendah adalah Salaamatus shadr; selamatnya hati dari berbagai prasangka buruk dan perasaan tidak enak terhadap sesama ikhwah. Ini adalah batas minimal ukhuwah, jika diterjang, maka ukhuwah itu terkoyak dan timbullah pertentangan dan perpecahan. “Kedua hal ini” kata Syaikh Muhammad Abdul Halim Hamid, “dapat mengantarkan jamaah pada kekalahan dan kehancuran.”
Banyak faktor dalam mihwar muassasi ini yang bisa menjadi stimulus munculnya su’udzan. Saat ada beberapa kader yang mulai berkantor di parlemen, misalnya. Lalu kelihatan ia pakai mobil baru, kader yang belum matang tarbiyahnya bisa kena penyakit ini. Namun bagi mereka yang tertarbiyah dengan baik, dengan mengedepankan ukhuwah ia akan melakukan tabayyun kepada qiyadahnya. “Oo.. itu dibelikan sama ayahnya karena kasihan kalo menantunya kepanasan. Menantunya kan sedang hamil, akhi” ternyata saat tabayyun, jawaban yang didapat benar-benar menenteramkan hati. Jadi jangan su’udzan dulu: “Baru ngantor beberapa hari sudah dapat mobil”. Astaghfirullah.
Ukhuwah itu juga perlu diterapkan saat saudara kita tidak datang liqa’ tanpa keterangan. Kalau ini bukan kebiasaannya, atau pertama kalinya, ikhwah yang lain perlu mencari 1000 alasan agar su’udzan-nya tidak muncul. Jangan buru-buru memvonis “HP-nya dimatikan, mungkin ia sengaja mengistirahatkan diri.” Tidak tahunya kalau ikhwah tadi kecelakaan, dan HP-nya terlindas truk. Na’udzubillah. Kita berlindung kepada Allah dari su’uzhan itu sebagaimana kita berlindung dari kecelakaan yang menimpa ikhwah kita.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ [الحجرات/12]
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. (QS. Al-Hujurat : 12)
Berupaya mencapai itsar, tingkatan tertinggi ukhuwah
Sa’ad bin Ar-rabi’ telah mengajarkan kita tentang itsar. Demikian pula seluruh kaum Anshar telah mempraktikkan itsar ini kepada muhajirin. Maka semakin kokohlah ukhuwah mereka, semakin solid gerakan mereka, semakin gencar dakwah mereka.
Ada pula kisah mujahid yang menjadi contoh itsar. Dalam sebuah jihad, ada seorang mujahid yang terluka. Ia kesakitan, lapar, dan haus. Datanglah bantuan padanya, segelas air. Namun ia mendengar ada mujahid lain di sampingnya. Ia berpikir, ini lebih parah. “Berikan saja air itu padanya, ia kelihatan lebih parah dari pada saya.”
Saat air itu diberikan kepada orang kedua, orang itu melihat mujahid di sampingnya lagi tampak lebih membutuhkan air dari pada dirinya. “Berikan padanya.” Mujahid yang ketiga ini juga melihat sampingnya. Mengutamakan orang lain dari pada dirinya. Akhirnya, mereka semua syahid.
Dengan tercapainya itsar, tidak mungkin jamaah dakwah tergoyahkan hanya karena jabatan publik. Dengan itsar, tidak mungkin jamaah dakwah terganggu hanya karena persoalan siapa yang ditunjuk menjadi caleg, siapa yang ditunjuk menjadi calon kepala daerah, atau calon menteri seperti pada hari ini.
Sebagai penutup, marilah kita renungkan nasehat Hasan Al-Banna ini:
تحابوا فيما بينكم ، واحرصوا كل الحرص علي رابطتكم فهي سر قوتكم وعماد نجاحكم ، واثبتوا حتى يفتح الله بينكم وبين قومكم بالحق وهو خير الفاتحين
Hendaklah kalian saling mencintai dengan sesama. Hendaklah kalian sangat peduli pada ikatan kalian, karena itulah rahasia kekuatan dan keberhasilanmu. Dan tetaplah tegar sehingga Allah memberikan keputusan dengan hak antara kalian dan kaummu. Dia adalah sebaik-baik Pemberi keputusan. (Risalah Bainal Amsi wal Yaum).
Wallahu a’alam bis shawab. [sumber: E-Book Taujih Pekanan Menuju Mihwar Dauli]
0 komentar:
Posting Komentar